16/09/14

Kohlhaas: Sang Anak Tiri yang Dinanti




Resensi oleh Nara Indra


Apa yang akan dilakukan seorang sutradara film kolosal saat ia harus kehilangan pendanaan filmnya, hanya sehari sebelum hari pertama syuting? Apakah idealisme semata cukup untuk mengatasi permasalahan keuangan yang muncul saat pengambilan gambar dimulai? Premis inilah yang membuat saya tertarik untuk menyaksikan “Kohlhaas –Or The Proportionality of Means“ (atau Kohlhaas oder die Verhältnismäßigkeit der Mittel dalam bahasa Jerman). Film Kohlhaas merupakan salah satu film yang diputar dalam rangkaian acara German Film Festival yang diselenggarakan oleh Goethe Haus bekerjasama dengan Empire XXI Yogyakarta. Menurut salah satu panitia acara dari Goethe, film ini dipilih karena ceritanya dibuat berdasarkan pengalaman pribadi dari sutradaranya. Sutradara film Kohlhaas, Aron Lehmann,  bahkan menggunakan nama belakangnya sebagai nama dari sang tokoh utama (yang juga adalah sutradara).

Sebagai seorang pembuat film pemula yang selalu terbentur permasalahan dana saat memulai proses produksi, saya merasa sedikit terwakili setelah membaca sinopsisnya. Saya sedikit berharap sang sutradara Kohlhaas bisa memfilmkan pengalaman-pengalaman khas dari para pembuat film yang kekurangan dana dan harus memutar otak untuk menyiasatinya. Pada akhirnya, saya berharap bisa sedikit mengunduh kebanggaan sebagai sesama pembuat film ‘indie’ yang kere. Tetapi, apakah film ini hanyalah sebatas curhatan dari seorang pembuat film indie yang kere semata?


On Being an Indie

Penyebutan istilah “film indie” pada mulanya mengacu kepada sumber pendanaan film tersebut. Film independen, seperti namanya, biasanya didanai filmnya secara mandiri dengan uang pribadi atau mencari pendanaan melalui sponsor dan hibah dari lembaga-lembaga tertentu. Karena sifatnya yang mandiri, dunia film indie biasanya menawarkan konsep-konsep yang unik, cerita-cerita yang ada di luar kebiasaan, dan kesempatan untuk bereksplorasi seluas-luasnya. Kecenderungan ini muncul akibat kebebasan yang masih dimiliki oleh para pembuat film untuk mengembangkan idealismenya.

Kebutuhan akan adanya pemuas idealisme, imajinasi, dan kreativitas membuat banyak pembuat film indie yang terkesan egois dan keras kepala. Saya bahkan pernah menemui beberapa pembuat film indie dalam acara screening yang mengaku sama sekali tidak memperhitungkan faktor penonton saat membuat film-film mereka. Buat saya yang pemula, pemikiran semacam itu sama sekali tidak terpikirkan.

“Lha, kalo nggak ada yang nonton buat apabikin?”, begitu batin saya kala itu.

Di ajang diskusi yang lain, saya mendapatkan sedikit pencerahan dari seorang pembuat film lain. Ia berkata bahwa setiap film memiliki penontonnya sendiri-sendiri. Film akan diapresiasi oleh kumpulan penonton yang memiliki ‘frekuensi’ yang sama dengan film tersebut. Entah karena film tersebut sesuai seleranya, mewakili suasana hatinya, atau menggambarkan realitas yang pernah dihadapinya.

Tetapi apa jadinya bila frekuensi sebuah film tidak dapat ditangkap oleh para kru dan pemerannya sendiri? Apa yang terjadi bila seorang anak tidak dapat diterima oleh orangtua-orangtuanya sendiri? Apakah lantas ia terlahir sebagai anak tiri?

Kohlhaas menunjukkan bahwa ada banyak orangtua yang berpengaruh dalam kelahiran sebuah film. Ada produser (baca: uang), sutradara, kru, pemain, hingga warga sekitar tempat syuting. Lehmann sang sutradara terlalu menganggap dirinya sebagai orang tua tunggal setelah salah satu orangtua lainnya, sang produser (dan uang yang dibawanya) memilih untuk mundur. Lehmann kemudian berusaha berperan sebagai orangtua tunggal bagi film yang hendak digarapnya ini. Sayangnya, Lehmann berusaha terlalu keras.


Realitas yang Berkelindan

Apabila kita mencermati alur yang ditawarkan oleh film Kohlhaas,kita dapat melihat adanya tiga lapis realitas yang membentuk film ini. Realitas pertama adalah film yang sedang dikerjakan oleh sang sutradara. Realitas ini menggambarkan proses syuting dimana aktor-aktris dalam Kohlhaas sedang  memerankan film yang tengah mereka garap.  Dalam realitas pertama ini, kita diajak untuk menonton film-dalam-film yang tengah dikerjakan oleh Lehmann. Singkatnya,penonton diajak untuk menyaksikan bentuk nyata dari kreativitas Lehmann.

Realitas kedua adalah proses behind the scene film ini. Realitas ini menggambarkan proses-proses di luar kegiatan syuting seperti saat persiapan sebelum pengambilan gambar,  rehearsal,survey lokasi, casting pemain hingga keseharian para kru dan para aktris di lokasi. Sebagian besar konflik yangmuncul antara Lehman dengan para kru dan pemeran terjadi dalam realitas kedua ini. Di sinilah letak perbenturan ‘frekuensi’ yang terjadi di antara Lehmann dengan para kru dan aktornya. Inilah tempat dimana Lehmann harus berusaha menyesuaikan‘frekuensi’ tersebut.

