12/09/13

Kompetisi Film dan Bagaimana PTSF Memaknainya



oleh Nara Indra


Sebermula adalah Kata         

Apa itu negara?? Menurut tafsir ilmu hubungan internasional, ada beberapa persyaratan bagi sah tidaknya ‘ke-negara-an’ suatu negara : memiliki wilayah, memiliki penduduk, memiliki pemerintahan dan tak lupa—diakui keberadaannya oleh negara lain. Tapi saya tidak sedang bicara tentang negara di sini. Ini untuk analogi saja (sebenarnya buat keren-kerenan sih).

Saya bicara tentang konteks Pull-The-String-Film (selanjutnya disingkat PTSF) dan eksistensinya sebagai sebuah komunitas film. Maunya!!

Lantas, apakah syarat untuk membentuk sebuah komunitas film??

Pastinya harus ada dua hal : ada komunitas dan ada film.

Komunitas itu dapat dimaknai sebagai kumpulan orang, tapi saya lebih nyaman untuk memakai istilah ‘sekumpulan komitmen’. Kenapa komitmen? Karena jujur saja, diakui atau tidak, hal itulah yang paling bisa mempertahankan apa yang lidah kita cecapkan menjadi kata komunitas. Pengalaman berkomunitas dan berproduksi menunjukkan bahwa sebuah tim memerlukan suatu tingkat komitmen dalam besaran tertentu agar dapat menyelesaikan sebuah film.

Rata-rata dari kami memulai proyek PTSF saat tengah berada dalam fase akhir perkuliahan. Hal ini tentu saja menyebabkan diri kami masing-masing harus bermain tarik tambang (untuk tidak menyebutnya dengan ungkapan klise ‘pergulatan batin’) melawan beberapa lawan kodrati : skripsi, tenggat lulus, pencarian kerja, kerja dan titian-titian masa depan lainnya. Tentu saja hal ini sangat menyita waktu dan pikiran. Padahal, produksi film itu sendiri juga menyita banyak hal yang sama. Kami merasakan sendiri susahnya mencari kru tambahan, pemain, bahkan mempertahankan anggota-anggota awal untuk tetap terlibat dalam keseluruhan produksi. Karena komitmen itu terlalu kecil untuk dibagi kepada banyak segi dalam kehidupan.

Saya selaku produser sering bersungut-sungut jika salah satu anggota kru tidak bisa menyelesaikan job description mereka, padahal beban kerja itu sudah sangat dikurangi. Di sisi lain, saya yakin para kru juga sering bersungut-sungut menyaksikan tingkah saya yang terkadang terlalu strict. Di sisi yang lain lagi, saya sering bersungut-sungut kepada diri saya sendiri bila semuanya tak berjalan lancar. Akhirnya tumbuh sungut asli di kepala saya, lalu saya berubah jadi lalat ijo dan terbang meninggalkan rapat. Zzuumm….zzuuumm..zuuuzmmm.

Tapi, entah kenapa, kendala komitmen ini selalu bisa disiasati dengan negosiasi dan serangkaian toleransi. I mean, a great doses of tolerance.  Melalui kendala ini pula, kami jadi lebih selektif dalam melaksanakan produksi dan belajar untuk berdiskusi menentukan waktu produksi yang tepat dimana masing-masing pihak bisa ikut serta. Saya sempat berpikir bahwa komitmen ini akan menjadi fait accomply saat shot pertama mulai diambil. Ya, saat kami sudah mulai mengambil adegan pertama dalam film, sudah tidak ada jalan untuk kembali lagi.

Unsur kedua adalah film. Apa itu film?? Nggak usahlah saya deskripsikan di sini. Mending saya bikin saja. Selanjutnya silahkan ditonton. Hehehe. Kata ‘film’ apabila dilekatkan dengan kata ‘komunitas’ akan membentuk suatu istilah ‘komunitas film’. Frase ‘komunitas film’ dapat diartikan jadi beberapa tipe tergantung pada fokus kegiatannya. Ada komunitas film yang kerjanya bikin film, ada yang fokus di pengkajian film, dan ada juga komunitas yang berkutat di masalah distribusi dan pemutaran film.

PTSF sendiri dimulai dengan tekad untuk membuat film. Sampai sekarang pun kami masih tetap fokus di pembuatan film, meskipun seiring perjalanan waktu kami makin menyadari pentingnya dua fungsi lainnya. Pengkajian film sangat berguna untuk referensi dalam meningkatkan kualitas film-film kami. Biasanya sesi pengkajian film PTSF terjadi secara tidak sengaja saat menunggu rapat dibuka atau menunggu kru yang belum datang. Sedangkan untuk fungsi pemutaran, kami sering terdorong untuk membuat pemutaran baik untuk konsumsi pribadi maupun bekerjasama dengan komunitas lain (kami punya ajang pemutaran STMJ—Screening Together Malam Jumat) bekerjasama dengan Tenananiki Pictures. Alasannya sederhana saja, kami membutuhkan ruang agar film kami bisa mencapai dua kodratnya  : (1) Diputar dengan teknis yang memadai—minimal dengan widescreen dan (2) Menyentuh khalayak yang lebih luas.

Terkait kedua poin tersebut, saya teringat cuplikan wawancara dengan Forum Lenteng saat pelaksanaan ARKIPEL 2013 dari artikel di Cinemapoetica.[1] Kalau tidak salah, salah satu narasumber menekankan pentingnya pengalaman sinematis dalam menyaksikan film. Pengalaman sinematis dalam konteks ini adalah adanya tempat yang representatif, kualitas gambar dan suara yang memadai, serta nikmatnya merasakan sensasi film sebagai sebuah apresiasi massa—teriak, tersenyum, berdecak kagum, bahkan mengeluh bersama. Hal itulah yang ingin kami bagi melalui pemutaran. Adalah suatu sensasi dan kebanggaan tersendiri bagi saya pribadi untuk menyaksikan perubahan mimik penonton saat menyaksikan film-film kami, apalagi terhadap film yang kebetulan saya sutradarai atau tulis naskahnya.

PTSF sendiri seringkali mencoba membuka ruang tonton dengan usaha-usaha sendiri—misalnya dengan memutar film di kantin dan pelataran kampus (dengan atau tanpa izin), di rumah kawan, hingga memanfaatkan voucher diskon di bioskop mini yang ada di kota kami. Intinya, kalau tidak ada yang memberimu ruang, rebutlah!! Untungnya, seiring dengan membaiknya peruntungan dan kualitas-kualitas film kami, beberapa kompetisi dan komunitas lain berkenan untuk memutarkan film-film kami. Pada akhirnya kami bersyukur bahwa film-film kami sempat diputar di Surabaya, Yogyakarta, Solo, dan Purbalingga. Hampir seluruh kesempatan pemutaran itu terjadi dalam kompetisi, atau muncul setelah kami berjejaring dalam kompetisi.

Nah, di sinilah letak pentingnya kompetisi : sebagai muara segala karya dan komitmen kami. Sesuatu yang memperpanjang napas kami.


PTSF dan Kompetisi

PTSF adalah komunitas yang pembentukannya dipicu oleh kompetisi film. Saya masih ingat pertama kali embrio PTSF disemai. Awal mulanya adalah saya dan Maulvi DM. Tidak usahlah diperdebatkan siapa yang sperma siapa yang ovum di antara kami. Pokoknya kami berdua jadi embrio, PTSF. Itu saja.


Waktu itu, sekitar pertengahan tahun 2010, saya tengah berkeliaran tak tentu arah di taman Fisipol. Di tengah (almarhum) amphiteater saya melihat Maulvi sedang bengong sambil memegang secarik kertas lusuh. Ternyata itu adalah pengumuman kompetisi (saya masih ingat betul) FIAGRAMOTION oleh UKM Fiagra (Film Anak Grafika) yang berbasiskan di Fakultas Teknik UGM. Langsung saja saya menyambar,“Mau ikut ndak, Mol??”. Sontak dia langsung menyetujuinya. Lalu kami berdua langsung menyusun rencana untuk merekrut kru, pemain dan merencanakan cerita. Akhirul kata, kami berhasil menyelesaikan film pertama kami “REVERIE” yang langsung diikutsertakan di FIAGRAMOTION, dan syukurnya meraih gelar “Poster Terbaik” dan “Editing Terbaik”.[2]



Kesimpulannya, kompetisilah yang menjadi pemantik kami semua untuk berkarya. Kami bisa merekrut kru, pemain, mengikat mereka dengan komitmen seringkali juga dengan iming-iming filmnya ‘bakal ikut kompetisi’.  Dan hal itu tetap berlangsung sampai sekarang.

Pertanyaannya, kenapa kami harus mendompleng kompetisi untuk itu semua??

Jawaban saya hanya satu : karena alasan orang-orang yang terlibat dalam produksi sebuah film terkadang tidak sama. Atau dengan istilah lain, tidak semua memiliki gairah yang sama terhadap film. Sebagian kru, pemain, maupun orang-orang lain yang memandang pembuatan film dengan perspektifnya masing-masing. Ada yang hanya sekadar ingin membantu, ada yang ingin mengisi waktu luangnya, ada yang memang benar-benar tertarik,  ada yang (mungkin) kasihan sama kami-kami ini dan lain sebagainya. Tidak ada yang salah dengan ini, bahkan kecenderungan ini sangat membantu proses produksi menjadi lebih cair dan asyik. Hal ini merupakan sesuatu yang tak terelakkan, mengingat PTSF sebagai komunitas sendiri sangat longgar dan tentu saja berbeda dengan komunitas atau rumah produksi yang profesional.

Dengan adanya kompetisi, setidaknya kami bisa meyakinkan rekrutan-rekrutan kami bahwa kami di sini tidak sedang main-main. Dan kami memang tidak pernah akan main-main lagi. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan serta terlalu banyak hal yang dikorbankan untuk sekadar main-main. Tapi, itu tak berarti pula bahwa kami akan menjadi terlalu serius. Atau, bisa dibilang, biarkanlah saya sebagai produser jadi satu-satunya orang dengan kening berkerut di dalam produksi. Sebisa mungkin saya ingin yang lain tetap tersenyum dan tertawa-tawa. Syukur-syukur ada yang naksir saya. Hihihihi.


Bagaimana Kompetisi Membentuk Kami

Saya harus akui bahwa kompetisilah yang membentuk PTSF. Ada beberapa hal yang membuat kompetisi memberikan pengaruhnya kepada kami.

Dalam memproduksi sebuah film, saya belajar bahwa visi dan misi adalah hal yang sangat penting. Visi dalam konteks ini berarti tujuan pembuatan film ini harus jelas : apakah ada pesan-pesan atau hal tertentu yang ingin disampaikan. Adakah hal-hal tertentu yang ingin dicapai, baik secara teknis maupun nonteknis. Atau dalam ranah yang lebih konkrit : apakah cerita yang ingin diangkat ke film itu menarik??.

Itu permasalahan pertama.

Permasalahan kedua adalah misi : hal konkrit apakah yang ingin dicapai setelah film ini jadi. Di sinilah letak pentingnya kompetisi seperti yang telah saya singgung sebelumnya : sebagai muara dari karya dan, thus, komitmen kami yang meraga dalam visi tersebut. Kompetisi adalah tempat dimana film menemukan jodohnya, begitu kata Bowo Leksono, Direktur Cinema Lovers Community dan salah satu tokoh perfilman berpengaruh di Banyumas Raya. Dan mencari jodoh itu tidak mudah. Apalagi buat film.

Kompetisi film yang ideal biasanya membuka deadline pendaftaran antara 3 hingga 6 bulan sejak pertama dipublikasikan. Rentang waktu ini sangat membantu kami untuk membuat perencanaan produksi film, mulai dari pra-produksi (persiapan naskah, pemain, properti, set, penjadwalan, budgetting dll), produksi (syuting) dan pasca-produksi (editing, sound-mixing, original soundtrack, syuting ulang dll). Rentang waktu juga berpengaruh akan ketersediaan waktu dari masing-masing kru maupun pemain. Makin panjang rentang waktunya, makin banyak waktu kami untuk mempersiapkan diri. Makin banyak waktu persiapan, maka makin banyak pula waktu kami untuk menyempurnakan si film.

Inilah arti penting pertama dari kompetisi : ia membentuk pola kerja kami.

Kompetisi sudah dapat dipastikan berarti pencapaian. Minimal wujud fisiknya terkirimkan ke panitia, meski entah bagaimana kelak nasibnya, setidaknya ia tak hanya berdiang hangat di bilik-bilik data komputer. Minimal, ia bisa diputar dengan standar teknis yang tidak akan pernah bisa kami capai dalam pemutaran mandiri. Minimal, ia bisa menemui audiens yang tidak pernah bisa kami capai dalam pemutaran mandiri. Minimal, ia bisa mempertemukan kami dengan sesama penggiat film yang mungkin hanya kami kenal profilnya di internet. Maksimal, ia bisa menang.

Kemenangan dan pencapaian dalam sebuah kompetisi akan menjadi pondasi bagi film kami selanjutnya.  Inilah fungsi kedua dari kompetisi. Pondasi dalam konteks ini dapat kita lihat ke dalam dua hal : secara moral dan secara modal. Pondasi moral, sederhananya, muncul dari perasaan bangga saat melihat film kami diputar di layar lebar dan disaksikan banyak orang.. Atau saat salah satu dari kami maju ke panggung untuk mengambil piala. Atau saat ada orang yang memandang ke arahmu dan berkata, “saya suka filmnya.” Trus, kapan sukanya sama yang bikin, mbak?? Hihihihi. Kemenangan tentu saja akan mendongkrak rasa bangga dan tingkat kepercayaan diri kami  di PTSF. Itu adalah modal yang berharga.


