23/12/11

2011! A Cinematic Odissey


2011! A SPACE ODISSEY adalah  sebuah pemutaran film akhir tahun yang diadakan oleh Pull-The-String-Film pada 19 Desember lalu sekaligus untuk memperingati hari jadi UGM yang kesekian tahun. Pemutaran ini berfungsi sebagai rilis perdana atau 'premier screening' dari empat karya terbaru PTSF, yaitu Dying Duck, Psychic Girl full-mode, The Dancing Spirits, dan Persimpangan. Jadi, acara ini semacam festival film semalam suntuk. Pemutaran rencananya diadakan di Kantin Fisipol UGM, tetapi karena ternyata semua datang terlambat, maka kantin keburu di-occupy oleh orang-orang yang berteduh di bawah hujan yang beringas. Setelah mencari, kemudian malah ketemu spot yang oke punya, yaitu Plaza Atas! Dindingnya bersih, ada colokan, ada kursi-kursi, dan SEPI!

Pemutaran ini sebenarnya cukup D-I-Y, karena hampir semuanya kami bawa sendiri. Bahkan ruang plaza atas Fisipol tidak kita komunikasikan dengan pihak terkait. Membawa sound sendiri, membawa proyektor sewaan, laptop, rol kabel, camilan, kita layaknya mau berpiknik saja.

Satu persatu para undangan datang, termasuk pemenang kontes Ending Psychic Girl (yang dimenangkan oleh Nara yang memberikan ide 'liar' untuk Psychic Girl, hohoho). Dan sudah selayaknya sebuah acara festival film, maka kami juga memutar sebuah film untuk pembukaan 2011! A Cinematic Odissey! ini. Film yang beruntung terpilih adalah ... jreng jreng.. A Little Crazy Thing Called Love (2010), sebuah film teen dari Thailand yang sudah cukup dikenal di Indonesia.

Tapi penonton tidak tahan lagi menunggu kesabaran akan pemutaran utama. Saudari Lalik tiba-tiba mengambil alih acara ketika credit text A Little Crazy Thing masih berjalan, untuk segera membuka acara ini.

Acara kemudian dibuka. Pemutaran pertama adalah Dying Ducks, yang mendapat atensi penonton berupa 'kernyit dahi'. Semua keheranan dan kebingungan mencerna art film besutan perdana penggagas konsep Danang Arif. Film kedua yang diputar adalah Psychic Girl yang berhasil mencengangkan penonton dengan ending yang tak terduga.  Film ketiga, sebuah dokumentari-eksperimental karya Maulvi DM, The Dancing Spirits, yang merupakan perpaduan video musik dan sosial dokumentari, kembali membuat para penonton mengernyitkan dahi mereka. Film sepanjang 16 menit pas ini mengupas mengenai sebuah upacara jathilan dan para pemainnya. Puncak acara ini adalah pemutaran Persimpangan, yang sudah dinanti lebih dari lima bulan. Meskipun dengan audio yang sudah setengah bleber karena dipaksa bergaung secara maksimum, Persimpangan berhasil memukau penonton dan memukau penonton. Dan Persimpangan menjadi sasaran pujian penonton dan memicu diskusi lebih lanjut. Akhirnya, penonton puas, para filmaker juga puas (termasuk Nara Indra sang sutradara). Demikianlah akhirnya acara ini ditutup dengan foto bersama para kru dan pemain film PTSF dengan latar belakang adegan dari Persimpangan. Selamat berjumpa di 2012! Selamat berkarya! Selamat lulus kuliah!

berfoto bersama teman-teman yang datang sampai akhir acara

Pemutaran The Raid di JAFF 2012

Awalnya adalah sebuah kerumunan di ruang perpustakaan Fisipol pada suatu siang yang cerah di bulan September. Beberapa mahasiswa sedang mengomentari sebuah trailer di Youtube yang telah me-mindblogging mereka. Trailer itu adalah The Raid, sebuah film 'antah berantah' bersetting Indonesia yang telah mengangkat imaji dunia tentang Indonesia dalam satu tingkat keliaran yang lebih gila. Terkagum dengan keasingan film 'Indonesia' ini, akhirnya 'kami' memantapkan cita-cita (buset..) untuk suatu hari bertekad menonton film ini!

Dan mimpi itu seakan di depan mata ketika isu berkeliaran di bawah angin bahwa film ini turut digelar dalam JAFF 2011. Meskipun sempat kecewa karena terlambat mendaftar di situs JAFF, akan tetapi, berkat kelihaian informan-informan bawah sadar kami, akhirnya didapatlah tanggal dan lokasi untuk mentransaksikan tiket pemutaran terbatas film tersebut keesokan harinya. Kekalutan muncul ketika dari alat bangsat bernama "BB" itu keluar twit dari JAFF bahwa 'film ini dapat diperoleh tiketnya mulai jam 13.00 di TBY' tanpa menjelaskan kapan. Apa hari ini? Bukan besok? Dan sudah dimulai tadi?

Dengan kekalutan yang berdasar kekacauan masa era teknologi informasi ini, kami tergopoh nekad menembus Jogja untuk kemudian sampai di TBY dalam keadaan sepi, dan pada akhirnya mendapat informasi bahwa, benar--tiket itu baru bisa diperoleh esok harinya. Fyuh.