Realitas ketiga adalah imajinasi yang berkutat di pikiran sang sutradara yang berkali-kali menyela proses syuting. Realitas ketiga adalah apa yang diinginkan Lehmann untuk filmnya, kru dan aktornya, serta dirinya sendiri. Keinginan tersebut mewujud dalam bentuk seorang wanita bergaun putih yang selalu datang di saat-saat genting. Atau tepatnya, sang wanita bergaun putih itu adalah perwujudan dari idealisme, kreativitas dan sisi kemanusiaan Lehmann yang juga membutuhkan penerimaan dari orang lain atas idealismenya.

Ketiga realitas tersebut dapat kita bedakan dari “mata” kamera yang dipakai oleh Aron Lehmann. Realitas pertama ditandai dengan kamera yang berperan layaknya kamera film pada umumnya. Ia merekam proses pengambilan gambar dengan angle, pencahayaan, pewarnaan, akting,properti dan keyakinan yang dimilikinya. Keyakinan itu dalam titik-titik tertentu bertentangan dengan logika kita sebagai penonton itu sendiri. Lehmann sendiri dengan entengnya menyuruh para kru (dan kita sebagai penonton) untuk menggunakan imajinasi demi menutupi kekurangan-kekurangan yang muncul dari film yang sedang digarapnya.

Salah satu hal yang tak masuk akal secara logika misalnya saat kuda diganti dengan sapi. Kohlhaas adalah cerita legendaris  tentang seorang penjual kuda, dan sapi (meskipun sudah ditambahi imajinasi segila apapun) tetap saja bukanlah kuda. Apalagi bila si sapi masih ngotot disebut dengan “kuda”dalam dialog-dialog filmnya. Meskipun begitu, tidak semua eksperimentasi dalam imajinasi Lehmann berbuah kegagalan. Adegan saat raja menerima surat Kohlhaas dari dalam toilet (karena Lehmann tidak punya properti untuk singgasana) merupakan salah satu trik yang cerdas. Didukung dengan tata kamera yang baik,adegan tersebut mampu mengadaptasikan penolakan sang Raja atas surat Kohlhaas secara tandas.

Realitas kedua adalah jembatan antara realitas pertama (film) dan ketiga (imaji sutradara). Realitas kedua bisa kita identifikasikan dari pengambilan gambar dengan teknik handheld saat juru kamera mendokumentasikan kegiatan di luar syuting seperti saat istirahat, diskusi naskah, survey lokasi, bahkan bertengkar. Realitas kedua ini adalah saat kita semua menyaksikan perbenturan antara realitas ketiga Lehmann yang bersifat privat dan realitas pertama yang ternyata bersifat publik. Pada kenyataannya, membuat film bukan pekerjaan pribadi. Aktor-aktris serta kru tetap harus dianggap sebagai pribadi-pribadi yang memiliki pikiran dan perspektifnya sendiri terhadap film yang tengah dibuat. Realitas kedua ini menyadarkan setiap sutradara bahwa ia berhubungan dengan manusia, bukan wayang.

Realitas ketiga dapat kita lihat dari tata kamera yang sedikit surrealis. Bagian ini menggambarkan hubungan yang intim antara Lehmann dengan sang wanita bergaun putih. Kamera didominasi oleh gambar-gambar close-up dan medium shots dengan coloring kamera bernuansa sephia seakan ingin mengatakan bahwa dunia ini berbeda dengan dua realitas lainnya. Realitas ketiga ini begitu mencolok secara visual sehingga di awal hingga pertengahan film, kita dapatdengan jelas melihat perbedaannya dengan dua realitas lainnya.

Pada akhirnya,ketiga realitas ini bercampur satu sama lain. Realitas ketiga (imajinasi) berusaha keras masuk ke realitas pertama (film) tapi harus melewati jembatan realitas kedua (behind the scene) yang rapuh. Secara visual, hal ini ditunjukkan oleh adegan-adegan yang mulai saling tumpang-tindih seperti saat proses syuting kita bisa melihat hal-hal seperti orang yang tengah menyiramkan air  sebagai efek hujan dan sejenisnya. Apabila mengacu pada teknis pengambilan gambar saat syuting, hal ini tentu dapat dikategorikan dengan “bocor”. Kondisi “bocor” semacam inisangatlah fatal, bahkan untuk ukuran pembuat film amatir sekalipun. Kekacauanmakin menjadi pada adegan-adegan yang makin tidak masuk akal menjelang film berakhir. Pada saat film ini berakhir dan credit title muncul, saya sendiri dihadapkan pada satu pertanyaan besar, apakah film Kohlaas yang tengah digarap ini juga sudah benar-benar berakhir?


Kohlhaas = Sepakat untuk Tak Bersepakat


Kohlhaas menyadarkan saya bahwa membuat film adalah sebuah kesepakatan. Entah itu kesepakatan itu harus dicapai dengan sponsor, dengan pihak-pihak yang terlibat seperti krudan pemain, atau bahkan dengan diri sendiri. Pada akhirnya, setiap pembuat film (indie atau bukan) tetap harusmemilih : film yang sempurna tapi tetap ada di otak atau filmagak-kurang-sesuai-harapan tapi jadi. Kesepakatan dan kompromi janganlah dipandang sebagai sesuatu yang tabu, karena pembuat film bukanlah orangtua tunggal yang mampu melahirkan film sebagai ‘anak’. Masih ada orangtua-orangtua lain yang harus diajak berembug demi kebaikan sang anak. Minimal, bersepakatlah dengan para kru dan pemain dari film-film kita. Karena bagaimanapun jadi atau tidaknya film, merekalah para penonton pertama dan terakhir darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar