21/05/12

STMJ#1 (Screening Together Malam Jum'at)



STMJ#1 (Screening Together Malam Jum'at) adalah sebuah kegiatan bersama pemutaran film-film pendek dari PTSF dan Tenanan Iki Pictures, yang akan diadakan pada Malam Jum'at mendatang, tanggal 24 Mei 2012. Dalam kegiatan ini, akan diputar kurang lebih sepuluh film produksi PTSF dan TIP, di mana acara ini juga merupakan premier screening bagi SPACE, feature terbaru-nya PTSF. STMJ#1 akan diadakan di Kantin Fisipol UGM, dan akan dimulai ba'da maghrib.


Ayo, silahkan beramai-ramai mendatangi acara ini!! ^.^

18/05/12

Belajar dari Reverie dan Bram The Stalker

Namanya juga kelompok belajar film, maka kita harus rajin-rajin mengambil hikmah dari kejadian-kejadian lampau untuk kemudian dapat belajar dengan lebih optimal dalam bidang ini. Sebenarnya, Reverie dan BTS bisa dikatakan bagi penulis, belum sesuai dengan ekspektasi/ impian dalam PTS, tapi tentu saja karena ini proses, maka kita harus pelan-pelan. Nah, dari sinilah, kami akan rilis beberapa pelajaran yang dapat diambil dari pembuatan Reverie dan BTS:

1. Membuat cerita yang baik dan benar. Cerita adalah satu bentuk penyampaian ide dan gagasan, jadi pada dasarnya, cerita bisa dikatakan baik ketika penonton mampu mendapatkan ide dan gagasan yang ingin disampaikan. Itu, baru cerita yang benar. Tapi, bagaimana dengan cerita yang baik? Cerita yang baik tentu saja, cerita yang baik. Ehm, maksudnya, cerita tersebut dapat memberi efek yang menghibur (dalam artian luas) bagi penontonnya, artinya dapat memberi 'sesuatu' bagi penontonnya. Kalo film horor misalnya, penonton jadi takut, ato kalo film thriller misalnya, penonton jadi ketar-ketir.

Pada dasarnya, dengan bentuk media yang spesifik, di mana film lebih fokus pada media suara dan gerak, maka bagaimana menghantarkan sebuah cerita dengan efektif dan membuat cerita yang baik yang ideal untuk difilmkan menjadi sebuah tantangan tersendiri. Film berhubungan dengan durasi. Kalo film pendek, maka durasinya kurang lebih 5 - 10 menit, dan idealnya ceritanya adalah tipikal cerita pendek/cerpen. Seperti yang ditulis Lalik di blognya, Bram The Stalker terasa agak aneh ditonton karena 'tidak memberikan waktu untuk menghela nafas bagi tokohnya'. Inilah yang dimaksud. Kalo ceritanya panjang, tapi dalam satu durasi yang pendek, maka penonton tidak akan punya waktu untuk meresapi tiap adegan. Walau demikian, sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk membuat satu cerita yang lengkap dalam satu film pendek, seperti dalam film pendek 'The Sign', dan itu juga bisa menjadi bahan belajar juga, gimana cara membuat naskah menjadi lebih efektif dan enak dinikmati.

2. Waktu. Waktu adalah hal yang sangat krusial bagi setiap pemula. Apalagi dalam sebuah produksi di tengah kesibukan kuliah, maka memang seharusnya pengaturan waktu jadi satu departemen yang penting. Apalagi dalam sebuah produksi dengan jumlah scene yang besar, maka, penggunaan waktu semakin harus benar-benar jelas.

Sejauh ini, di PTSF sendiri division of labour yang ada masih blur sehingga seringkali, para kru yang terlibat dalam produksi hanya berkutat pada masalah teknis pembuatan. Padahal, kru yang berfungsi sebagai manajer yang tidak harus berhubungan dengan tetek bengek teknis sinematografi juga memiliki fungsi penting, seperti kepengurusan izin, pengaturan jadwal dan waktu syuting, dan lain sebagainya. Fungsi manajerial inilah yang saat ini masih sangat jarang, meskipun sudah mulai dibentuk. Keberadaan manajer akan mempermudah pengaturan waktu yang terutama bagi teman-teman PTSF sangat sedikit, karena terbatas pekerjaan dan kuliah.

