12/09/13

Kompetisi Film dan Bagaimana PTSF Memaknainya



oleh Nara Indra


Sebermula adalah Kata         

Apa itu negara?? Menurut tafsir ilmu hubungan internasional, ada beberapa persyaratan bagi sah tidaknya ‘ke-negara-an’ suatu negara : memiliki wilayah, memiliki penduduk, memiliki pemerintahan dan tak lupa—diakui keberadaannya oleh negara lain. Tapi saya tidak sedang bicara tentang negara di sini. Ini untuk analogi saja (sebenarnya buat keren-kerenan sih).

Saya bicara tentang konteks Pull-The-String-Film (selanjutnya disingkat PTSF) dan eksistensinya sebagai sebuah komunitas film. Maunya!!

Lantas, apakah syarat untuk membentuk sebuah komunitas film??

Pastinya harus ada dua hal : ada komunitas dan ada film.

Komunitas itu dapat dimaknai sebagai kumpulan orang, tapi saya lebih nyaman untuk memakai istilah ‘sekumpulan komitmen’. Kenapa komitmen? Karena jujur saja, diakui atau tidak, hal itulah yang paling bisa mempertahankan apa yang lidah kita cecapkan menjadi kata komunitas. Pengalaman berkomunitas dan berproduksi menunjukkan bahwa sebuah tim memerlukan suatu tingkat komitmen dalam besaran tertentu agar dapat menyelesaikan sebuah film.

Rata-rata dari kami memulai proyek PTSF saat tengah berada dalam fase akhir perkuliahan. Hal ini tentu saja menyebabkan diri kami masing-masing harus bermain tarik tambang (untuk tidak menyebutnya dengan ungkapan klise ‘pergulatan batin’) melawan beberapa lawan kodrati : skripsi, tenggat lulus, pencarian kerja, kerja dan titian-titian masa depan lainnya. Tentu saja hal ini sangat menyita waktu dan pikiran. Padahal, produksi film itu sendiri juga menyita banyak hal yang sama. Kami merasakan sendiri susahnya mencari kru tambahan, pemain, bahkan mempertahankan anggota-anggota awal untuk tetap terlibat dalam keseluruhan produksi. Karena komitmen itu terlalu kecil untuk dibagi kepada banyak segi dalam kehidupan.

Saya selaku produser sering bersungut-sungut jika salah satu anggota kru tidak bisa menyelesaikan job description mereka, padahal beban kerja itu sudah sangat dikurangi. Di sisi lain, saya yakin para kru juga sering bersungut-sungut menyaksikan tingkah saya yang terkadang terlalu strict. Di sisi yang lain lagi, saya sering bersungut-sungut kepada diri saya sendiri bila semuanya tak berjalan lancar. Akhirnya tumbuh sungut asli di kepala saya, lalu saya berubah jadi lalat ijo dan terbang meninggalkan rapat. Zzuumm….zzuuumm..zuuuzmmm.

Tapi, entah kenapa, kendala komitmen ini selalu bisa disiasati dengan negosiasi dan serangkaian toleransi. I mean, a great doses of tolerance.  Melalui kendala ini pula, kami jadi lebih selektif dalam melaksanakan produksi dan belajar untuk berdiskusi menentukan waktu produksi yang tepat dimana masing-masing pihak bisa ikut serta. Saya sempat berpikir bahwa komitmen ini akan menjadi fait accomply saat shot pertama mulai diambil. Ya, saat kami sudah mulai mengambil adegan pertama dalam film, sudah tidak ada jalan untuk kembali lagi.

Unsur kedua adalah film. Apa itu film?? Nggak usahlah saya deskripsikan di sini. Mending saya bikin saja. Selanjutnya silahkan ditonton. Hehehe. Kata ‘film’ apabila dilekatkan dengan kata ‘komunitas’ akan membentuk suatu istilah ‘komunitas film’. Frase ‘komunitas film’ dapat diartikan jadi beberapa tipe tergantung pada fokus kegiatannya. Ada komunitas film yang kerjanya bikin film, ada yang fokus di pengkajian film, dan ada juga komunitas yang berkutat di masalah distribusi dan pemutaran film.