Esoknya, laksana pergi berperang, kami mengirim scout untuk mengintai TBY semenjak pukul 7 PAGI! Bung Agi Ekasaputro, nama scout itu, sampai membawa laptop dan menghabiskan seperempat permainan Assassin Creed, hingga bala bantuan tiba pukul 10 pagi membawa akua dan roti (...). Saudara Nara Indra akhirnya bersama Agi dengan kegigihan setingkat para fans Star Wars yang mengantri selama berhari-hari akhirnya dengan bangga memperoleh tiket pertama dan kedua hingga ketujuh-pertama dari film ini. Dan jadilah mimpi kami terhampar di depan mata untuk menonton The Raid. Antrian film ini sungguh dahsyat sebenarnya, hingga muncul penggambaran dari Nara “..Bayangin Mol, bahkan mereka harus mengantri untuk mengantri..”





16/12/11

The Raid: A Superb Mediocre!



resensi oleh Maulvi


Sekali lagi Gareth Evans dan Iko Uwais hadir dalam perfilman Indonesia dengan film blockbuster The Raid. Film ini telah menimbulkan begitu banyak rasa penasaran melalui respons luar biasa yang diterima pada Toronto International Film Festival 2011 dan kasak kusuk di dunia maya melalui trailer-nya di Youtube. Ketika akhirnya film ini premier di Indonesian Fantastic Film Festival 2011 di Jakarta, respons yang tak kalah serunya pun diperoleh, seperti yang dilaporkan oleh Cinema Poetica. Berbekal respons meriah inilah, maka kami dengan berebut penasaran menghadiri pemutaran spesial The Raid pada Jogja International Film Festival, Desember 2011.

The Raid dimulai dengan pembukaan yang jelas. Seorang rookie bergabung dalam semacam tim SWAT yang dikirim untuk merebut sebuah gedung apartemen dari kekuasaan gembong penjahat yang bercokol di dalamnya. Namanya Rama (Iko Uwais), dan dia digambarkan begitu lurus, dengan latar belakang yang lurus pula. Tim ini kemudian mencoba menguasai gedung ini lantai demi lantai, pada awalnya melalui senjata, dan kemudian setelah para musuh bermunculan dari tiap pintu kamar dan tiap lantai, maka serbuan ini berubah menjadi pertempuran jarak dekat dengan senjata-senjata tajam dan tangan kosong.

Aksi menjadi sajian utama dalam film ini. Sesaat sebelum pemutaran, Gareth Evans, sutradara The Raid berpesan pada penonton, "Awas, film ini sangat keras dan sangat brutal." Dan kata-katanya terbukti dengan cepat. Segera setelah para penghuni gedung tersebut 'terbangunkan' oleh tim ini, maka aksi-aksi luar biasa segera dimulai. Adegan laga pembuka, masih menggunakan trademark film laga polisi standar, yaitu tembak-menembak dengan senjata semi otomatis. Pengadeganan dalam laga 'pembuka' ini sebenarnya cukup orisinil dan 'menyenangkan'. Beberapa adegan dibangun secara begitu detail, dan benar-benar memainkan emosi penonton. Seperti bagaimana para penyerbu ini air mukanya berubah jadi tegang dan ketakutan ketika mereka sadar seisi gedung telah mengetahui kehadiran mereka, dan adegan para penyerbu yang tidak sadar bahwa dalam kegelapan tepat di atas mereka, dalam jarak tembak yang dekat sekelompok penghuni tinggal menarik pelatuk senjata mereka untuk menghabisi pada penyerbu ini.

Namun sajian utama film ini tentu saja adegan laga tangan kosong yang diperagakan sangat baik oleh Iko Uwais, dan Yayan Ruhiyan-sekaligus koreografer laga film ini. Laga tangan kosong berlangsung dalam jarak sangat dekat, intensitas tinggi, dan kecepatan tinggi. Dengan sangat baik film ini menggambarkan secara detail bagaimana pukulan demi pukulan bersarang di berbagai bagian tubuh hanya dalam hitungan sepersekian detik. Tidak ada lagi pencak silat yang secara formal diperkenalkan dalam Merantau. Meski nyawanya masih ada, pencak silat di sini terlihat lebih liar dan lebih brutal. Kekerasan tingkat tinggi makin sering muncul tiap menitnya, mulai dari penggunaan parang, pecahan kayu, hingga.... Bohlam. Imajinasi penonton dibawa sedemikian rupa sehingga bayangan-bayangan paling brutal dari sebuah perkelahian hidup mati yang tidak pernah terpikirkan bisa muncul. Pada bagian ini, departemen sinematografi, efek visual, dan efek suara bekerja dengan sangat baik. Sektor efek suara juga begitu detail mendukung setiap aksi laga film ini, dari suara sentuhan mata pisau yang menggores lantai, suara parang yang dibentur-benturkan para musuh -yang begitu baik membangkitkan nuansa ketegangan, hingga suara muncratan darah dan dislokasi bahu. Tone warna dengan sangat kelam memberikan aura 'tidak meyakinkan' yang meyakinkan bagi penonton. Efek visual cipratan darah, kilatan tembakan beberapa kali digambarkan begitu jelas. Pergerakan kamera yang mostly handheld begitu dinamis mengikuti kegesitan para penyerbu yang berusaha menghindari serangan dari berbagai arah. Seisi bioskop menjadi 'brutal' juga mengikuti aksi demi aksi yang muncul. Teriakan, umpatan, hingga tepuk tangan riuh mewarnai setiap perkelahian 'ekstrem' yang terjadi. Dari sinilah dapat terlihat bagaimana film ini begitu dinikmati dan berhasil membawa penonton pada sebuah 'pengalaman baru' dalam menonton film laga.