Pondasi modal tentu saja mengacu pada hadiah uang yang kami terima. Sebagai komunitas yang tidak bergerak dalam ranah komersial yang terkadang bikin sial itu, kami seringkali harus tombok untuk memproduksi film. Atau mencari pekerjaan sambilan seperti menjadi kru dokumentasi seminar kampus, misalnya. Uang hadiah adalah penyelamat yang signifikan bagi keuangan film, thus, keuangan pribadi kami tentu saja. Sejak kemenangan pertama kami dalam film Space pada medio 2011, produksi-produksi berikutnya selalu didanai oleh uang hadiah lomba. Kemenangan Space dan Persimpangan (2011) memberi jalan bagi pembuatan Penghabisan (tahun produksi 2012). Kemenangan Penghabisan (2013) rencananya akan kami pakai untuk memproduksi film di akhir tahun ini. Belum lagi bila kita turut memperhitungkan biaya-biaya lain seperti biaya pengiriman paket dan pengemasan CD untuk lomba.



Fungsi ketiga kompetisi adalah membangun jaringan. Kompetisi film adalah kesempatan yang besar bagi PTSF untuk keluar sejenak dari tempurungnya dan melompat-lompat bagai katak di musim penghujan. Pada akhirnya PTSF akan menemui katak-katak lain yang jauh lebih besar, terkenal, dan superior. Kami akan bersama-sama berinteraksi, berbagi, bersaing dan saling belajar dalam suatu kolam besar yang bernama kompetisi film. Mungkin setelah itu masing-masing akan kembali ke tempurungnya masing-masing atau mencari kolam lain, semua terserah kebutuhan dan orientasi masing-masing. Yang pasti kami tidak hanya menemui katak-katak semata. Kami bertemu dunia luas yang hanya berbatas cakrawala.

Dalam Festival Film Solo 2013, kami menjumpai kawan-kawan komunitas dari Purbalingga yang umurnya mungkin hanya setengah dari umur kami. Tapi dalam perkara prestasi, mereka sangat jauh melebihi PTSF. Kami juga berkesempatan bertemu dengan komunitas dari Palu, Solo, Malang, Jakarta, mas Senoadji Julius dari Fourcolours Films Yogyakarta dan masih banyak lagi. Tentu saja pertemuan itu tidak kami sia-siakan, karena karya-karya mereka makin meluaskan referensi sinema kami. Bahkan, kami berkesempatan untuk melakukan pemutaran dan diskusi di Purbalingga dengan kawan-kawan komunitas CLC (Cinema Lovers Community) setelah merawat jaringan yang dirintis kala FFS. Partisipasi kami dalam beragam kompetisi-kompetisi film juga sedikit banyak mendekatkan kami dengan kawan-kawan penyelenggara yang rata-rata juga merupakan anggota komunitas film di berbagai daerah. Interaksi kami degan kawan-kawan programmer dan panitia tersebut pada akhirnya memberikan masukan positif bagi PTSF sendiri

Terakhir, kompetisi dapat membuat kami semua tetap mawas diri. Untuk itu, mari saya ceritakan pengalaman pahit yang menjadi pelajaran 6 SKS sekaligus bagi PTSF.

Alkisah, di bulan Agustus-November tahun 2012 lalu kami mendapatkan banyak sekali informasi dan undangan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi berskala besar. Beberapa di antaranya adalah Europe On Screen, XXI Short Movie Competition, Jambore Film Nasional dan bahkan undangan mengikuti FFI (Festival Film Indonesia). Sebagai komunitas kecil yang baru saja memenangkan satu kompetisi, kaki kami bak menapak udara. Atau bahasa Ibrani-nya : kepedean. Dengan stok film yang sebenarnya masih sangat minim, kami nekat mengikuti hampir semua kompetisi itu. Padahal beberapa di antaranya mengharuskan kami membayar biaya pendaftaran yang cukup tinggi plus ongkos kirim yang juga besar karena rata-rata kompetisi itu dilaksanakan di Jakarta. Dan hasilnya pun bisa ditebak, tidak ada satupun film kami yang menang. Jangankan menang, masuk nominasi pun tidak. Bayangkan bagaimana optimisme yang kami bangun dari awal seketika mengempis bagai balon udara di Sekaten yang seketika mbledhos karena terkena jarum. Ya, jarum takdir. Dan ketidakbijaksanaan kami tentunya.

Selain merasa frustasi, peristiwa yang sering disebut oleh Maulvi DM sebagai ‘November Kelabu’ itu mengakibatkan kami mengalami krisis keuangan yang cukup mengganggu. Akibatnya, proses produksi kami selanjutnya (saat itu kami tengah menggarap naskah yang kelak menjelma menjadi “Resepsi”) mengalami kebuntuan. Pahit memang, namun selalu ada yang bisa kami cecap dari kepahitan. Hal ini membawa kami pada satu metode baru dalam kinerja kami : proses kurasi internal. Secara sederhana, proses kurasi internal PTSF terdiri dari beberapa tahapan : pengumpulan informasi lomba, analisis konten lomba (visi dan misi lomba, komposisi juri, preferensi juri, background penyelenggara, pemenang-pemenang terdahulu dll), penentuan film-film yang akan dikirimkan beserta peluangnya, pengecekan budget dan akhirnya dikirimkan. Saya pribadi tertarik  mengistilahkan proses ini dengan frase “bribik-bribik metodologis”. Berkat kontribusi dari seluruh anggota dalam proses kurasi ini, akhirnya kami bisa menemukan solusi untuk ‘menemukan jodoh bagi film kami’ seperti yang telah saya singgung di atas. Sebagai orang tua yang baik (dan sedikit galak), tentunya kami tak mau ‘anak’ kami mendapatkan jodoh yang buruk, dong??

Kemawasan diri yang dibawa oleh kompetisi juga diakibatkan oleh interaksi kami dengan karya-karya sineas lain yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata (hey, bukankah yang saya bold itu juga kata-kata?? Dasar frase yang aneh!!). Kami jadi insyaf bahwa ada banyak tempat dimana kami bisa menengadahkan kepala dan belajar. PTSF belumlah menjadi apa-apa. Katak ini pada akhirnya selalu akan menemukan  langit-langit baru untuk menggantikan tempurung lama kami. Dalam dunia perfilman independen ini, kami tidah berhak dengan seenaknya menapaki udara kosong dan merasa sombong. Karena sangat banyak sineas-sineas di Indonesia yang karya-karyanya secara de facto telah menapaki langit sementara para pembuatnya sendiri masih berpijak dengan tenang di bumi. Lantas, siapakah kami??


Sesudah Lelah Menulis dan Tentang Pojokan Masa Depan

Dalam obrolan intens di penghujung kemahasiswaan, beberapa dari kami sempat mempertanyakan sampai kapankah PTSF bisa terus berjalan.  Waktu itu saya hanya berpikir, “Terserah kapan saja, asal jangan sekarang.” Pemikiran itu pun sampai saat ini belum berubah. Meskipun saya sadar, di tahun 2013 ini, banyak dari kami (termasuk saya sendiri) yang sudah harus bersiap untuk meniti langkah lain di masa depannya. Asal jangan sekarang!

Mungkin kami akan terus membuat film sampai satu per satu dari kami meninggalkan Yogyakarta. Mungkin juga tidak. Mungkin kami akan terus mencoba bertahan dengan merekrut kawan-kawan baru. Mungkin juga tidak. Mungkin kami akan berhenti begitu saja. Mungkin juga tidak. Toh, kalau saya boleh sedikit berfilsafat, bukankah kehidupan adalah semata-mata ayunan bandul antara kemungkinan dan ketidakmungkinan??

Yang pasti PTSF kini tengah bersiap untuk merencanakan produksi selanjutnya. Dan lagi-lagi produksi ini dipicu oleh kompetisi-kompetisi yang setidaknya akan menunggu kami tahun depan. Kompetisi adalah salah satu faktor utama yang mempertahankan bandul kami untuk tetap berada di sisi ‘kemungkinan’, meskipun di dalamnya terselip pula kemungkinan untuk terperosok ke dalam ‘ketidakmungkinan’. Jadi, sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengucapkan terimakasih bagi kawan-kawan yang selama ini telah menyelenggarakan kompetisi-kompetisi bagi kami. Terimakasih telah menyediakan kolam bagi kami yang seringkali terperangkap dalam tempurung katak ini. Terimakasih karena telah mendorong kami untuk mengukirkan karya. Terimakasih telah menyediakan rumah bagi kami untuk pulang.
          

Yogyakarta, 8-10 September 2013



[1] http://cinemapoetica.com/wawancara/arkipel-forum-lenteng-dan-eksperimentasi-sinema/
[2] Sekadar catatan tambahan, di tahun 2013 ini kami akhirnya berhasil memenangkan beberapa gelar di FIAGRAMOTION 2013 dengan film “Penghabisan”, termasuk gelar “Best Film”. Gelar ini sangat berkesan karena sekaligus untuk ‘melepas’ beberapa kawan angkatan awal PTSF yang sudah hijrah menjemput masa depan; Agi Ekasaputro, Danistya Kaloka dan Lalik Mustikowati.


05/09/13

Catatan Produser Rain





oleh Satwika P


film RAIN merupakan salah satu dari sekian banyak karya Pull-The-String Film yang disiapkan dalam waktu singkat. Skenario beberapa kali berubah hasil dialektik Maulvi DM dan Nara Indra Prima Satya disertai independent reviewer Dewi Kharisma Michellia demi menyesuaikan tema dari si kompetisi Bandung yaitu "Ruang Terbuka Hijau". Kami mencoba memberikan nuansa baru dalam menginterpretasikan tema tersebut agar tidak mainstream layaknya karya lain. Proses casting sempat memiliki beberapa pilihan sebelum jatuh pada bung Mapa Satrio sebagai pemeran utama yang dipersepsikan polos dan culun. sementara lawan mainnya diperankan dengan sangat baik dan dingin oleh Andi Farkhan . Spesial thanks juga untuk yang tersayang Fitri Juliana Sanjaya akhirnya bersedia terlibat dalam proyek kekasihmu sang prosedur, eh produser ini.

Kejutan terjadi ketika prosedur tidak sengaja menemukan akun vimeo sang panitia kompetisi yang menayangkan trailer peserta (tak ada keterangan sebelumnya dari panitia bahwa trailer akan diunggah di vimeo). Prosedur yang tidak menemukan RAIN di antara mereka langsung mengkonfirmasi ke panitia dan mendapat jawaban tak mengenakkan, bahwa paket trailer yang dikirim mengalami kerusakan! sungguh disayangkan. pada akhirnya film ini pun belum berhasil bersaing di kompetisi tersebut.


Tapi kami tak akan menyerah! karena kami percaya kesempatan kan datang, layaknya air hujan yang selalu dinanti di kala lengang.

03/09/13

Catatan Produser Resepsi




oleh Nara Indra


Saya tertarik untuk menambahkan sedikit cerita-cerita kecil yang tiba-tiba teringat setelah membaca tulisan ini, tentu saja berdasarkan pandangan pribadi :

Di "Resepsi" ini, untuk pertama kalinya saya harus meregang mata tiga hari penuh tak tidur untuk menyelesaikan cerita awalnya (dengan bantuan yg tak terkira dari Borneo dan Widi sebagai tempat konsultasi dan motivasi). Dan untuk pertama kalinya pula, hanya untuk satu produksi, saya sampai membuat 4 buah draft yang keempatnya punya alur dan konsep yang berbeda. Bar iki sisan tak nggarap sandiwara radio 2 season lah!! Uyeeaah!!

Dari sisi adaptasi naskah, jujur saja, sangat melelahkan melihat duo Maulvi DM dan Dewi Kharisma Michellia berdebat sengit setiap hari. Mempersatukan dua orang dengan pendekatan yang berbeda-beda tetapi tetap sama jua (atos-nya). Tapi seperti kata pepatah, "ada harga ada rupa, ada urat ada karya". Bakso uratnya satu mas, ndak pake bihun. Hehehe.

Dari sisi teknis, untung sekali Danang Arif akhirnya comeback sebagai soundman dan (lagi-lagi) aktor yg 'dingin'. Comeback-in-style ala The Count of Monte Cristo. Tapi besok2 jangan ndagel pas sutradara belum bilang 'cut' yo nang. Kesemutan le ngenteni syuting nek kudu diulang je!! Hehehehe.

Sinematografi PTSF juga mendapatkan peningkatan yg signifikan berkat Nindias Nur Khalika yang rela membantu di tengah kesibukannya. Akhirnya secara literal kami punya "director of photography" di pos tersendiri. 

(teringat percakapan-tidak-penting dengan molvi : mol, kuwi kamerane ajeng wangun yo - menurutmu, nar?? - aku kan rak dong kamera mol, ngertine mung Kodak mbiyen. tapi sepertinya canggih yo - kuwi pancen canggih, le!!)

Dari sisi administrasi dan hal-hal teknis lainnya, Satwika Paramasatya memang jagonya. Di tengah-tengah kesibukan sekolah SS-nya (S2 to??), masih rela jungkir balik mengurusi ijin dll. Untuk pertama kalinya pula PTSF pakai mobil dinas di produksi ini!! Selain sebagai spotter kereta (yang notabene bertanggung-jawab atas nyawa kru yg lain), Satya juga kerja sangat efektif mengawal Resepsi ke FFS waktu saya lagi riset di Indramayu.

Dan terimakasih tak terkira buat para pemeran cerita ini Adib Muhammad dan Nella Puspitasari yang rela diberikan kelas akting tambahan "pada sebuah senja jingga dimana angin sore merambati dinding-dinding di puncak perpustakaan gadjah mada" (modyar wae bosoku!!). Terimakasih karena sudah pasrah 'diapa-apakan' selama rehearsal dan syuting. Hehehe.

Terimakasih banyak pula buat kawan-kawan Jalan Pulang atas Lagu Berdua sebagai pencipta semesta di film ini, mas Windu Jusuf dan mas Yosep Anggi Noen atas masukan-masukan di cerita & naskahnya, Agi Ekasaputro yang masih sempat terlibat di survey dan rapat meskipun sudah hendak meninggalkan Jogja, Yohannes Oktama Ardito sebagai konsultan lokasi dari Railfans, Danistya Kaloka sebagai kru tambahan dan kontributor musik dan masih banyak pihak lain. Yakinlah bahwa keterbatasan jatah tag dan mentions tidak membuat kami melupakan kalian semua.


(seperti dikopas dari fesbuk)

02/09/13

RAIN


rain | maulvi dm | mei 2013 | 5m40d


sinopsis

Hubungan cinta antara Dalmadi dan Alam yang dipisahkan oleh norma, etika, masyarakat, dan negara.


kru

Sutradara : Maulvi DM
Ide Cerita : Maulvi DM


pemeran

Mapa Satrio
Fitri Juliana
Andi Farkhan

_________________________________________________________________________________


catatan produksi

RAIN adalah sebuah side project yang diplot untuk mengikuti kompetisi film pendek bertema ruang hijau di Bandung sono. Mengapa side project? Karena memang persiapan dan pembuatan film pendek ini memang kilat, tidak sampai seminggu.

RAIN memperoleh premiere di Secret Screening PTSF 2013 yang berlokasi di Moviebox Seturan, Juni 2013. Film ini juga kemudian diputar di pemutaran Bioskop Rakyat Purbalingga di Mabes CLC Purbalingga pada Juli 2013.

RESEPSI


resepsi | maulvi dm | maret 2013 | 19m20d


sinopsis

Merasa terkungkung, Gesang dan Gia memutuskan kabur menjelang resepsi pernikahan mereka. Pada sebuah stasiun kecil, pengantin baru itu menunggu kereta api yang akan membawa pada kehidupan baru yang mereka inginkan.


kru

Ide cerita : Nara Indra
Naskah : Maulvi DM, Nara Indra, Dewi Kharisma Michellia
Produser : Nara Indra, Satwika Paramastya
Sutradara : Maulvi DM
Penata Seni : Dewi Kharisma Michellia
Penata Fotografi : Nindias Nur Khalika
Penata Suara : Danang Arif
Penyunting : Maulvi DM


pemeran

Adib Muhammad
Nella Aprilia Puspitasari


musik


"Lagu Berdua" - Jalan Pulang
"Untuk Kembali" - Maulvi DM
"Untuk Kembali - Destroy Mode" - Maulvi DM & Danistya K
"Untuk Kembali - Dystopian Mode" - Danistya K
"Untuk Kemba.." - M Adib


pencapaian

sesi pemutaran Festival Film Solo 2013
film pendek terbaik Festival Film Ajisaka - Komunikasi UGM 2013

_________________________________________________________________________________


catatan produksi

Resepsi merupakan film yang sejak awal memang dibuat murni untuk tujuan kompetisi Festival Film Solo. Niatan awal untuk menembus festival ini bermula pada Januari 2013. Tema cerita yang dipilih adalah adaptasi rangka cerita dari naskah 'Follow Me' yang awalnya adalah project personal dari Nara Indra. Bagian yang diadaptasi terutama adalah poin mengenai 'stasiun', 'obrolan', dan 'sepasang lelaki dan perempuan'. Dari sini kemudian Nara mencari berbagai kemungkinan cerita yang berikat pada ketiga poin di atas, di mana kemudian salah satu variasi cerita mengangkat hubungan suami istri, dengan judul 'Kawin Koprol'. Versi inilah kemudian yang diangkat sebagai dasar cerita, dan kemudian mengalami pengembangan lebih lanjut.

Pengembangan cerita ini berlangsung selama hampir dua bulan, dan berbagai variasi cerita dan karakter. Pada bagian ini, Nara menuliskan cerita dalam bentuk cerpen, dan kemudian diadaptasi dalam bentuk naskah oleh Maulvi dan diedit oleh Michelle. Adaptasi naskah inilah yang kemudian mengambil waktu paling panjang. Termasuk di antaranya konsultasi dengan mas Yosef Anggi Noen ketika ada kelas penulisan naskah di Kampung Halaman, serta konsultasi lanjutan dengan mas Windu Yusuf.

Karena waktu deadline yang sempit (15 Maret), maka sepanjang Februari, ketika naskah masih belum final, tim casting mulai mencari pemain. Setelah beberapa kali gonta-ganti pilihan calon pemeran, akhirnya terpilihlah saudara Adib Muhammad dan saudari Nella Puspitasari sebagai pemeran utama. Dari terpilih sebagai pemeran hingga ambil gambar yang berjarak dua minggu, kedua pemeran utama kita ini melakukan reading intensif dengan naskah yang terus berubah-ubah hingga detik terakhir sebelum pengambilan gambar.

Pada awalnya, lokasi bukanlah sebuah masalah serius, karena jauh hari sebelum ambil gambar, PTSF sudah pernah melakukan survei lokasi untuk project 'Follow Me', yaitu di stasiun Srowot. Tapi, karena alasan jarak yang terlalu jauh, maka diadakan survei lanjutan yang membatasi hanya lokasi di sekitar Jogja, dan terpilihlah beberapa lokasi yaitu stasiun Pathukan, stasiun Kalimenur yang sudah tidak terpakai, dan stasiun Kalasan. Dari pilihan tersebut, tim awalnya memilih Pathukan karena kesesuaian dengan naskah. Maka izinpun diurus ke DAOP VI di daerah Lempuyangan. Akan tetapi muncul kejutan. Pihak KAI ternyata memiliki kebijakan baru: Penggunaan di stasiun operasional untuk keperluan syuting dihargai mahar 12 juta rupiah setiap sepuluh jam pemakaian. WTF! Info ini membuyarkan segala rencana di stasiun Pathukan. Akhirnya, dengan segala penyesuaian, tim mengadakan survei sekali lagi dan kemudian memilih stasiun Kalasan yang sudah ditinggalkan tak terurus. Dan akhirnya masalah lokasi terpecahkan.

Pengambilan gambar dilakukan selama dua hari di stasiun Kalasan tanpa halangan berarti, dari pukul 10 pagi hingga 4 sore tiap harinya. Adegan berlari diambil di sebuah jalan kecil lima kilometer selatan stasiun. Setelah pengambilan gambar utama, dilakukan beberapa kali kunjungan terakhir untuk mengambil kembali gambar kereta lewat, karena hasil awal gambarnya tidak begitu memuaskan.

Oh iya, sepanjang sela pengambilan gambar Bro Danis hadir meluangkan waktunya untuk menonton pengambilan gambar. Ketika itu juga Danis, Adib, Danang, dan Maulvi membuat sesi rekaman on-the-spot yang kemudian menghasilkan trek 'Untuk Kembali' yang menjadi theme song karakter Danang dalam film ini.


Paska produksi juga berlangsung dengan sangat kilat, hanya dalam hitungan hari. Dan, melanjutkan tradisi Space dan Penghabisan, PTSF kembali mengajak musisi beneran untuk mengisi soundtrack untuk Resepsi. Dan musisi indie yang bekerjasama kali ini adalah Jalan Pulang yang secara spesial melakukan recording ulang untuk keperluan sound Resepsi. Track yang dipilih sebagai soundtrack adalah 'Lagu Berdua' yang diangkat dari puisi karya Acep Zamzam Nur.


Adalah sebuah keajaiban ketika di kemudian hari film ini lolos sesi pemutaran utama di Festival Film Solo 2013. Pada Kamis 2 Mei, Resepsi diputar secara perdana (world premiere) di Teater Besar ISI Solo, dihadiri oleh segenap kru dan pemain (yang datang telat karena macet) dan special appearance daripada teman-teman Jalan Pulang yang ikut menonton ke Solo.

27/03/13

Java Heat: Indonesia dalam Romantisme Turis Bule




resensi oleh Maulvi


Statement penulis : saya tidak akan membandingkan film ini dengan The Raid.


Bahkan sejak beberapa bulan sebelum diputar, Java Heat sudah menjadi perbincangan khalayak. Tentunya, yang menjadi bahasan utama adalah hadirnya Mickey Rourke yang notabene adalah aktor Hollywood untuk bermain dalam film yang bersettingkan Jogja dan Jawa Tengah ini. Kehadiran kedua aktor tersebut seakan-akan menggambarkan bahwa Java Heat adalah sebuah film berkaliber Hollywood. Benarkah?

Java Heat adalah sebuah film yang ditulis, diproduseri, dan disutradarai oleh Connor Allyn, orang yang sama yang juga membawa trilogi Merah Putih. Setelah Hati Merdeka menutup trilogi ini pada tahun 2011, Allyn mengerjakan Java Heat yang lebih ambisius: Tidak hanya film aksi yang dipenuhi tembakan dan ledakan-ledakan bombastis, namun kali ini diperankan oleh pemeran asli Hollywood, Mickey Rourke dan Kellan Lutz.

Java Heat dimulai dengan interogasi seorang Jake, (Kellan Lutz) akademisi bule yang selamat dari aksi serangan bom bunuh diri teroris dalam semacam acara resepsi semacam Kraton Kesultanan Jawa yang menewaskan seorang Sultana, (Istri Sultan? Diperankan oleh Atiqah Hasiholan). Hash(Hasyim, diperankan Ario Bayu), anggota Densus 88 yang menginterogasi Jake mencurigai bahwa ada kejanggalan di balik serangan bom ini. Hash sendiri juga menyimpan kecurigaan tersendiri pada Jake yang dianggapnya bukan benar-benar seorang akademisi. Dari interogasi ini kemudian diketahui bahwa Sultana tidak tewas. Lantas, ke manakah Sultana?

Di tempat lain, sang pemimpin teroris yang bersurban dan bergamis, Achmed (Mike Lucock), melaporkan keberhasilan operasinya kepada seorang bule bernama Malik (Mickey Rourke). Si Malik ini, digambarkan sebagai seorang bule yang cakap mengucap salam, tapi di sisi lain suka menaruh penari-penari Jawa yang berpose terus-menerus di kamarnya yang gelap, bersama dengan anak-anak lelaki yang kancing bajunya tidak dipasang. Artinya apa? Silahkan artikan sendiri. Mereka berdua inilah yang berada di balik serangan bom bunuh diri di resepsi Kraton itu.

Tidak butuh waktu lama bagi Hash yang letnan Densus 88 untuk membuka kedok Jake yang rupanya adalah Travers, seorang marinir AS (US Navy, Yeah!) yang sebenarnya juga sedang mengejar Malik. Mulai dari sinilah, Hash feat. Jake a.k.a Travers kemudian bekerja sama untuk membongkar jaringan terorisme Malik ini, dan menemukan Sultana. Di sisi lain, Malik juga ternyata memiliki agenda tersendiri dalam aksi terornya, terutama berkaitan dengan Kraton Jawa.

Semenjak awal cerita, Java Heat memang konsisten dengan judulnya (tidak seperti kebanyakan film tahun 2012 yang salah judul). Film berdurasi 103 menit ini sedari awal sudah mengeksploitasi Jawa sebagai sebuah langgam lanskap nan eksotis. Matahari senja dengan siluet candi Prambanan yang membuka film ini mengingatkan pada iklan Visit Indonesia 1993 Garuda Indonesia. Unsur ini demikian dominan sepanjang cerita. Kita bisa temukan di banyak adegan, terutama melalui sosok Malik yang rasa-rasanya orientalis, Jawa yang digambarkan dengan gadis penari yang selalu bergaya, wayang kulit, wedhang ronde, rumah-rumah berpintu ukir, andong, dan berbagai hal lain yang biasa kita temukan di kartu pos pariwisata.

Tidak hanya itu saja bahkan eksploitasi berlandas pariwisata ini juga muncul dalam dialog dan adegan yang sangat terkesan turisme sekali, dari pembahasan soal batik, pencak silat, istilah bule, penyebutan ‘mas’, hingga belakang-belakangnya jatuhnya juga ke nasi goreng, ‘This is Nasi Goreng. Fried Rice. Good for you..’ (hail Obama!). Banyak adegan yang dengan naifnya menggunakan lokasi wisata, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Taman Sari, hingga Makam Kota Gedhe. Bagaikan setiap penonton film ini adalah turis bule yang datang bertamu dan berharap menikmati eksotisme jawa.

Sayangnya, kemudian Java Heat jatuh dalam kubangan turisme tersebut, yang dengan penuh gelora ingin memperkenalkan Indonesia ke mata dunia. Sebenarnya masuk akal ketika perkenalan ini banyak terjadi melalui Jake yang memang buta Indonesia. Akan tetapi intensitas yang berlebihan membuat ‘promosi budaya’ ini terasa terlalu mencolok.

Kubangan ekploitasi Jawa dengan perspektif turis bule ini kemudian mencapai titik terfatalnya ketika Allyn mencoba menggambarkan sebuah Kraton Jawa. Dengan penggunaan setting kota Jogja yang sangat eksesif, penyebutan Sri Sultan The Tenth sebagai pemimpin, mestinya penonton lokal sudah bisa menebak yang dimaksud Allyn sebagai ‘kraton jawa’ ini adalah Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Tapi, bertolak dari konsep yang fiksi, Allyn mencoba lebih jauh mengembangkan konsep Kraton ini. Bahwa sang Sultana dari kraton ini digambarkan bagaikan Lady Di-nya Indonesia. Tunggu. Sebenarnya siapakah Sultana yang dimaksud?

 Menurut Wikipedia, Sultana bisa berarti istri Sultan, atau Sultan perempuan. Tapi film ini menjelaskan Sultana sebagai putri Sultan. Jadi mana yang benar? Ok, bahkan walaupun Sultana ini memang putri Sultan, warga Jogja tidak pernah sekalipun memanggilnya sebagai ‘Sultana’. Pemilihan sebutan Sultana ini terasa remeh, tetapi cukup menjelaskan mentalitas turis bule yang berasa bisa men-simpel-kan segala-galanya dan memanggil siapapun sesuai keinginannya.

Selanjutnya, hal yang masih belum bisa saya tangkap adalah Sang Sultan. Dengan Sultana yang digambarkan sebagai Lady Di-nya Indonesia, maka sang Sultan sendiri tentunya punya kewibawaan lebih tinggi di mata masyarakatnya. Dan kewibawaan ini digambarkan oleh Sultan yang dimainkan oleh... Rudi Wowor. Wow, tidak bisa dipercaya bahwa bukan hanya jagoan dan penjahatnya yang bule, tapi sultannya juga Bule!