PTSF sendiri dimulai dengan tekad untuk membuat film. Sampai sekarang pun kami masih tetap fokus di pembuatan film, meskipun seiring perjalanan waktu kami makin menyadari pentingnya dua fungsi lainnya. Pengkajian film sangat berguna untuk referensi dalam meningkatkan kualitas film-film kami. Biasanya sesi pengkajian film PTSF terjadi secara tidak sengaja saat menunggu rapat dibuka atau menunggu kru yang belum datang. Sedangkan untuk fungsi pemutaran, kami sering terdorong untuk membuat pemutaran baik untuk konsumsi pribadi maupun bekerjasama dengan komunitas lain (kami punya ajang pemutaran STMJ—Screening Together Malam Jumat) bekerjasama dengan Tenananiki Pictures. Alasannya sederhana saja, kami membutuhkan ruang agar film kami bisa mencapai dua kodratnya  : (1) Diputar dengan teknis yang memadai—minimal dengan widescreen dan (2) Menyentuh khalayak yang lebih luas.

Terkait kedua poin tersebut, saya teringat cuplikan wawancara dengan Forum Lenteng saat pelaksanaan ARKIPEL 2013 dari artikel di Cinemapoetica.[1] Kalau tidak salah, salah satu narasumber menekankan pentingnya pengalaman sinematis dalam menyaksikan film. Pengalaman sinematis dalam konteks ini adalah adanya tempat yang representatif, kualitas gambar dan suara yang memadai, serta nikmatnya merasakan sensasi film sebagai sebuah apresiasi massa—teriak, tersenyum, berdecak kagum, bahkan mengeluh bersama. Hal itulah yang ingin kami bagi melalui pemutaran. Adalah suatu sensasi dan kebanggaan tersendiri bagi saya pribadi untuk menyaksikan perubahan mimik penonton saat menyaksikan film-film kami, apalagi terhadap film yang kebetulan saya sutradarai atau tulis naskahnya.

PTSF sendiri seringkali mencoba membuka ruang tonton dengan usaha-usaha sendiri—misalnya dengan memutar film di kantin dan pelataran kampus (dengan atau tanpa izin), di rumah kawan, hingga memanfaatkan voucher diskon di bioskop mini yang ada di kota kami. Intinya, kalau tidak ada yang memberimu ruang, rebutlah!! Untungnya, seiring dengan membaiknya peruntungan dan kualitas-kualitas film kami, beberapa kompetisi dan komunitas lain berkenan untuk memutarkan film-film kami. Pada akhirnya kami bersyukur bahwa film-film kami sempat diputar di Surabaya, Yogyakarta, Solo, dan Purbalingga. Hampir seluruh kesempatan pemutaran itu terjadi dalam kompetisi, atau muncul setelah kami berjejaring dalam kompetisi.

Nah, di sinilah letak pentingnya kompetisi : sebagai muara segala karya dan komitmen kami. Sesuatu yang memperpanjang napas kami.


PTSF dan Kompetisi

PTSF adalah komunitas yang pembentukannya dipicu oleh kompetisi film. Saya masih ingat pertama kali embrio PTSF disemai. Awal mulanya adalah saya dan Maulvi DM. Tidak usahlah diperdebatkan siapa yang sperma siapa yang ovum di antara kami. Pokoknya kami berdua jadi embrio, PTSF. Itu saja.


Waktu itu, sekitar pertengahan tahun 2010, saya tengah berkeliaran tak tentu arah di taman Fisipol. Di tengah (almarhum) amphiteater saya melihat Maulvi sedang bengong sambil memegang secarik kertas lusuh. Ternyata itu adalah pengumuman kompetisi (saya masih ingat betul) FIAGRAMOTION oleh UKM Fiagra (Film Anak Grafika) yang berbasiskan di Fakultas Teknik UGM. Langsung saja saya menyambar,“Mau ikut ndak, Mol??”. Sontak dia langsung menyetujuinya. Lalu kami berdua langsung menyusun rencana untuk merekrut kru, pemain dan merencanakan cerita. Akhirul kata, kami berhasil menyelesaikan film pertama kami “REVERIE” yang langsung diikutsertakan di FIAGRAMOTION, dan syukurnya meraih gelar “Poster Terbaik” dan “Editing Terbaik”.[2]



Kesimpulannya, kompetisilah yang menjadi pemantik kami semua untuk berkarya. Kami bisa merekrut kru, pemain, mengikat mereka dengan komitmen seringkali juga dengan iming-iming filmnya ‘bakal ikut kompetisi’.  Dan hal itu tetap berlangsung sampai sekarang.

Pertanyaannya, kenapa kami harus mendompleng kompetisi untuk itu semua??

Jawaban saya hanya satu : karena alasan orang-orang yang terlibat dalam produksi sebuah film terkadang tidak sama. Atau dengan istilah lain, tidak semua memiliki gairah yang sama terhadap film. Sebagian kru, pemain, maupun orang-orang lain yang memandang pembuatan film dengan perspektifnya masing-masing. Ada yang hanya sekadar ingin membantu, ada yang ingin mengisi waktu luangnya, ada yang memang benar-benar tertarik,  ada yang (mungkin) kasihan sama kami-kami ini dan lain sebagainya. Tidak ada yang salah dengan ini, bahkan kecenderungan ini sangat membantu proses produksi menjadi lebih cair dan asyik. Hal ini merupakan sesuatu yang tak terelakkan, mengingat PTSF sebagai komunitas sendiri sangat longgar dan tentu saja berbeda dengan komunitas atau rumah produksi yang profesional.

Dengan adanya kompetisi, setidaknya kami bisa meyakinkan rekrutan-rekrutan kami bahwa kami di sini tidak sedang main-main. Dan kami memang tidak pernah akan main-main lagi. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan serta terlalu banyak hal yang dikorbankan untuk sekadar main-main. Tapi, itu tak berarti pula bahwa kami akan menjadi terlalu serius. Atau, bisa dibilang, biarkanlah saya sebagai produser jadi satu-satunya orang dengan kening berkerut di dalam produksi. Sebisa mungkin saya ingin yang lain tetap tersenyum dan tertawa-tawa. Syukur-syukur ada yang naksir saya. Hihihihi.


Bagaimana Kompetisi Membentuk Kami

Saya harus akui bahwa kompetisilah yang membentuk PTSF. Ada beberapa hal yang membuat kompetisi memberikan pengaruhnya kepada kami.

Dalam memproduksi sebuah film, saya belajar bahwa visi dan misi adalah hal yang sangat penting. Visi dalam konteks ini berarti tujuan pembuatan film ini harus jelas : apakah ada pesan-pesan atau hal tertentu yang ingin disampaikan. Adakah hal-hal tertentu yang ingin dicapai, baik secara teknis maupun nonteknis. Atau dalam ranah yang lebih konkrit : apakah cerita yang ingin diangkat ke film itu menarik??.

Itu permasalahan pertama.

Permasalahan kedua adalah misi : hal konkrit apakah yang ingin dicapai setelah film ini jadi. Di sinilah letak pentingnya kompetisi seperti yang telah saya singgung sebelumnya : sebagai muara dari karya dan, thus, komitmen kami yang meraga dalam visi tersebut. Kompetisi adalah tempat dimana film menemukan jodohnya, begitu kata Bowo Leksono, Direktur Cinema Lovers Community dan salah satu tokoh perfilman berpengaruh di Banyumas Raya. Dan mencari jodoh itu tidak mudah. Apalagi buat film.

Kompetisi film yang ideal biasanya membuka deadline pendaftaran antara 3 hingga 6 bulan sejak pertama dipublikasikan. Rentang waktu ini sangat membantu kami untuk membuat perencanaan produksi film, mulai dari pra-produksi (persiapan naskah, pemain, properti, set, penjadwalan, budgetting dll), produksi (syuting) dan pasca-produksi (editing, sound-mixing, original soundtrack, syuting ulang dll). Rentang waktu juga berpengaruh akan ketersediaan waktu dari masing-masing kru maupun pemain. Makin panjang rentang waktunya, makin banyak waktu kami untuk mempersiapkan diri. Makin banyak waktu persiapan, maka makin banyak pula waktu kami untuk menyempurnakan si film.

Inilah arti penting pertama dari kompetisi : ia membentuk pola kerja kami.

Kompetisi sudah dapat dipastikan berarti pencapaian. Minimal wujud fisiknya terkirimkan ke panitia, meski entah bagaimana kelak nasibnya, setidaknya ia tak hanya berdiang hangat di bilik-bilik data komputer. Minimal, ia bisa diputar dengan standar teknis yang tidak akan pernah bisa kami capai dalam pemutaran mandiri. Minimal, ia bisa menemui audiens yang tidak pernah bisa kami capai dalam pemutaran mandiri. Minimal, ia bisa mempertemukan kami dengan sesama penggiat film yang mungkin hanya kami kenal profilnya di internet. Maksimal, ia bisa menang.

Kemenangan dan pencapaian dalam sebuah kompetisi akan menjadi pondasi bagi film kami selanjutnya.  Inilah fungsi kedua dari kompetisi. Pondasi dalam konteks ini dapat kita lihat ke dalam dua hal : secara moral dan secara modal. Pondasi moral, sederhananya, muncul dari perasaan bangga saat melihat film kami diputar di layar lebar dan disaksikan banyak orang.. Atau saat salah satu dari kami maju ke panggung untuk mengambil piala. Atau saat ada orang yang memandang ke arahmu dan berkata, “saya suka filmnya.” Trus, kapan sukanya sama yang bikin, mbak?? Hihihihi. Kemenangan tentu saja akan mendongkrak rasa bangga dan tingkat kepercayaan diri kami  di PTSF. Itu adalah modal yang berharga.


Pondasi modal tentu saja mengacu pada hadiah uang yang kami terima. Sebagai komunitas yang tidak bergerak dalam ranah komersial yang terkadang bikin sial itu, kami seringkali harus tombok untuk memproduksi film. Atau mencari pekerjaan sambilan seperti menjadi kru dokumentasi seminar kampus, misalnya. Uang hadiah adalah penyelamat yang signifikan bagi keuangan film, thus, keuangan pribadi kami tentu saja. Sejak kemenangan pertama kami dalam film Space pada medio 2011, produksi-produksi berikutnya selalu didanai oleh uang hadiah lomba. Kemenangan Space dan Persimpangan (2011) memberi jalan bagi pembuatan Penghabisan (tahun produksi 2012). Kemenangan Penghabisan (2013) rencananya akan kami pakai untuk memproduksi film di akhir tahun ini. Belum lagi bila kita turut memperhitungkan biaya-biaya lain seperti biaya pengiriman paket dan pengemasan CD untuk lomba.



Fungsi ketiga kompetisi adalah membangun jaringan. Kompetisi film adalah kesempatan yang besar bagi PTSF untuk keluar sejenak dari tempurungnya dan melompat-lompat bagai katak di musim penghujan. Pada akhirnya PTSF akan menemui katak-katak lain yang jauh lebih besar, terkenal, dan superior. Kami akan bersama-sama berinteraksi, berbagi, bersaing dan saling belajar dalam suatu kolam besar yang bernama kompetisi film. Mungkin setelah itu masing-masing akan kembali ke tempurungnya masing-masing atau mencari kolam lain, semua terserah kebutuhan dan orientasi masing-masing. Yang pasti kami tidak hanya menemui katak-katak semata. Kami bertemu dunia luas yang hanya berbatas cakrawala.

Dalam Festival Film Solo 2013, kami menjumpai kawan-kawan komunitas dari Purbalingga yang umurnya mungkin hanya setengah dari umur kami. Tapi dalam perkara prestasi, mereka sangat jauh melebihi PTSF. Kami juga berkesempatan bertemu dengan komunitas dari Palu, Solo, Malang, Jakarta, mas Senoadji Julius dari Fourcolours Films Yogyakarta dan masih banyak lagi. Tentu saja pertemuan itu tidak kami sia-siakan, karena karya-karya mereka makin meluaskan referensi sinema kami. Bahkan, kami berkesempatan untuk melakukan pemutaran dan diskusi di Purbalingga dengan kawan-kawan komunitas CLC (Cinema Lovers Community) setelah merawat jaringan yang dirintis kala FFS. Partisipasi kami dalam beragam kompetisi-kompetisi film juga sedikit banyak mendekatkan kami dengan kawan-kawan penyelenggara yang rata-rata juga merupakan anggota komunitas film di berbagai daerah. Interaksi kami degan kawan-kawan programmer dan panitia tersebut pada akhirnya memberikan masukan positif bagi PTSF sendiri

Terakhir, kompetisi dapat membuat kami semua tetap mawas diri. Untuk itu, mari saya ceritakan pengalaman pahit yang menjadi pelajaran 6 SKS sekaligus bagi PTSF.

Alkisah, di bulan Agustus-November tahun 2012 lalu kami mendapatkan banyak sekali informasi dan undangan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi berskala besar. Beberapa di antaranya adalah Europe On Screen, XXI Short Movie Competition, Jambore Film Nasional dan bahkan undangan mengikuti FFI (Festival Film Indonesia). Sebagai komunitas kecil yang baru saja memenangkan satu kompetisi, kaki kami bak menapak udara. Atau bahasa Ibrani-nya : kepedean. Dengan stok film yang sebenarnya masih sangat minim, kami nekat mengikuti hampir semua kompetisi itu. Padahal beberapa di antaranya mengharuskan kami membayar biaya pendaftaran yang cukup tinggi plus ongkos kirim yang juga besar karena rata-rata kompetisi itu dilaksanakan di Jakarta. Dan hasilnya pun bisa ditebak, tidak ada satupun film kami yang menang. Jangankan menang, masuk nominasi pun tidak. Bayangkan bagaimana optimisme yang kami bangun dari awal seketika mengempis bagai balon udara di Sekaten yang seketika mbledhos karena terkena jarum. Ya, jarum takdir. Dan ketidakbijaksanaan kami tentunya.

Selain merasa frustasi, peristiwa yang sering disebut oleh Maulvi DM sebagai ‘November Kelabu’ itu mengakibatkan kami mengalami krisis keuangan yang cukup mengganggu. Akibatnya, proses produksi kami selanjutnya (saat itu kami tengah menggarap naskah yang kelak menjelma menjadi “Resepsi”) mengalami kebuntuan. Pahit memang, namun selalu ada yang bisa kami cecap dari kepahitan. Hal ini membawa kami pada satu metode baru dalam kinerja kami : proses kurasi internal. Secara sederhana, proses kurasi internal PTSF terdiri dari beberapa tahapan : pengumpulan informasi lomba, analisis konten lomba (visi dan misi lomba, komposisi juri, preferensi juri, background penyelenggara, pemenang-pemenang terdahulu dll), penentuan film-film yang akan dikirimkan beserta peluangnya, pengecekan budget dan akhirnya dikirimkan. Saya pribadi tertarik  mengistilahkan proses ini dengan frase “bribik-bribik metodologis”. Berkat kontribusi dari seluruh anggota dalam proses kurasi ini, akhirnya kami bisa menemukan solusi untuk ‘menemukan jodoh bagi film kami’ seperti yang telah saya singgung di atas. Sebagai orang tua yang baik (dan sedikit galak), tentunya kami tak mau ‘anak’ kami mendapatkan jodoh yang buruk, dong??