17/05/12

Lovely Man: Intensity, Intimately



resensi oleh Maulvi


Meski agak sangat terlambat, tapi rasa-rasanya harus juga saya me-review film satu ini, soalnya masak saya mereview The Raid dan Tanda Tanya sedangkan Lovely Man menurut saya lebih baik daripada kedua film ini? Jadi biarpun udah telat hampir setahun mungkin setelah film ini dirilis di Hong Kong, tetaplah akan kita review lagi film ini.

Baiklah, Lovely Man adalah satu karya dari Teddy Soeriaatmadja, sutradara yang dari jaman pertama muncul selalu idealis dan suka bereksplorasi secara sinematika, berbeda dengan kebanyakan sutradara Indonesia era baru lainnya yang lebih sering berkutat di penceritaan dan tema. Karya-karya sebelumnya  konsisten: selalu aneh, dalam artian selalu membawa suatu hal yang baru. Banyu Biru, jelas aneh dengan segala awkwardness-nya. Rumah Maida memulai genre baru film yang mengeksplorasi gaya tempoe doeloe dengan soundtrack yang sangat kuat dan sekarang bisa dilihat 'terusan'-nya dalam Soegija-nya Garin. Ruang yang jelas memang senang bermain-main dengan gaya yang vintage. Hingga Badai Pasti Berlalu dan Namaku Dick yang.. anehnya biasa aja. Tapi dalam Lovely Man, Teddy benar-benar membawa suatu hal baru yang saya kira belum pernah saya benar-benar temukan dalam film Indonesia, meskipun style ini terkadang muncul dalam style-nya Garin dan Riri era awal.

Lovely Man dibuka dengan sesosok manusia berjalan tertatih menembus subuh Jakarta, melewati petak-petak apartemen kumuh, aspal-aspal kasar, lapangan umum yang kusam. Kamera mengikuti sosok pria berpakaian seronok ini yang berdarah-darah, kembali ke sarangnya yang durjana, gelap, suram, dan dalam keran shower kamar mandinya yang seperti menangisi kepulangannya, sang pria menatap kosong, seakan meratap ke langit-langit yang sempit. Ya, inilah awal perkenalan kita dengan Pak Syaiful (Donny Damara), yang kalau malam dipanggil Ipuy. Opening titel film ini tidaklah istimewa, jika tidak bisa dibilang tidak begitu baik. Mirip FTV. Akan tetapi perhatian akan langsung terseret pada langkah-langkah gontai Ipuy ini, dengan dihantui sepatah dua patah dentingan musik latar yang kasar, diimbuhi suara-suara latar yang mengganggu. Ya, sepuluh menit pertama film ini sudah dapat memperkenalkan bagaimana film ini akan membawa penontonnya sepanjang pertunjukan. Kamera yang hand-held dan verite, warna-warna kusam yang mencolok, berpendarnya warna Jakarta, dan suara-suara latar yang akan kita temui di bagian terkumuh Jakarta.



Di tempat lain, seorang gadis berkerudung dalam perjalanan kereta ekonomi menuju Jakarta. Cahaya (Raihannun), seorang gadis pesantren yang alim dan rajin sembahyang, dalam perjalanan mencari ayahnya, yang telah menghilang selama 15 tahun lebih, meskipun selama itu pula tidak putus mengirimkan nafkah batin dari Jakarta. Bukan hal yang sulit, dengan alamat di tangan, untuk mencari tempat tinggal ayahnya, meskipun kemudian segala harapan dan ekspektasi Cahaya runtuh seketika ketika bertemu dengan sang ayah dalam kondisi yang tak pernah dia bayangkan sampai mati juga: berdandan dan bergincu tebal, berbaju seksi merah menyala lengkap dengan stockingnya, serta memamerkan paha dan celana dalamnya kepada setiap pengendara di pinggir jalan. Ayahnya adalah seorang waria. Dan disinilah segala cerita dimulai.

Cerita yang disodorkan Teddy bukanlah sebuah kisah yang bombastis dan 'menggugah iman'. Bukan pula kisah yang 'idealistis dan pro femininitas' seperti pola sutradara-sutradara seangkatannya yang kini sudah sukses. Dengan modal yang sama, Teddy menggali sesuatu yang sederhana, kontradiksi-kontradiksi dalam kehidupan, serta bagaimana hal tersebut dapat berpadu harmonis dalam sebuah kota bernama Jakarta. Bukan fakta yang indah bahwa ternyata biaya pesantren bertahun-tahun Cahaya ternyata berasal dari burung lelaki-lelaki yang dihisap ayahnya. Cahaya sendiri, dibalik segala kealiman dan ketaatannya pada agama pun memiliki rahasia tersendiri, yang begitu mudahnya dipahami sang ayah. Kontradiksi-kontradiksi pinggiran ini saja tidak cukup karena sudah banyak film2 serupa yang menggali kekumuhan Jakarta, tapi tampil preachy. Di sinilah Teddy membalut kisah ini dengan dialog-dialog yang tidak luar biasa, tapi begitu wajar dan menarik. Dialog antara anak dan ayah sembari menyusuri dini hari Jakarta menjadi porsi utama dalam film ini, hampir mengingatkan pada Before Sunrise-nya Linklater yang serupa menggelitik dialognya. Tetapi, dengan bekal karakter yang lebih dalam dan kuat, Teddy memiliki ruang lebih jauh dalam mempermainkan dialog tersebut. Meskipun demikian bukan berarti skenarionya tanpa cela. Seperti layaknya film Indonesia, dialog Lovely Man hampir terperosok pada bahasa-bahasa klise pada pertengahan akhir cerita, ketika nasihat-nasihat baik mulai bertebaran, meskipun tidak sampai mengganggu mood yang sudah terbangun.


Di sisi lain, kuatnya skenario ini didukung oleh kuatnya adu akting kedua pemerannya, Raihannun dan Donny Damara. Yang satu bekas bintang remaja, yang satu bekas pemain sinetron. Tapi, di film ini mereka seakan menjadi orang lain, yang penonton hanya mau mengenal mereka sebagai Cahaya yang manis dan Ipuy yang lovely. Salah satu adu kekuatan akting mereka yang paling kuat bisa dilihat pada adegan ketika pertama kali bertemu. Saking seriusnya akting mereka dalam adegan itu, sampai-sampai Donny sempat disamperi warga sekitar karena dikira mau ngapa-ngapain gadis alim itu. Kesungguhan Donny dalam menyelami Ipuy begitu kuat, ditambah wajahnya yang agak metroseksual. Keberanian Donny ini menjadi pameran akting sepanjang film. Saya jadi ingat Tony Leung di Happy Together yang juga beradegan cukup berani di awal film. Mungkin, satu-satunya hal yang mengganggu dari Ipuy adalah bahwa lengannya begitu kekar. Walau bukannya tidak ada waria berotot, nampaknya jika Ipuy lebih kurus, maka dia akan tampak jauh 'lebih cantik'. Cahaya, eh, Raihannun sendiri juga berhasil menjadi Cahaya yang masih bingung dengan masa depannya, tetapi cukup berani untuk menerima fakta paling aneh tentang ayahnya. Hanya saja, terkadang -sangat terkadang-, logat modern kelas atas Raihannun sempat nyempil, terutama ketika beberapa patah naskah memang terdengar agak kota, ketimbang desa maupun pesantren.

Dan departemen yang juga sangat kuat adalah sinematografi, art, dan sound editing. Ketiganya saling mendukung untuk membentuk imaji Jakarta yang dingin, rapuh, dan begitu 'sunyi'. Gambar-gambar dengan latar berpendar, over blur, grain yang kasar, dan pergerakan hand-held yang begitu aksidental, mengikuti secara tergopoh dan terkaget-kaget berbagai peristiwa yang dialami dua insan ini. Gaya-gaya ini sebenarnya sudah muncul beberapa tahun belakangan ini terutama dari kalangan filmmaker indie yang hanya berbekal kamera DSLR yang merekam dunia urban yang tak tersentuh film-film konvensional. Dan untuk Indonesia, Teddy-lah yang berhasil mengaplikasikannya pertama kali di layar lebar (dan dia MEMANG menggunakan DSLR-Canon 7D- untuk film ini, ketahuan dari sekali adegan bocor yang memperlihatkan bayangan kamera). Gaya perekaman ini membuat film ini menjadi begitu low-profile, dan dengan mudah mengintimkan penonton dengan karakter dan dunia mereka yang kelam. Meskipun agak kasar (dan mengingatkan pada film-filmnya Aria Kusumadewa) di adegan pembukanya, tetapi dengan baik sound editing film ini juga menemani departemen visual dalam merangkum suasana Jakarta dini hari. Dan ini masih ditambah musik yang nggak klise, dan dengan rendah hati memberikan bagian-bagian terbaiknya pada komposisi Claire de Lune-nya Debussy, yang sangat sweet, dark, dan dreamy, seakan menggambarkan sebagaimana lovely-nya Ipuy dan dunianya.

Buat saya sendiri, menonton Lovely Man adalah sebuah pengalaman baru yang susah dicari penggantinya. Meskipun demikian, tapi tidak begitu nampaknya bagi para penonton Indonesia. Ketika saya pergi memesan tiket satu jam sebelum pertunjukan dimulai, baru tiga orang yang sudah membeli tiket untuk Lovely Man. Bahkan ketika pertunjukan dimulai, jumlah penonton yang hadir di studio tempat saya menonton bisa dihitung dengan jari satu manusia. Hal ini tidak bisa ditampik, terutama karena faktor promosi yang sangat kurang dari film ini, yang seakan hanya bertumpu pada kabar awang-awang tentang kemenangannya di berbagai festival film internasional. Hal yang sama sedikit banyak juga dialami Modus Anomali, meskipun Modus lebih tinggi animonya karena adegan Ibu hamil yang kontroversial itu. Di sini, mestinya film Indonesia bisa belajar mengelola promosi filmnya, terutama karena Lovely Man sebenarnya memiliki wild card  yang jarang dimiliki film-film Indonesia lainnya-penghargaan internasional. The Raid bisa menjadi contoh yang baik. Produksi Evans sebelumnya, Merantau, hampir mirip Lovely Man. Berhasil di festival tapi gagal di pasaran. Kemudian, Evans memperbaikinya dengan mem-boost promosi The Raid melalui pemberitaan-pemberitaan viral yang heboh di berbagai media sosial di internet. Sedangkan di sisi lain, justru Lovely Man mendapat viral negatif setelah dihentikan pemutarannya oleh FPI dalam Q! Film Festival 2011. Padahal menurut saya, dari sinilah sebenarnya muncul satu lagi wajah perfilman Indonesia yang lebih realistis, dan lebih indah tanpa pemaksaan-pemaksaan yang tidak perlu. Sayangnya, penonton-penonton Indonesia sendiri nampaknya masih belum siap dan lebih menjejalkan pilihannya pada pseudo-cinema semacam Nenek Gayung atau Kakek Cangkul..

15/05/12

JAKARTA, JAKARTA



jakarta, jakarta | maulvi dm | mei 2011 |29m30d

sinopsis

Sebuah dokumentasi yang sebenarnya mendahului kelahiran PTSF itu sendiri, sebuah dokumentasi tentang perjalanan eksodus dari abu Merapi, menuju Jakarta.


kru

Videografer : Maulvi DM


pemain 

Peserta Studi Ekskursi HI 07 (Jakarta, 2010)

_________________________________________________________________________________


catatan produksi

Jakarta, Jakarta adalah film dokumenter yang sebenarnya merupakan pesanan dari panitia Studi Ekskursi HI UGM 2007, yang karena berbagai misteri dan fenomena sempat terbengkalai hingga dua tahun lamanya. Jakarta, Jakarta menandai dimulainya era mobile editing dalam PTSF, di mana sebagian besar proses paska produksi video ini dilakukan di PSJ pada jam kerja.


trivia
  • Adegan bendera berkibar di film ini yang diambil di sebuah kantor Astra Internasional Jakarta, digunakan sebagai footage yang pertama-tama dari film PTSF, muncul sekilas dalam Reverie(2010).
  • Film dokumenter terlama yang disutradarai Maulvi DM, 29 m 30 d.

BULE!!




bule | maulvi dm | april 2012 | 02m59d


sinopsis

Mendengarkan sejenak apa yang ada di kepala manusia-manusia Jogja, ketika mereka menggunakan kata bule. Apa benar, bule adalah istilah yang sebegitu stereotypingnya, ataukah jangan-jangan ini adalah salah satu dari agenda zionisme?



kru

konseptor :
Satwika Paramasatya
Danang Arif
Agi Ekasaputro
Nara Indra
Maulvi DM
Lalik Lique

videografer :
Maulvi DM


_________________________________________________________________________________


catatan produksi

Bule merupakan projek pertama-tama dari PTSF yang bersifat dokumenter murni. Dan, sekali lagi, melalui projek ini, kami kembali ke habitat natural kami sebagai petarung kompetisi, setelah lebih dari setahun puasa kompetisi. Ya, dari durasi yang keliatan sekali dipas-paskan tiga menit saja, pasti terlihat ini adalah kompetisi film pendek. Kompetisi yang dimaksud adalah ASEF, semacam komunitas Asia Eropa yang menggeluti bentuk-bentuk pengakraban hubungan antara masyarakat Eropa dan Asia. Maka dari itu, kami memilih konsep Bule yang bisa dipandang sebagai usaha-usaha personifikasi makhluk kaukasian oleh masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa.

Yang cukup menarik adalah ketika kita mencari obyek wawancara yang unik, mulai dari mahasiswa pertukaran sampai tukang jual roti. Dari polisi lalu lintas sampai seorang pecinta bule yang patah hati. Dari anak pesantren sampai ketua BEM yang suka demo.

Sayangnya, film ini kandas di kompetisi ini.


trivia
  • Brainstorming film ini diadakan di Jamu Ginggang, daerah Pakualaman, yang diteruskan dengan menonton Mata Tertutup.
  • Seorang ketua BEM UIN yang diwawancarai di pesantren Krapyak pada pukul 24.00, awalnya sedang melakukan demo anti kenaikan BBM di daerah Jalan Solo, Jogja utara, dan dengan menggunakan motor, dirinya menembus jalanan Jogja tengah malam untuk melakukan pengambilan gambar di daerah Krapyak, Jogja selatan.
  • Film ini gagal mencapai 10 besar di kompetisi ASEF.

SPACE



space | maulvi dm | mei 2012 | 17m29d


sinopsis

Seorang gadis mempertanyakan sang kekasih, menginterogasi hatinya dalam bisikan imajinasi. Apakah hubungan mereka baik-baik saja? Sang lelaki nampak semakin menjauh. Mengapa dia menjauh? Sang gadis tak hentinya bertanya. 

Space, tidak hanya bercerita tentang jarak di antara mereka, akan tetapi juga angkasa tempat mereka melayang terbang dan bermain-main dalam nasib dan khayal mereka. Ke manakah angkasa akan membawa permainan mereka melayang?


kru

Ide cerita : Agi Ekasaputro
Skenario : Maulvi DM & Nara Indra
Penata Seni : Lalik Lique
Kostum : Agi Ekasaputro
Manajer Produksi : Satwika Paramasatya
Sutradara : Maulvi DM
Kasting : Agi E. dan Satwika P.
Sinematografi : Maulvi DM
Kamera Dua : Ajeng Sekar
Editor : Maulvi DM


pemain

Carina Megarani
Rafael Bernardino
Reza Aditya
Benedictus Priyo Pratomo
Agi Ekasaputro
Danang Arif
Nara Indra


musik


"Silica Gel" - Maulvi DM
"Kathyusa Doll" - Maulvi DM
"Before Storm" - Maulvi DM
"Storm" - Maulvi DM

"Closer" - Maulvi DM

dan menggunakan dengan pamit

"Kita Adalah Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa" - Melancholic Bitch / Frau
"Mesin Penenun Hujan" - Frau (excerpt)


Penghargaan

~ Best Short Feature ~ Kompetisi Film Pendek Comission Komunikasi UNAIR, Surabaya 2012
~ Best Screenplay ~ Kompetisi Film Pendek Bemikom UIN SUKA, Yogyakarta 2012
~ Nominasi Best Short Feature ~  Kompetisi Film Pendek Bemikom UIN SUKA, Yogyakarta 2012
~ Nominasi Best Editing ~  Kompetisi Film Pendek Bemikom UIN SUKA, Yogyakarta 2012

_________________________________________________________________________________


catatan produksi

Motif dasar dari produksi ini adalah kompetisi. Pada awalnya adalah sebuah kompetisi film bertema 'woman empowerment' yang diadakan oleh Komunikasi UNAIR, jauh di Surabaya sana. Maka kemudian brainstorming diadakan untuk mencari cerita yang tepat untuk kompetisi ini. Bisa dikatakan, inilah proses pertama-tama dari brainstorming cerita yang secara terstruktur dan demokratis berhasil menghasilkan masukan yang sangat penting dan berpengaruh pada unsur cerita.

[Spoiler Alert] Karena pada awalnya niatan produksi ini hampir tidak ada nilai personal, maka masukan yang ada cenderung berimbang. Di sisi lain, ada beberapa referensi menarik yang muncul; Agi mengusulkan dunia game sebagai realm film ini. Danang, Danis, dan Dika (kalau tidak salah) juga mengusulkan konsep video youtube freddiew yang cukup akomodatif terhadap usul Agi. Dari dua tema inilah lalu kami mulai mengembangkan cerita.

Melakukan pembenaran, bermain game FPS demi survei efek spesial.


Agi yang mengusulkan game sebagai cerita, lalu didapuk untuk mengerjakan pre-story dari film ini, istilahnya umpanan, agar ceritanya bisa dimulai. Maka Agi menyelesaikannya dalam bentuk cerpen berjudul 'Urung Ono Judul'. Dari sini kemudian Maulvi mengembangkan cerita Agi tadi dalam wujud skenario. Beberapa bagian diubah, dan bagian-bagian lain dijadikan referensi untuk cerita. Pada awalnyapun, dalam cerpen Agi, konsep game yang dipakai adalah RPG, namun kemudian untuk kemudahan eksplorasi visual digeser menjadi FPS. Skenario ini pun kemudian diperhalus lagi oleh Nara. Bagian paling legendaris dari film ini, quote 'Apakah kamu tahu?' muncul dari tangan Nara.

Ini adalah beberapa storyboard, yang menggambarkan betapa demandingnya
sinematografi produksi ini.


Kami diberkati oleh lokasi-lokasi baru yang melimpah dan belum tereksplorasi di sekitar Fisipol, yaitu gedung baru Fisipol dan perpustakaan baru Fisipol, yang pada masa produksi sudah jadi, tapi belum ditempati. Mungkin jika ada yang perlu dikorbankan adalah karena belum dipasangnya pengatur udara di lokasi-lokasi tersebut, maka rasa panas dan sumuk yang terlalu tidak dapat terhindarkan, apalagi ketika pengambilan gambar berlangsung seharian penuh.

Kebodohan arsitektural ini nyata adanya di UGM. Kami menemukannya ketika survei lokasi.

Satu hal lagi yang baru dalam produksi ini adalah pertama kalinya kita menggunakan pemain-pemain yang bukan berasal dari lingkungan PTSF sendiri. Untuk mengejar karakter Tama dan Tama, kami sampai mencari pemain dari angkatan muda. Pemeran Nina, Carina, adalah mahasiswi HI angkatan 2010, yang berhasil diperoleh melalui lobi keras dari Satwika dan Agi dari tim kasting. Selain itu pula, untuk pertama kali juga kami melakukan rekaman suara di studio musik, untuk mengerjakan bagian voice-over. Ini mungkin perkara biasa, tapi ini menjadi sesuatu yang baru bagi kami yang sebelumnya tidak terlalu detail dengan produksi. 

Hal lain yang perlu ditambahkan adalah, kami mulai serius menggarap sisi legal formal dalam produksi Space. Lagu karya Frau, "Kita Adalah Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa" diperoleh melalui pendekatan terhadap Frau sendiri sebagai penggarap lagu, yang kemudian oleh Frau direkomendasikan juga untuk minta izin pada Melancholic Bitch yang menciptakan lagu tersebut. Akhirnya izinpun diperoleh, serta Melbi sendiri cukup bersemangat untuk memasukkan treknya ke dalam film ini.


trivia
  • Adegan paling awal diambil pertama kali, dan adegan terakhir diambil paling akhir.
  • Dan yang lebih keren lagi, adegan game dimulai dengan score berjudul 'Round One', dan score terakhir dari adegan game adalah 'Exit'.
  • Film keempat yang produksinya bersamaan dengan peristiwa bencana. Yang pertama, Reverie bencana Merapi, kedua, Bram The Stalker bencana Tsunami Jepang, ketiga, Psychic Girl bencana banjir bandang Bangkok, dan keempat, Space bencana Sukhoi Joy Flight.
  • Lebih dari 60 % waktu dalam paska produksi digunakan untuk mencari, mengumpulkan, memilih, mensortir, dan mengedit skoring.
  • Sejauh ini produksi fiksi PTSF dengan durasi terlama, 17 menit 28 detik, lima menit lebih lama dari ekspektasi pembuat.
  • (Spoiler) nama game yang ada dalam film ini adalah Armistice Area/AA. Sebelumnya, nama yang direncanakan adalah Combat Zone, tetapi sayangnya nama ini telah dimiliki game lain. Pada akhirnya tak ada dari dua nama ini yang muncul dalam film ini. Baik AA dan Combat Zone diambil dari nama game center tempat penulis berkenalan dengan dunia game online ketika SMP.
  • Adegan terakhir diambil oleh second unit yang dipimpin oleh Ajeng Sekar, karena sutradara dan kru cowok dilarang masuk kamar kos perempuan (berkebalikan dengan Move On).
  • Shiro melakukan kameo penting dalam film ini, meskipun orangnya sendiri tidak sadar.
  • Produksi kesekian PTSF yang direkam secara HD, tetapi produksi pertama yang melalui editing dan render akhir berkualitas HD.
  • Konsep game dalam cerita awal aslinya berupa MMORPG, namun dikarenakan keterbatasan sumber daya dan munculnya gagasan baru yang dianggap lebih irit sehingga diubah menjadi game FPS.
  • Konsep game dalam film ini terinspirasi dari Half Life Counter Strike dan Fallout New Vegas hanya saja tanpa senjata api.
  • Semua senjata tajam yang digunakan dalam film ini adalah asli dan (syukurnya) tidak ada masalah selama pengambilan gambar
  • Alasan mengapa karakter Rafael Bernardino menggunakan plester luka di dagu saat adegan dalam game adalah karena yang bersangkutan terluka ketika sewaktu bercukur pagi hari menjelang shooting dan plester tersebut (ternyata malah) menambah kesan sangar.
  • Semua lighting dalam film ini adalah cahaya ilahi (tidak menggunakan lampu dan alat bantu penerangan lainnya).