Resensi
oleh Nara Indra
Apa
yang akan dilakukan seorang sutradara film kolosal saat ia harus kehilangan
pendanaan filmnya, hanya sehari sebelum hari pertama syuting? Apakah idealisme
semata cukup untuk mengatasi permasalahan keuangan yang muncul saat pengambilan
gambar dimulai? Premis inilah yang membuat saya tertarik untuk menyaksikan
“Kohlhaas –Or The Proportionality of Means“ (atau Kohlhaas oder die
Verhältnismäßigkeit der Mittel dalam bahasa Jerman). Film Kohlhaas merupakan
salah satu film yang diputar dalam rangkaian acara German Film Festival yang
diselenggarakan oleh Goethe Haus bekerjasama dengan Empire XXI Yogyakarta.
Menurut salah satu panitia acara dari Goethe, film ini dipilih karena ceritanya
dibuat berdasarkan pengalaman pribadi dari sutradaranya. Sutradara film Kohlhaas, Aron
Lehmann, bahkan menggunakan nama
belakangnya sebagai nama dari sang tokoh utama (yang juga adalah sutradara).
Sebagai
seorang pembuat film pemula yang selalu terbentur permasalahan dana saat
memulai proses produksi, saya merasa sedikit terwakili setelah membaca
sinopsisnya. Saya sedikit berharap sang sutradara Kohlhaas bisa memfilmkan
pengalaman-pengalaman khas dari para pembuat film yang kekurangan dana dan
harus memutar otak untuk menyiasatinya. Pada akhirnya, saya berharap bisa
sedikit mengunduh kebanggaan sebagai sesama pembuat film ‘indie’ yang kere.
Tetapi, apakah film ini hanyalah sebatas curhatan dari seorang pembuat film
indie yang kere semata?
On
Being an Indie
Penyebutan
istilah “film indie” pada mulanya mengacu kepada sumber pendanaan film
tersebut. Film independen, seperti namanya, biasanya didanai filmnya secara
mandiri dengan uang pribadi atau mencari pendanaan melalui sponsor dan hibah
dari lembaga-lembaga tertentu. Karena sifatnya yang mandiri, dunia film indie
biasanya menawarkan konsep-konsep yang unik, cerita-cerita yang ada di luar
kebiasaan, dan kesempatan untuk bereksplorasi seluas-luasnya. Kecenderungan ini
muncul akibat kebebasan yang masih dimiliki oleh para pembuat film untuk
mengembangkan idealismenya.
Kebutuhan
akan adanya pemuas idealisme, imajinasi, dan kreativitas membuat banyak pembuat
film indie yang terkesan egois dan keras kepala. Saya bahkan pernah menemui
beberapa pembuat film indie dalam acara screening yang mengaku sama sekali
tidak memperhitungkan faktor penonton saat membuat film-film mereka. Buat saya
yang pemula, pemikiran semacam itu sama sekali tidak terpikirkan.
“Lha,
kalo nggak ada yang nonton buat apabikin?”, begitu batin saya kala itu.
Di
ajang diskusi yang lain, saya mendapatkan sedikit pencerahan dari seorang
pembuat film lain. Ia berkata bahwa setiap film memiliki penontonnya
sendiri-sendiri. Film akan diapresiasi oleh kumpulan penonton yang memiliki
‘frekuensi’ yang sama dengan film tersebut. Entah karena film tersebut sesuai
seleranya, mewakili suasana hatinya, atau menggambarkan realitas yang pernah
dihadapinya.
Tetapi
apa jadinya bila frekuensi sebuah film tidak dapat ditangkap oleh para kru dan
pemerannya sendiri? Apa yang terjadi bila seorang anak tidak dapat diterima
oleh orangtua-orangtuanya sendiri? Apakah lantas ia terlahir sebagai anak tiri?
Kohlhaas
menunjukkan bahwa ada banyak orangtua yang berpengaruh dalam kelahiran sebuah
film. Ada produser (baca: uang), sutradara, kru, pemain, hingga warga sekitar
tempat syuting. Lehmann sang sutradara terlalu menganggap dirinya sebagai orang
tua tunggal setelah salah satu orangtua lainnya, sang produser (dan uang yang
dibawanya) memilih untuk mundur. Lehmann kemudian berusaha berperan sebagai
orangtua tunggal bagi film yang hendak digarapnya ini. Sayangnya, Lehmann
berusaha terlalu keras.
Realitas
yang Berkelindan
Apabila
kita mencermati alur yang ditawarkan oleh film Kohlhaas,kita dapat melihat
adanya tiga lapis realitas yang membentuk film ini. Realitas pertama adalah
film yang sedang dikerjakan oleh sang sutradara. Realitas ini menggambarkan
proses syuting dimana aktor-aktris dalam Kohlhaas sedang memerankan film yang tengah mereka
garap. Dalam realitas pertama ini, kita
diajak untuk menonton film-dalam-film yang tengah dikerjakan oleh Lehmann.
Singkatnya,penonton diajak untuk menyaksikan bentuk nyata dari kreativitas
Lehmann.
Realitas
kedua adalah proses behind the scene film ini. Realitas ini menggambarkan
proses-proses di luar kegiatan syuting seperti saat persiapan sebelum
pengambilan gambar, rehearsal,survey
lokasi, casting pemain hingga keseharian para kru dan para aktris di lokasi.
Sebagian besar konflik yangmuncul antara Lehman dengan para kru dan pemeran
terjadi dalam realitas kedua ini. Di sinilah letak perbenturan ‘frekuensi’ yang
terjadi di antara Lehmann dengan para kru dan aktornya. Inilah tempat dimana
Lehmann harus berusaha menyesuaikan‘frekuensi’ tersebut.
Realitas
ketiga adalah imajinasi yang berkutat di pikiran sang sutradara yang
berkali-kali menyela proses syuting. Realitas ketiga adalah apa yang diinginkan
Lehmann untuk filmnya, kru dan aktornya, serta dirinya sendiri. Keinginan
tersebut mewujud dalam bentuk seorang wanita bergaun putih yang selalu datang
di saat-saat genting. Atau tepatnya, sang wanita bergaun putih itu adalah
perwujudan dari idealisme, kreativitas dan sisi kemanusiaan Lehmann yang juga
membutuhkan penerimaan dari orang lain atas idealismenya.
Ketiga
realitas tersebut dapat kita bedakan dari “mata” kamera yang dipakai oleh Aron
Lehmann. Realitas pertama ditandai dengan kamera yang berperan layaknya kamera
film pada umumnya. Ia merekam proses pengambilan gambar dengan angle,
pencahayaan, pewarnaan, akting,properti dan keyakinan yang dimilikinya.
Keyakinan itu dalam titik-titik tertentu bertentangan dengan logika kita
sebagai penonton itu sendiri. Lehmann sendiri dengan entengnya menyuruh para
kru (dan kita sebagai penonton) untuk menggunakan imajinasi demi menutupi
kekurangan-kekurangan yang muncul dari film yang sedang digarapnya.
Salah
satu hal yang tak masuk akal secara logika misalnya saat kuda diganti dengan
sapi. Kohlhaas adalah cerita legendaris
tentang seorang penjual kuda, dan sapi (meskipun sudah ditambahi
imajinasi segila apapun) tetap saja bukanlah kuda. Apalagi bila si sapi masih
ngotot disebut dengan “kuda”dalam dialog-dialog filmnya. Meskipun begitu, tidak
semua eksperimentasi dalam imajinasi Lehmann berbuah kegagalan. Adegan saat
raja menerima surat Kohlhaas dari dalam toilet (karena Lehmann tidak punya
properti untuk singgasana) merupakan salah satu trik yang cerdas. Didukung
dengan tata kamera yang baik,adegan tersebut mampu mengadaptasikan penolakan
sang Raja atas surat Kohlhaas secara tandas.
Realitas
kedua adalah jembatan antara realitas pertama (film) dan ketiga (imaji
sutradara). Realitas kedua bisa kita identifikasikan dari pengambilan gambar
dengan teknik handheld saat juru kamera mendokumentasikan kegiatan di luar
syuting seperti saat istirahat, diskusi naskah, survey lokasi, bahkan
bertengkar. Realitas kedua ini adalah saat kita semua menyaksikan perbenturan
antara realitas ketiga Lehmann yang bersifat privat dan realitas pertama yang
ternyata bersifat publik. Pada kenyataannya, membuat film bukan pekerjaan
pribadi. Aktor-aktris serta kru tetap harus dianggap sebagai pribadi-pribadi
yang memiliki pikiran dan perspektifnya sendiri terhadap film yang tengah
dibuat. Realitas kedua ini menyadarkan setiap sutradara bahwa ia berhubungan
dengan manusia, bukan wayang.
Realitas
ketiga dapat kita lihat dari tata kamera yang sedikit surrealis. Bagian ini
menggambarkan hubungan yang intim antara Lehmann dengan sang wanita bergaun
putih. Kamera didominasi oleh gambar-gambar close-up dan medium shots dengan
coloring kamera bernuansa sephia seakan ingin mengatakan bahwa dunia ini
berbeda dengan dua realitas lainnya. Realitas ketiga ini begitu mencolok secara
visual sehingga di awal hingga pertengahan film, kita dapatdengan jelas melihat
perbedaannya dengan dua realitas lainnya.
Pada
akhirnya,ketiga realitas ini bercampur satu sama lain. Realitas ketiga
(imajinasi) berusaha keras masuk ke realitas pertama (film) tapi harus melewati
jembatan realitas kedua (behind the scene) yang rapuh. Secara visual, hal ini ditunjukkan
oleh adegan-adegan yang mulai saling tumpang-tindih seperti saat proses syuting
kita bisa melihat hal-hal seperti orang yang tengah menyiramkan air sebagai efek hujan dan sejenisnya. Apabila
mengacu pada teknis pengambilan gambar saat syuting, hal ini tentu dapat
dikategorikan dengan “bocor”. Kondisi “bocor” semacam inisangatlah fatal,
bahkan untuk ukuran pembuat film amatir sekalipun. Kekacauanmakin menjadi pada
adegan-adegan yang makin tidak masuk akal menjelang film berakhir. Pada saat
film ini berakhir dan credit title muncul, saya sendiri dihadapkan pada satu
pertanyaan besar, apakah film Kohlaas yang tengah digarap ini juga sudah
benar-benar berakhir?
Kohlhaas = Sepakat untuk Tak Bersepakat
Kohlhaas
menyadarkan saya bahwa membuat film adalah sebuah kesepakatan. Entah itu
kesepakatan itu harus dicapai dengan sponsor, dengan pihak-pihak yang terlibat
seperti krudan pemain, atau bahkan dengan diri sendiri. Pada akhirnya, setiap
pembuat film (indie atau bukan) tetap harusmemilih : film yang sempurna tapi
tetap ada di otak atau filmagak-kurang-sesuai-harapan tapi jadi. Kesepakatan
dan kompromi janganlah dipandang sebagai sesuatu yang tabu, karena pembuat film
bukanlah orangtua tunggal yang mampu melahirkan film sebagai ‘anak’. Masih ada
orangtua-orangtua lain yang harus diajak berembug demi kebaikan sang anak.
Minimal, bersepakatlah dengan para kru dan pemain dari film-film kita. Karena
bagaimanapun jadi atau tidaknya film, merekalah para penonton pertama dan
terakhir darinya.