Sayangnya, The Raid hanya berhenti sampai di sini. Nampaknya, Gareth Evans lebih cenderung memposisikan The Raid sebagai film blockbuster 'musim panas' yang berisikan berbagai adegan memukau dan luar biasa, dengan imajinasi laganya. Bahkan dalam sebuah review di IMDB.com, The Raid digambarkan membuat film Black Hawk Down dan Old Boy terasa jadi perkelahian anak kecil. Pendapat ini cukup beralasan. Penonton yang pernah terpukau menonton adegan perkelahian lorong dengan palu di Old Boy akan dipaksa menarik kata-katanya dengan adegan yang hampir serupa di The Raid. Bedanya, di sini yang dipakai bukan palu, tetapi parang. Dan, semuanya memegang parang satu-satu, serta sangat baik dalam perkelahian. Aksi laga menjadi tema pokok dari film ini. Sedangkan hal lain di luar itu, hampir saja begitu medioker. Inilah yang kemudian menjadi kelemahan utama film ini. Hampir tidak ada yang spesial dalam alur penceritaannya. The Raid adalah sebuah film dengan protagonis dan antagonis yang lurus-lurus saja dengan cerita yang lurus-lurus saja. Memang, tetap ada twist di akhir cerita, namun setelah menikmati gila aksi laganya, twist ini tidak terlalu signifikan.


Divisi skenario, juga demikian. Pada awal-awal film, dialog yang ada begitu plain, tidak begitu menonjol. Terkadang para pemain terlalu cepat berbicara atau kurang terartikulasi, meskipun tidak menghambat penceritaan secara signifikan. Meski demikian, setelah film ini mencapai tengah cerita, para pemain entah mengapa menjadi lebih santai dan relaks, sehingga kemudian beberapa dialog menjadi begitu memorable. Mad Dog (Yayan) entah bagaimana terlihat mirip Ki Joko Bodo (meskipun rasanya tidak disengaja), tetapi auranya begitu bengis dan groovy pada saat yang sama. Kata-katanya yang membandingkan pertarungan dengan pistol dan tangan kosong begitu asik. " ..Nggak ada geregetnya. Kalo ini, (sambil menunjukkan tangan) ini baru asik.." Jaka (Joe Taslim), pemimpin penyerbuan, juga pada awalnya terlihat demam panggung, tetapi ketika sudah dalam keadaan terdesak, ekspresi ketakutan, tegang, dan pada saat yang sama masih harus terlibat wibawa di depan anak buahnya ikut menciptakan ketegangan. Donny Alamsyah meskipun tidak muncul cukup banyak, juga memberikan akting yang baik, meskipun karakternya tidak begitu berkembang. Sementara itu, Iko.. Iko sebaiknya tetap bertarung saja. Yang memberikan tone paling gelap dalam film ini adalah Ray Sahetapi yang memerankan Tama, Ketua segala Ketua dari penjahat ini. Perkenalan karakter Tama berlangsung dengan begitu 'baik' (ruangan kontrol dengan banyak TV, meja dan kursi, PALU -- ada yang merasa ingat sesuatu?). Gayanya oke, style-nya mencurigakan. Tama tampil begitu berwibawa dan memiliki selera yang aneh, dengan kalimat-kalimat asik, "Pelurunya habis. Tunggu sebentar, ya? :) ..."

Ada yang merasa dejavu dengan adegan ini?
Gareth Evans memang memiliki visi yang unik dalam setiap filmnya. Dalam sesi tanya jawab, dia berkata, "Saya tidak membuat film dari apa yang ingin saya buat secara pribadi, tetapi apa yang penonton ingin saya buat." Pemikirannya begitu simpel, membuat apapun yang penonton yang mau buat. Hal inilah yang kemudian berbekas begitu besar dalam karyanya. Ketimbang mengembangkan film dengan konsep-konsep idealis, Gareth lebih mengutamakan kenikmatan terhadap penontonnya. Dan karena penontonnya adalah penonton Indonesia, maka kenikmatan visual di atas segala-galanya. Inilah yang kemudian akan membuat film ini menjadi begitu penuh kelemahan, ketika membawa penilaian film ini di ranah kritik film yang idealis. Storytelling yang begitu biasa saja, karakterisasi yang kurang menonjol, tak ada twist yang luar biasa, dan masih banyak lagi yang dapat ditemukan ketika memandang film ini secara lebih mendalam. The Raid misalkan, tak akan mendapat nominasi skenario terbaik atau aktor terbaik atau mungkin film terbaik. Dan secara teknis, apabila terus dibahas secara lebih mendalam akan muncul lebih banyak lagi kedodorannya. Serbuan dalam ruangan kenapa memakai senjata semi otomatis, bukan sub-machine gun (tanya teman yang suka militer)? Ini-nya kok begini? Itunya kok begitu? Darahnya nggak continuity? Gareth Evans, dalam penilaian saya, menciptakan cerita, dialog, dan karakter cukup dalam rangka untuk menghadirkan adegan laga, yang dalam rangka untuk menghadirkan kenikmatan menonton terbaik bagi para penonton Indonesia.

Ketika kami mengulas film ini bersama, saya jadi teringat mengenai satu lagi tokoh fenomenal dalam perfilman Indonesia, KK Dheeraj. KK Dheeraj (bagi yang belum kenal) adalah sineas yang 'diimpor' dari India dan 'bertanggung jawab' atas berkembangnya genre seks dan horor komedi dalam perfilman Indonesia lima tahun belakangan ini dengan berbagai judul seperti 'Mas Suka Masukin Aja', 'Genderuwo', 'Pocong Mandi Goyang Pinggul', 'Hantu Binal Jembatan Semanggi', 'Pijat Atas Tekan Bawah', hingga 'Anda Puas Saya Loyo'. Ketika diwawancarai mengenai ke-ekstrem-an tema filmnya, KK Dheeraj dengan santai menjawab bahwa dia hanya menyajikan apa yang penonton suka. Karena penonton paling suka nonton film horor dan film komedi, maka dia membuat film horor dan film komedi. Cara pandang KK menurut saya begitu mirip dengan Gareth. Sama-sama lebih melihat apa yang penonton suka. Dan ini kemudian menciptakan spektrum penonton yang kurang lebih sama, yaitu penonton medioker, yang punya basis masa paling besar di Indonesia yang tidak bisa dicekoki film 'sulit' macam Sang Penari. Dan kemudian tentu saja melahirkan film-film yang demikian medioker. KK Dheeraj, di satu sisi bergantung pada nama besar pelawak Indonesia dan aktris porno internasional agar para penonton medioker mau menontonnya. Di sisi lain, meskipun bermain dalam segmen yang sama, Gareth Evans memberikan penonton tontonan baru yang belum pernah mereka lihat dan bayangkan dengan dukungan teknik dan efek visual yang 'menentang iman'. Meskipun bisa dibilang masih dalam genre yang medioker, The Raid adalah sebuah tontonan medioker yang SUPERB.


nb: Oh iya, menurut Gareth Evans, The Raid akan diluncurkan di Indonesia secara luas baru sekitar bulan April 2012. Hal ini menurutnya berkaitan dengan dibelinya film ini oleh Sony Pictures-nya Hollywood. Pengunduran perilisannya ini agar premier The Raid di Indonesia akan bersamaan dengan premiernya di Amerika Serikat. Artinya, film ini akan jadi film Indonesia pertama yang premier di Amerika. Hooray!

18/11/11

THE DANCING SPIRITS


the dancing spirits | maulvi dm | desember 2011 | 16m0d


sinopsis

Dupa telah dinyalakan. Sesembahan telah ditata. Gamelan telah ditabuhkan. Para penonton telah berdesakan. Para penari sebentar lagi akan mulai menari. Tapi, tarian ini belum akan benar-benar dimainkan hingga datang para 'penari' lain, yang akan meminjam raga para penari tersebut.

Nada kendang semakin meninggi dan bertalu-talu. Dan dalam isyarat telunjuk sang pawang, 'Tarian' ini dimulai. Tarian dua dunia. The Dancing Spirits adalah sebuah eksperimen visual dalam menangkap sebuah budaya yang terus trengginas melawan arus zaman.


kru

videografer : Maulvi DM


pemain

Kesenian Jathilan Roso Tunggal, Pondok, Condong Catur.



trivia
  • Adalah produksi pertama dari Pull-The-String-Film Cultural Foundation.
  • Adalah bagian dari dokumentasi pertunjukan jathilan dusun setempat.
  • Nara Indra sebenarnya pengin datang ikut bergabung dalam produksi, tetapi ada acara lain, sehingga tidak jadi ikut.
  • Produksi dokumenter pertama.
  • Musik diisi oleh Michael Stearn, dengan komposisi berjudul 'Kala Rupa'.


03/11/11

PSYCHIC GIRL




psychic girl | maulvi dm | oktober 2011 | 3m56d


sinopsis

Lampu-lampu pinggir jalan yang sayup, langkah-langkah pulang kerja yang gontai, hewan peliharaan yang merajuk, seorang gadis yang menembus pekatnya malam, serta bayangan hitam yang mengikutinya dari belakang. Belum menambahkan, seseorang juga menunggunya dengan sinis di ujung gang itu.


kru

Ide cerita : Nara Indra, Agi Ekasaputro, Ajeng Sekar
Operator Mini Jimmy-jib : Danang Arif
Cahaya : Ajeng Sekar
Videografer+Editor : Maulvi DM


pemain

Lalik Lique
Satwika Paramasatya
Danang Arif
Chirippa (alm)


musik

menggunakan tanpa pamit

"Psychic Girl" - Rumah Sakit

_________________________________________________________________________________


catatan produksi

Malam itu, rencananya tim berkumpul di rumah Maulvi, daerah Condong Catur. Rencananya malam itu, kami akan survei lokasi untuk proyek bayangan Kelelawar Hitam. Kami butuh tes cahaya untuk mengetahui seberapa mungkinkah projek ini dijalankan. Nara sebagai produser datang. Danang, sebagai sinematografer datang. Satwika, sebagai trainee datang. Tak lupa Lalik, sebagai penata seni datang,dengan membawa hewan peliharaannya, Chirippa (alm). Lalu kami mencoba-coba mengambil beberapa gambar, yang ternyata hasilnya cukup gelap. Lalu kemudian datang pula Agi, trainee juga, dengan membawa pacarnya waktu itu, Ajeng Sekar.

Akan tetapi, semuanya berubah ketika satu usul muncul. "Kalo udah ngumpul begini, sekalian bikin film aja". Dan, jadilah Psychic Girl. Hitung-hitung, ini merupakan satu-satunya genre horor dalam karya kami, dan kebetulan dibuat dekat-dekat Halloween.

Lalik, ketika masih kurus.

Sementara itu, Danang dan Satya serta Lalik diplot sebagai pemain, dan Agi dan Ajeng mengobrol di depan rumah sembari memperhatikan kegiatan pengambilan gambar. Mereka belum menyadari takdir apa yang akan mereka hadapi setahun kemudian.


trivia
  • Adalah film ketiga dari Pullthestringfilm yang dibuat pada masa bencana. Film pertama, 'Reverie' dibuat ketika terjadi erupsi Merapi. Film kedua, 'Bram The Stalker' dibuat ketika terjadi tsunami Fukushima, dan film ketiga, film ini, dibuat ketika terjadi banjir bandang di Bangkok.
  • Adalah bagian kedua dari 'Happy-Go-Filming' project.
  • Bagian kedua Happy-Go-Filming project yang membutuhkan waktu lima menit untuk pra-produksi dan satu jam untuk produksi.
  • Pada awalnya para pemeran pria adalah Nara dan Agi, tapi setelah Satya datang, pemeran prianya langsung berganti semua jadi Satya dan Danang. Dan ini kemudian diamini sebagai keputusan yang tepat.
  • Persis seperti Viggo Mortensen yang ketika tiba di tempat lokasi LOTR tiba-tiba didapuk jadi Aragorn, first-timer Satwika Paramasatya yang baru tiba di lokasi tiba-tiba didapuk jadi aktor pemeran utama.
  • Produksi dilakukan di malam Halloween yang baru disadari keesokan harinya. Itu menjelaskan banyak ke'gaib'an yang menyelimuti pembuatan film ini.
  • Para pembuat dan pemeran mengaku tidak ada yang menyadari dan mendengar suara tokek yang terdengar begitu jelas dalam film ini.
  • Film ini dibuat tepat di depan sebuah rumah yang sangat besar dan magrong. Akan tetapi, tidak sedikitpun bagian dari rumah ini terlihat, meskipun sepanjang adegan, kamera selalu diarahkan menghadap rumah tersebut. Oh iya, satu lagi, rumah besar itu memiliki nomor rumah '66'.

メルバブの物語 ~ Tale of Merbabu




Adalah dokumentasi kegiatan KKN salah satu anggota Pullthestringfilm, yaitu Maulvi DM. Diproduksi dalam dua versi, versi Indonesia dan versi Jepang (ini adalah versi Jepang-nya)

Video ini adalah sebuah karya dokumentasi dari kegiatan KKN PPM UGM 2011 yang diadakan unti 122 di desa Wonolelo, kaki gunung Merbabu. Inisiatif pembuatan film ini pada awalnya adalah murni dokumentasi, akan tetapi karena keterkaguman terhadap pemandangan alam yang ada, medium film dipilih untuk mendokumentasikan kegiatan ini.


Video ini mencoba menggambarkan semangat, keseruan, dan segala macam perasaan yang teraduk dalam KKN ini.





07/04/11

Tanda Tanya: Parabel Kemanusiaan, bukan Agama



resensi oleh Maulvi


Tanda Tanya, film terbaru Hanung Brahmantyo, adalah sebuah perdebatan berkepanjangan mengenai bagaimana sebuah lingkungan masyarakat yang plural berusaha menemukan dan terus memahami bentuk pluralisme yang ideal dan 'adil bagi semua'. Film ini kuat dari berbagai teknis, baik akting, sisi penceritaan, hingga teknisnya. Gambar-gambar yang indah, lokasi yang detil dan memorable, dan akting yang memukau berhasil menepis pesimisme terhadap film ini yang berusaha memperbandingkannya dengan film serupa, Cin(T)a.

Film ini, seakan menjadi sebuah oase segar bagi manusia Indonesia, di mana kita dapat berkesempatan menikmati gambar-gambar yang aneh dan absurd, yang sekiranya bisa terjadi ketika pluralisme bisa berjalan dengan baik dalam masyarakat. Adegan-adegan seperti restoran Cina yang pegawainya rata-rata Islam dan sholat di mana saja (seperti di lorong dapur) ketika azan berkumandang, Seorang pastur yang membaca definisi Tuhan yang Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Mulk, Al-Muhaimin dari seorang murid kelas baptisnya, seorang anak yang diajari doa berniat puasa oleh seorang Non-Islam, hingga seorang muslim yang menjadi Yesus Kristus yang disalibkan. Ini semua adalah sebuah absurdisme realitas, ketika masyarakat masih berpikir seperti tokoh Surya, yang berkata 'Nanti apa kata masyarakat....' ketika ditawari bermain dalam drama paskah.

Tanda Tanya, sangat berhasil melanjutkan kisah Cin(T)a (jika itu bisa dijadikan pembanding yang tepat) dalam sebuah tataran yang sama sekali berbeda dan lebih rumit. Ending film ini, mungkin lebih mindblowing dibandingkan film-film Indonesia modern lainnya, dan seakan memposisikan agama yang berbeda sebagai benang-benang berwarna-warni yang menjalin keindahan bermasyarakat.

Dalam pemutaran di hari pertama yang dihadiri penulis, di akhir pemutaran, seoran penonton berteriak lantang "Hayo,, siapa tadi yang menangis?" Film ini bukan melodrama, bukan tragedi, tapi sebuah parabel untuk Indonesia.

Porsi agama Katolik menjadi bagian paling signifikan di film ini, yang merupakan sebuah eksepsionalitas dalam film Indonesia yang lazimnya dibumbui agama Islam. Kemunculan simbol keagamaan lain sebelumnya lebih sering dianggap tabu dan ganjil, berbeda dengan adegan sholat yang pasti selalu muncul dalam semua sinetron di Indonesia. Kemunculan scene bernuansa Katolik, bisa dibilang mencapai 45% dari film ini, akan tetapi nampaknya hal itu tidak menjadi masalah bagi penonton yang, hampir separuhnya berjilbab.
Voice of Islam dari Eramuslim telah dengan salah menyerang film ini sebagai film religius yang palsu. Ini bukanlah film religius. Ini adalah film tentang religiusitas dalam masyarakat. Film ini bukan tempat bagi ide-ide seperti Islam KTP yang menggambarkan semua orang berpeci dan baju koko. Semua tampil wajar, bersahaja, dan sekaligus absurd kalau dipikir-pikir.

Pada akhirnya, film ini merayakan keberagaman masyarakat Indonesia.

nb: Tanda Tanya, seakan mengingatkan penulis pada PullTheStringFim (PTSF) sendiri. Adalah sebuah kebetulan ketika PTSF terdiri dari berbagai kepercayaan dan keyakinan. Misalkan, Nara adalah seorang Hindu, Danis adalah Kristen, sedang Maulvi adalah Islam. Dan unsur-unsur TandaTanya tentang keberagaman seakan menjelma dalam kesibukan kita sehari-hari, yaitu tentang realitas dari absurdisme pluralitas yang hampir tidak bisa dipercaya, tetapi ada. Seringkali muncul adegan-adegan yang kalau dipandang secara religiusitas hampir-hampir adalah hal yang aneh. Beberapa bahkan muncul dalam karya kami.

Ingat adegan ceramah Pak Haji dalam Reverie? Yang membuat adegan ini menarik adalah bahwa adegan ini tidak dibuat di masjid atau musholla, tetapi dikerjakan secara sederhana di rumah pamannya Danis, yang kristiani. Pada awalnya rasanya canggung dan absurd ketika memulai adegan ini. Bagaimana tidak? Tentunya  pasti ada perasaan tidak enaklah sama pamannya Danis. Persis seperti kata Surya dalam TandaTanya, "Nanti apa kata yang punya rumah?" Akan tetapi nyatanya semua berjalan baik. Tuan rumah bahkan menyediakan teh dan cemilan untuk syuting kami - suatu hal yang tidak kami kira sebelumnya. Saya pikir, Tandatanya Effect berlaku dalam bagian ini.

Kisah ini sebenarnya hanya menggambarkan bahwa Tandatanya Effect, bukanlah sebuah absurditas sinematik belaka. Efek ini sebenarnya dapat kita nikmati bahkan dalam keseharian kita sendiri.

Maka, mari merayakan keberagaman!!

30/03/11

Masa Reses

Bisa dibilang, saat ini adalah era reses berkepanjangan dari PTS (Pull The String, bukan pria tuna susila apalagi pria tuna selera). Disebut reses karena, semenjak rapat evaluasi produksi Bram the Stalker, teman-teman PTS satu-persatu mencurhatkan jadwalnya setelah ini. Kesibukan demi kesibukan menghantui langkah rencana kegiatan PTS kedepannya. Tentu saja, yang paling utama adalah skripsi. Akan tetapi, kegiatan kuliah secara umum juga menyita waktu kami. Hal ini nampak lumayan terasa pada produksi BTS (Bram the Stalker, bukan Bram Tuna Susila apalagi Bram Tuna Selera), penyusunan jadwal jadi salah satu faktor paling sensitif. Bukan mau menyalahkan jadwal sih..


Akan tetapi, sudah ada rencana untuk menghentikan masa reses itu, tapi masih sekitar dua minggu lagi. Maka, masa reses akan terus berlanjut. Hidup memang perlu prioritas.

23/03/11

REVERIE


reverie | maulvi dm | november 2010 | 10m36d


sinopsis

Seorang perempuan melaju sibuk di sebuah pedestrian berdebu. Matanya melirik pada sebuah tulisan yang tertulis di tiang listrik. Tulisan ini pulalah yang akan menautkan nasibnya dengan takdir dan keimanan seorang pemuda lugu yang sibuk dengan pikiran-pikirannya yang saling berperang satu sama lainnya. Tentang apakah Reverie ini? Tentang norma masyarakat, kata hati, patriotisme, fundamentalisme, masa lalu, keluarga, gairah, dan kebingungan-kebingungan masa muda yang tertampil dalam sebuah mimpi di siang bolong.


kru

Naskah : Maulvi DM, Nara Indra, Danistya K
Produser : Nara Indra
Kasting : Danistya K
Penata Seni : Lalik Lique
Sutradara : Maulvi DM
Sinematografi : Fitrianto Nugroho
Seksi sibuk : Borneo Adi
Editor : Maulvi DM
Musik Latar : Maulvi DM


pemain

Ridho Jun Prasetyo
Pijar Ramadhani
Danistya Kaloka
Brillian Permana
Borneo Adi
Maulvi DM



musik


"Run Ridho Run" - Maulvi / Budiman
"Ibu Anak" - Maulvi / Budiman
"Mengheningkan Cipta" - WR Supratman / Budiman
"Jangan Kentut" - Maulvi / Budiman

serta menggunakan tanpa pamit

" Vakansi " - Nona Sari & Tuan Riki / White Shoes & Couples Co.


penghargaan

~Best Editing~ Fiagramotion 2010
~Best Poster Design~ Fiagramotion 2010

_________________________________________________________________________________


catatan produksi

Reverie, adalah proyek pertama dari PTSF, dengan motivasi dasar untuk mengikuti sebuah kompetisi film pendek mahasiswa bergengsi di UGM, Fiagramotion 2010. Tergiur uang dan kemuliaan, dengan lantang para pemuda ini segera mencari ide dasar mengenai tema kompetisi, yaitu 'teknologi bukan hama sosial'.

Bukanlah sebuah kebetulan ketika momen pencanangan tekad itu menjadi tonggak pertama berdirinya sebuah klub film amatir tanpa nama di HI UGM, dan bukan kebetulan pula tanggal yang terpilih sebagai bulan lahirnya adalah Oktober 2010. Tanggal pastinya tidak begitu jelas, tapi kemungkinan besar adalah hari Rabu tanggal 20, di Taman Fisipol UGM ketika naskah fisik pertama Reverie lahir dan memulai perdebatan para personil.

Pada hari yang ditakdirkan itu pula, Gunung Merapi dinaikkan statusnya dari Normal menjadi Waspada. Tapi nampaknya hari itu tak ada di antara mereka yang mewaspadai hal itu.

Seminggu dua minggu pertama dihabiskan untuk pembuatan cerita yang terburu-buru, me-rehearsal pemain, dan dilanjutkan dengan kehidupan mahasiswa yang normal. Survei lokasi diadakan pada tanggal 26 Oktober ke arah Nanggulan, Kulonprogo. Dalam perjalanan pulang, sekitar pukul satu, sembari beristirahat di warung mie ayam, keringat dingin mengalir dari pipi para kru: di layar tivi tergambar Gunung Merapi telah melakukan erupsi pertamanya. Dan Mbah Maridjan menghilang.

suasana rehearsal

Akan tetapi Jogja tetap cerah, kampus tetap ramai, dan pengambilan hari pertama dilakukan di kampus. Semua berjalan baik. Malamnya dilakukan reading untuk adegan pedestrian. Hari Jum'at, tanggal 29 pengambilan gambar di kos-kosan Borneo. Setelah sholat Jum'at muncul berita baru, Mbah Maridjan ditemukan, bersujud, terbakar dalam erupsi. Masih belum mendapat petunjuk, jadwal pengambilan gambar berturut tanggal 30 dan 31 Oktober keesokan harinya tidak berubah.

Baru malamnya horor terjadi. Dentum demi dentum menghajar telinga semua orang Jogja yang tertidur. Tapi kejutan baru muncul keesokannya karena ternyata pada hari pengambilan gambar di pedestrian, ruang terbuka, justru sekujur Jogja dilumuri abu vulkanik tebal berwarna putih. Semua survei, perhitungan warna, hilang dalam sekejap. Tapi, medan ini justru menjadi perjuangan keras.

Sepanjang hari, pengambilan gambar dilakukan. Pertama adegan di TransJogja, karena dari survei, pukul 9 adalah waktu paling sepi bagi bis TransJogja, jurusan Jombor-CondongCatur. Merekam adegan dari dalam bis serasa menyaksikan Jogja diserbu badai salju. Selesai adegan bis, dilanjutkan adegan pedestrian. Aktris Iris dan aktor Ridho berjumpalitan bergumul dengan lantai pedestrian Mangkubumi yang penuh debu. Selesai dhuhur, dalam kemendungan asap Merapi yang menutupi Jogja dan bulir abu vulkanik yang terus turun, lokasi berlanjut ke Pasar Klithikan, ke kounter HP teman dari teman kami, Acip.

Keesokannya, Minggu, kita beralih ke rumah saudara Danis di Nanggulan. Meski beragama Kristen, uniknya kami menggunakan rumahnya sebagai setting 'musolla pesantren' untuk adegan ceramah Pak Haji yang dimainkan Fitrianto Nugroho.

suasana pengambilan di Nanggulan

Tentu semua datang dengan menggunakan masker, karena meski tidak sampai ke Nanggulan, abu vulkanik tetap menghantui sepanjang perjalanan. Di lokasi ini pula masa lalu Herman, tokoh utama kita juga digambarkan.

Dan pada saat yang bersamaan, seorang Agi Ekasaputro sedang sibuk menerobos jalan menuju dusun-dusun paling ujung di lereng Merapi, bersama satuan Menwa-nya. Dia belum tahu takdir apa yang akan menunggunya nanti.


BRAM THE STALKER


bram the stalker | maulvi dm | april 2011 | 14m56d


sinopsis

Seorang mahasiswa, merayapi kampus meratapi kehidupannya, menyelidik setiap sudut kampus dengan mata digitalnya, dia menemukan seorang bidadari kampus, yang selama ini dia nanti. Maka kemudian yang terjadi adalah penguntitan-penguntitan tersembunyi dari gelora jiwa sang pemuda ini, serta bisikan-bisikan berbisa tak bertanggung jawab yang kemudian akan makin dalam menghanyutkan sang pemuda dalam pusaran yang tak pernah diharapkannya.


kru

Ide cerita : Danistya Kaloka
Naskah : Maulvi DM, Danistya Kaloka, Nara Indra
Produser : Nara Indra
Kasting : Danistya Kaloka
Sutradara : Maulvi DM
Penata seni : Lalik Lique
Sinematografi : Maulvi DM
Musik : Danistya Kaloka
Editor : Maulvi DM


pemain

Danistya Kaloka
Dian Eka Permatasari
Borneo Adi Nugraha
Pijar Ramadhani
Ridho Jun Prasetyo
Maulvi DM



musik


"So Beautiful" - Danistya Kaloka
"Flying High" - Danistya Kaloka

serta menggunakan tanpa pamit

"Di Balik Hari Esok" - PW Gaskins
"On The Subway" - Brian Reitzell & Roger Manning Jr.


pencapaian

Finalis Kompetisi Film Commuval 2011, Komunikasi UGM

_________________________________________________________________________________


catatan produksi

Kembali pada momen kompetisi fiagramotion 2010. Tim berdiskusi di taman fisipol, di antara kebingungan-kebingungan ide untuk film kompetisi ini. Dalam keputus asaan, tiba-tiba sekelebat melintaslah seorang bunga kampus, yang kemudian mencetuskan khayal bergelora dari tiap-tiap anggota untuk melakukan stalking terhadap sang gadis. Namun demikian, karena dianggap terlalu 'wishful thinking', maka demikianlah ide ini terbengkalai, hingga kemudian kami dimabuk kemenangan Reverie di fiagramotion 2010 sebagai editing terbaik.

Pertengahan Februari 2011 kembali muncul kompetisi, kali ini Commuval 2011, yang bertemakan tentang kehidupan urban. Dari sinilah, kemudian ide stalking ini muncul kembali, tentu saja masih dengan desirable object yang sama, sang bunga kampus. Kabar gembira karena ternyata sang penata seni tercinta, Lalik adalah teman baiknya sehingga kemudian menjadi nyatalah membawa kisah ini ke dalam bentuk film.

Konsep awalnya, stalking, ditambah dengan warna romantisme personal dari pemeran utama pria, Danistya Kaloka, dan kemudian juga kami menambahkan konsep fad dan hipster sebagai subkultur dominan yang akan menjadi penghalang terbesar bagi Danis dalam mendapatkan sang gadis. Warna-warna inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan karakter 'Bram' yang menjadi judul film ini. Kebutuhan besar terdapat kostum ini memutuskan kami untuk mengembangkan departemen seni yang dipegang Lalik untuk memasukkan bagian perencanaan kostum, yang selanjutnya akan terus menjadi kesadaran tugas tersendiri bagi departemen tersebut. Di projek ini, bagian ini dipegang oleh Dika Ananto.

Dan pada saat itu, Dika masih belum menyadari takdir besar yang akan dihadapinya dalam dua belas ke depan.

Bram The Stalker didesain sebagai bagian integral dari saga Reverie, sehingga karakter-karakter dari Reverie banyak bermunculan di Bram The Stalker, termasuk kemunculan lagi adegan-adegan yang paralel dengan adegan di Reverie, namun melalui sudut pandang berbeda.

Penautan kisah Bram The Stalker ke Reverie inilah yang kemudian membuat film ini memperoleh beban dan tugas tidak mudah: di satu sisi, film ini harus bisa menyampaikan ide sebagai sebuah film yang berdiri sendiri, di sisi lain, film ini muncul sebagai referensi yang memperjelas sebab-akibat di Reverie, dan harus bisa membuat penonton yang belum menonton Reverie dan sudah menontonnya mengalami kepuasan yang sama. Inilah yang membuat proses pembuatan naskah Bram The Stalker menjadi begitu konfliktual.

Dua orang ini belum menyadari kemana takdir akan membawa mereka dalam 12 bulan ke depan.
Dika dan Danis sedang mencoba kostum di lokasi.

Lepas dari itu, semua berjalan normal, reading berjalan dengan sedikit malu-malu, survei berjalan lancar, dan sekali lagi, bencana selalu menghantui pada hari pertama produksi. Jika pada produksi Reverie lokasi pengambilan gambar diamuk debu vulkanik, maka di projek ini, gedung asli Fisipol UGM dihancurkan. Padahal di tempat inilah kebanyakan kita akan mengambil gambar.