Kemawasan diri yang dibawa oleh kompetisi juga diakibatkan oleh interaksi kami dengan karya-karya sineas lain yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata (hey, bukankah yang saya bold itu juga kata-kata?? Dasar frase yang aneh!!). Kami jadi insyaf bahwa ada banyak tempat dimana kami bisa menengadahkan kepala dan belajar. PTSF belumlah menjadi apa-apa. Katak ini pada akhirnya selalu akan menemukan  langit-langit baru untuk menggantikan tempurung lama kami. Dalam dunia perfilman independen ini, kami tidah berhak dengan seenaknya menapaki udara kosong dan merasa sombong. Karena sangat banyak sineas-sineas di Indonesia yang karya-karyanya secara de facto telah menapaki langit sementara para pembuatnya sendiri masih berpijak dengan tenang di bumi. Lantas, siapakah kami??


Sesudah Lelah Menulis dan Tentang Pojokan Masa Depan

Dalam obrolan intens di penghujung kemahasiswaan, beberapa dari kami sempat mempertanyakan sampai kapankah PTSF bisa terus berjalan.  Waktu itu saya hanya berpikir, “Terserah kapan saja, asal jangan sekarang.” Pemikiran itu pun sampai saat ini belum berubah. Meskipun saya sadar, di tahun 2013 ini, banyak dari kami (termasuk saya sendiri) yang sudah harus bersiap untuk meniti langkah lain di masa depannya. Asal jangan sekarang!

Mungkin kami akan terus membuat film sampai satu per satu dari kami meninggalkan Yogyakarta. Mungkin juga tidak. Mungkin kami akan terus mencoba bertahan dengan merekrut kawan-kawan baru. Mungkin juga tidak. Mungkin kami akan berhenti begitu saja. Mungkin juga tidak. Toh, kalau saya boleh sedikit berfilsafat, bukankah kehidupan adalah semata-mata ayunan bandul antara kemungkinan dan ketidakmungkinan??

Yang pasti PTSF kini tengah bersiap untuk merencanakan produksi selanjutnya. Dan lagi-lagi produksi ini dipicu oleh kompetisi-kompetisi yang setidaknya akan menunggu kami tahun depan. Kompetisi adalah salah satu faktor utama yang mempertahankan bandul kami untuk tetap berada di sisi ‘kemungkinan’, meskipun di dalamnya terselip pula kemungkinan untuk terperosok ke dalam ‘ketidakmungkinan’. Jadi, sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengucapkan terimakasih bagi kawan-kawan yang selama ini telah menyelenggarakan kompetisi-kompetisi bagi kami. Terimakasih telah menyediakan kolam bagi kami yang seringkali terperangkap dalam tempurung katak ini. Terimakasih karena telah mendorong kami untuk mengukirkan karya. Terimakasih telah menyediakan rumah bagi kami untuk pulang.
          

Yogyakarta, 8-10 September 2013



[1] http://cinemapoetica.com/wawancara/arkipel-forum-lenteng-dan-eksperimentasi-sinema/
[2] Sekadar catatan tambahan, di tahun 2013 ini kami akhirnya berhasil memenangkan beberapa gelar di FIAGRAMOTION 2013 dengan film “Penghabisan”, termasuk gelar “Best Film”. Gelar ini sangat berkesan karena sekaligus untuk ‘melepas’ beberapa kawan angkatan awal PTSF yang sudah hijrah menjemput masa depan; Agi Ekasaputro, Danistya Kaloka dan Lalik Mustikowati.


2 komentar:

  1. Wah fotonya di kantin Fisipol UGM. Jadi inget bolos kuliah di sana. Good luck kawankawan buat ke depannya! \m/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya terimakasih mas Adrian. :D
      Kami juga banyak belajar dari ulasan-ulasan di Cinema Poetica..

      Kantin Fisipol memang banyak banget jasanya mas.
      Buat kami rapat, bikin screening sembunyi-sembunyi, sampai latihan akting. Hehehehe.

      Hapus