Stereotiping gaya koboi ini juga hadir dalam penggambaran terorisme. Pokoknya, buat para orang bule ini, pelaku teror ini adalah orang Islam yang taat agama, berwajah bengis dengan jambang, menenteng AK, memakai baju takwa dan peci ke mana-mana, bahkan ketika pergi ke diskotek. Perilaku tidak mau repot riset ini menimbulkan disrespek yang akut, terutama akan muncul dari masyarakat Islam. Di sisi lain, selain penggambaran klise di atas, digambarkan pula sosok Malik, seorang yang dihormati para teroris ini, dengan nama Arab dan fasihnya salam dan basmalahnya, akan tetapi di saat yang sama suka menyimpan anak-anak kecil di dalam kamarnya. Bisa jadi di satu sisi Allyn sedang mencoba menciptakan karakter yang WTF, tapi di sisi lain, dia seharusnya sadar dia sedang berhadapan dengan masyarakat yang bisa main tembak sendiri 17 orang beramai-ramai pada pagi buta (Ya, tidak kalah WTF-nya).

Rangkaian bangunan deksripsi mengenai Kraton Jawa dan Islam yang terlalu luar biasa ini kemudian justru membuat lembaga ini menjadi tidak meyakinkan. Sulit (bagi setidaknya penonton lokal) untuk percaya bahwa film ini memang bercerita tentang Yogyakarta, Kraton Jogja, dan jaringan terorisme lokal aktual. Inilah yang sedikit banyak sangat mengganggu pikiran sepanjang film ini berjalan. Hal ini sebenarnya patut disayangkan, karena sebenarnya Java Heat menyimpan banyak potensi sebagai film yang baik.

Kebaikan pertama : Plot. Bukan suatu hal yang bagus-bagus amat, tapi Allyn menunjukkan perkembangan yang baik selepas trilogi Hati Merdeka. Kemauannya mengeksplorasi tema terorisme (walaupun stereotyping) dan mengangkat latar eksotisme Jawa (walaupun klise) menunjukkan kejelian Allyn terhadap isu kontemporer dan minat pasar. Sayangnya, pendekatan turisme bule yang dipakai Allyn membuat film ini begitu terbata-bata dalam ceritanya. Mungkin sebab paling utamanya adalah penyakit terjemahan bahasa, stereotiping gaya bule, dan lemahnya riset.

Kebaikan kedua : Setting-gambar-aksi. Perlu digaris bawahi, bahwa keberhasilan paling besar dalam film ini adalah antara segitiga emas antara matangnya pemilihan lokasi dan pengarahan seni Martin Williams, kuatnya konsep visual dan sinematografi film oleh Shane Daly, serta arahan laga Nick McKinless. Di luar penceritaan yang terkadang putus-nyambung dan bertele, indahnya lanskap urban dan rural Jogja serta serunya aksi tegang bisa membuat penonton terus bertahan di kursinya.

Kebaikan ketiga : Pemain. Bisa dibilang, selain Frans Tumbuan sebagai Pak Jenderal, setiap pemeran lokal dalam Java Heat bermain sangat optimal dan berkarakter. Lihat saja bagaimana Rifnu Wikana sangat dingin sebagai counterpart Hasyim dari Densus 88. Verdi Soelaiman, mungkin dalam peran stereotipikal pertamanya sebagai Cina yang Cina juga sangat kuat. Dan yang cukup menjadi scene-stealer meski hadir cukup singkat adalah Uli Auliani yang ‘aduhai seksinya’. Mungkin bisa jadi faktor begitu optimalnya mereka adalah kehadiran aktor luar seperti Lutz dan Rourke. Di sisi lain, Ario Bayu, Atiqah, dan Astri Nurdin justru tampil biasa sekali. Dan Mike Lucock tampil menyedihkan dengan tampang galak dan peci naifnya. Oh iya, aktris Rahayu Saraswati yang mendapat pendidikan akting di London dan Hollywood menurut Wikipedia, juga beberapa kali jadi kameo di film ini. Satu jadi mahasiswi UMY, satu lagi jadi pembawa berita radio.

Catatan lain dari sisi pemeran ini adalah bahwa terjadi kebingungan logat yang luar biasa dari pemeran lokal, berkaitan dengan penggunaan Bahasa Inggris di hampir seluruh bagian cerita. Setiap pemeran lokal serasa berusaha berbicara bahasa Inggris dengan baik dan benar. Hal ini menjadi tabrakan ketika justru Kellan Lutz bermain sangat santai.

Baiklah, sampai di akhir pembahasan. Seperti yang dibilang tadi, Java Heat pada dasarnya adalah sebuah paket film aksi dan ledakan bombastis, yang punya niat baik untuk membedah konstruksi terorisme di Indonesia, serta secara bersamaan memperkenalkan Indonesia, terutama pariwisatanya kepada dunia. Akan tetapi, bagaimana jadinya jika yang memperkenalkannya adalah turis bule juga? Mungkin tidak jauh juga dari orang Jakarta yang mencoba memperkenalkan Jogjakarta dalam berbagai FTV.




05/03/13

Belenggu: Thriller yang Terlalu Utuh




resensi oleh Maulvi 


Membaca karya-karya Upi selama satu dekade ini rasanya seperti membaca sebuah genre spesifik. Apa yang bisa anda bayangkan akan keluar dari seseorang yang membuat 30 Hari Mencari Cinta hingga Realita, Cinta, dan Rock and Roll, Serigala Terakhir, serta Radit dan Jani? Tentunya adalah gaya pendekatan yang khas anak muda beserta segala keseruannya. Lantas dengan imaji satu dekade yang dibangun oleh Upi ini, apa yang akan dibayangkan ketika dia membesut film thriller pertamanya, Belenggu? Mungkin, satu hal inilah yang harus dipersiapkan ketika akan menonton Belenggu. Dalam film ini, bisa jadi anda tidak akan menemukan Upi yang selama ini anda kenal, atau mungkin kebalikannya, yang selama ini ada kenal, mungkin bukanlah Upi yang sebenarnya.

Thriller berdurasi 100 menit ini dibuka hampir mirip dengan Modus Anomali: Elang, seorang pria berlari dengan kebingungan di tengah hutan di malam hari. Di tengah kebingungannya tiba-tiba dia berada dalam sebuah mobil, dengan seorang gadis. Bersama dengan mereka, ternyata ada dua sosok mayat di sampingnya. Ditambah kemunculan sesosok kelinci misterius di jok depan. Apa-apaan ini? Ternyata ini hanya mimpi, satu dari sekian banyak mimpi Elang yang begitu aneh dan janggal. Kejanggalan-kejanggalan inilah yang kemudian menemaninya sebagai penghuni sebuah apartemen sepi yang dingin, bertetangga dengan sebuah keluarga yang disfungsional. Elang, selalu dihantui oleh kejadian-kejadian membingungkan sekaligus mengerikan, yang tidak memberikan batas yang jelas antara kenyataan dan mimpi, dimulai dari munculnya sosok perempuan bernama Jingga, konser teater kabaret dengan penonton-penonton yang aneh, hingga sosok kelinci, yang dalam pertemuannya, selalu berakhir dengan pembantaian keluarga tersebut. Sosok kelinci ini mungkin bisa disamakan dengan sosok doktor bedah yang menghantui dalam Modus Anomali. Dari kejadian-kejadian inilah, kemudian penonton diajak menggali misteri dibalik pengalaman-pengalaman Elang. Misteri, yang bisa jadi mengagetkan, bisa jadi tidak.

Menonton film ini rasanya seperti mengumpulkan berbagai serpihan referensi yang rasanya sudah familiar. Di antara serpihan-serpihan tersebut adalah Joko Anwar, David Lynch, dan Donnie Darko. Mungkin adalah suatu ketidak beruntungan semata dari Upi ketika Modus Anomali rilis setahun lebih cepat, padahal menurut Upi, Belenggu sudah dipersiapkan selama 8 tahun lamanya. Tak bisa ditolak bahwa film ini dalam banyak hal bersinggungan dengan film terakhir Joko Anwar ini, mulai dari visual opening, tema seorang anonim yang kebingungan, hingga pola penceritaan yang memajumundurkan plot.

Di sisi lain, kehadiran yang tipis antara mimpi dan kenyataan yang sama-sama absurd, termasuk kehadiran panggung teater, tentu saja melekatkan imaji David Lynch. Upi sendiri mengakui bahwa Belenggu menjadi semacam tribut darinya untuk Lynch, terutama dari serial Twin Peaks-nya. Tapi bisa dibilang, bahwa kadar Lynchian dalam Belenggu begitu kebangetan. Kadar ini begitu kental dalam suasana apartemen yang terlalu absurd, teater makabre yang menjadi kunci pandora, hingga kemunculan lelaki bertopi koboi dengan alis pirang-yang tentu saja adalah penjelmaan pria bertopi koboi tanpa alis dalam Mulholland Drive. Kemudian, terakhir, kehadiran kelinci misterius yang ‘menyeramkan’ tentu saja merupakan ingatan yang berasal dari Donnie Darko, sebuah film berjarak satu dekade lamanya, yang juga membedah antara mimpi, kenyataan, dan konspirasi di antaranya.

Meskipun mungkin memiliki semacam keberlintasan keserupaan dengan serpihan-serpihan tadi, akan tetapi bukan berarti film ini hanya bermakna pengulangan semata. Upi, dalam identitas barunya, memberikan sebuah sajian yang menurut penulis belum pernah diracik oleh sineas Indonesia sebelumnya, dalam sebuah kesatuan yang padu.

Sajian pertama adalah plot. Tidak sia-sia Upi menghabiskan 8 tahun untuk meramu thriller ini. Ketegangan-demi-ketegangan, kebingungan-demi-kebingungan berhasil menyeret penonton pada pencarian kembali Elang terhadap ingatan-ingatannya. Terjemah Lynch tentang konsep kenyataan dan mimpi yang saling terproyeksikan dipatuhi dengan baik oleh Upi, dengan berbagai referensi yang berkaitan antara mimpi dan (nantinya) identitas Elang. Upi juga tidak risih berliar-liaran dengan imaji. Adegan pembuka film ini, tentu mengingatkan pada adegan lift-tsunami darah dalam The Shining-nya Kubrick. Plot yang kelihatannya tidak ada juntrungannya ini kemudian di paruh kedua dikupas oleh Upi secara perlahan-lahan. Inilah kiranya yang bisa preseden sangat baik, atau mungkin sangat tidak baik. Di satu sisi, Upi menuntaskan pengupasan plot ini. Ini adalah hal yang bisa jadi baik dan memanjakan penonton lebih luas. Akan tetapi tuntasnya pengupasan plot ini artinya tidak ada perdebatan lagi mengenai cerita ini, yang bisa jadi sangat mengganggu bagi penonton tipikal thriller, terutama yang sudah dibiasakan dengan kultur Joko Anwar yang sekarep dewek melemparkan interpretasi pada penonton. Tapi bisa jadi, inilah jelinya Upi. Dan kejelian ini yang nantinya mungkin dapat dibuktikan dengan perolehan tiket beberapa bulan lagi.

Sajian kedua tentu saja adalah pagelaran akting dari Abimana Aryasatya. Dengan sangat baik, Abimana berhasil mentransformasikan dirinya sebagai sosok Elang dalam kebingungannya menerjemahkan kenyataan dan khayalan. Akting Abimana bisa dibilang menjadi separuh nyawa yang bisa mengatur seenak udelnya mood film ini. Salah satu akting Abimana yang paling memorable di paruh akhir cerita ini mengingatkan kegilaan astronot David Bowman ketika memasuki lorong angkasa dalam 2001: A Space Odyssey. Kalo bole berlebay-lebay-an, inilah satu karakter yang diciptakan untuk Abimana, atau kebalikannya Abimana diciptakan untuk peran Elang ini, hehehe. Di sisi lain, Imelda Therinne, sebagai Jingga cukup baik dalam mengimbangi kekacauan Elang. Verdi Soelaiman, muncul sedikit, tapi memberikan kesan yang cukup ‘mengacaukan’ dunia Elang. Yang terasa kurang dalam barisan akting mungkin adalah Laudya Cinthia Bella sebagai Djenar, yang terasa masih awkward dengan ambience Belenggu.

Sajian ketiga adalah visual dan musik dalam film ini, yang masing-masing dipegang oleh Ical Tanjung, dan Aksan Sjuman. Ical dengan sangat berhasil menerjemahkan rasa Belenggu yang berlapis dalam sebuah sinematografi yang bervolume. Kecanggungan-kecanggungan yang terasa seperti dalam Modus Anomali dan Kala, misalnya, tidak ditemui dalam film ini. Secara visual, Belenggu dapat menegaskan karakternya dengan gamblang. Di sisi lain, divisi musik juga mampu mendukung film ini, dengan aransemen yang cukup mengejutkan dan begitu ‘menantang’ dari Aksan Sjuman. Sama dengan sisi visualnya, musik Belenggu mampu melepaskan dirinya dari kecanggungan terhadap genre thriller film ini. Sedikit banyak, mungkin kehadiran dan intensnya peran musik dalam Belenggun mengingatkan pada aransemen The Silence of The Lamb yang juga menghantui. Kedua departemen ini berhasil membuat Belenggu menjadi sebuah thriller yang utuh, secara inderawi.

Bisa jadi, secara teknis, Belenggu nyaris tanpa cela. Kesan artifisial yang menjadi penyakit buruk film-film Indonesia-terutama yang berlatar antah-berantah, tidak lagi terjumpai dalam Belenggu. Film ini berhasil menjadi karakter yang penuh dan dewasa dalam genrenya. Satu-satunya kekecewaan teknis untuk Belenggu bisa jadi adalah poster utama filmnya yang sangat KK Dheeraj, lengkap dengan mata melotot dan gadis bersimbah darahnya (bisa jadi inilah satu-satunya referensi Upi sebagai rookie dalam genre thriller ini). Mungkin banyaknya referensi Upi terhadap Joko Anwar (secara plot) dan Lynch (secara ambience), bisa jadi membuatnya tidak begitu segar lagi secara ide. Akan tetapi, kembali lagi dalam posisinya di perfilman Indonesia, Belenggu telah berhasil mentransformasikan dan membawa genre thriller naik satu tingkat lebih tinggi lagi. Setidaknya, saya tidak merasa sia-sia menghabiskan uang untuk menonton film ini.