06/07/17

Katalog Dijital PTSF



Sudah beberapa waktu semenjak kami vakum.

Memang, kami tak pernah secara ofisial menyatakan ingin atau sedang vakum, akan tetapi, selain beberapa konsolidasi internal yang terjadi beberapa kali pada awal tahun ini, PTSF tidak memiliki aktivitas yang berarti. Mentok naskah? Limbo produksi? Hal-hal ini bisa jadi alasan yang akan anda sering dengar ketika bertanya mengapa kami tidak kunjung aktif.

Situasi ini bukan yang pertama kali. Dalam beberapa fase kerja yang telah terjadi tahun-tahun yang lalu, kami juga mengalami hal yang sama. Tersangkut di satu ide, dan tak bisa melepaskannya hingga berbulan-bulan. Dan kami selalu menciptakan treatment-treatment yang lebih kecil, lebih sederhana, sekedar untuk memecah ritme. Maka, pada 2012 lahirlah serial Dying Ducks yang dicetuskan oleh Danang Arif.

Kali inipun begitu. Kami berupaya memecah ombak dengan kerikil-kerikil kecil, yang kami kumpulkan sepanjang perjalanan kami kemari. Kumpulan inilah yang kemudian kami sebut sebagai Katalog Dijital PTSF. Tujuannya agar hal-hal kecil yang selama ini tercecer dari proses kreatif PTSF mendapat tempat yang layak untuk terdokumentasikan. Dan juga, kerikil ini tidak harus melulu berasal dari masa lalu. Bisa jadi dia berasal dari masa sekarang, dan juga masa depan. Karena sifatnya rekoleksi, maka bisa jadi ada yang bisa anda nikmati, ada yang bisa tidak anda nikmati. Yang penting kali ini, adalah bahwa kami pelan-pelan mengumpulkan kembali kesadaran alam bawah kami.


Di sisi lain, kehadiran Katalog Dijital ini juga untuk berkompromi dengan perubahan lanskap komitarian yang selalu terjadi di PTSF, tapi belum pernah terjadi sedramatis ini hingga saat ini. Kami mencoba terus berjalan dalam semua medan. Walaupun mungkin hari ini baru kaki kiri yang bergerak, harapannya dengan seterusnya Katalog Dijital berkembang, maka kaki kanan, tangan kiri, tangan kanan, seluruh organ tubuh kami bisa bergerak simultan untuk berlari kencang kembali.

Selamat menikmati, dan selamat mengikuti.





23/05/16

Aisyah : Penyintas Ladang Ranjau Klise







Aisyah (Biarkan Kami Bersaudara) adalah sebuah film karya Herwin Novianto, sutradara pemenang Piala Citra, Tanah Surga (2012). Film ini berkisah tentang Aisyah, mojang berjilbab yang baru lulus sarjana pendidikan dan mendapat kesempatan untuk mengajar di dusun terpencil dekat Atambua, Nusa Tenggara Timur, meskipun mendapat tentangan dari ibunya. Sesampainya di sana dan disambut sebagai 'Suster Maria', Aisyah kemudian menyadari adanya perbedaan budaya yang begitu besar antara dirinya dan masyarakat dusun tersebut. Bagaimana Aisyah kemudian beradaptasi dan menjalin perasaan dengan kehidupan masyarakat lokal inilah yang kemudian menjadi rangka utama dari film ini.


Cerita dasar dalam film Aisyah sebenarnya bisa dibilang cukup umum dan mudah ditemui. Tema mengenai 'orang kota/ berpendidikan yang mengajar/ kehidupan di tempat terpencil/ miskin/ perbatasan Indonesia' sebelumnya sudah pernah dipakai di Denias : Senandung Di Atas Awan (2006), Laskar Pelangi (2008), Batas (2011), bahkan karya Herwin sendiri, Tanah Surga (2012). Tema yang cukup umum ini kemudian menyajikan sebuah ladang ranjau klise yang teramat luas bagi Aisyah untuk dilewati, mulai dari soal anak perempuan yang dilarang pergi jauh oleh orang tuanya, guru muda yang dimusuhi murid-muridnya dan kemudian bisa mengambil hati murid-muridnya, hingga perbedaan agama yang bikin ribut. Bahkan film ini berada dalam zona klise paling mendasar dalam genre ini di mana guru berkhotbah soal 'perbedaan', 'saling bersaudara', 'dan keanekaragaman agama', atau bahkan 'nasionalisme' dan 'atribusi cinta tanah air', di mana sang sutradara jatuh sedalam-dalamnya pada karya sebelumnya.

Menariknya adalah, Aisyah bisa lolos dari semua itu. Well, tidak semuanya. Sebagian besar. Aisyah mengambil posisi yang unik dalam genre ini, di mana dia mengabaikan berbagai klise yang ada, akan tetapi sekaligus secara konsisten duduk berdampingan dengannya sepanjang cerita. Ketika dalam perjalanan bis di tengah lanskap tandus, Aisyah duduk berdekatan dengan dua orang suster. Tapi tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Tidak ada pandangan curiga dari Aisyah/para suster, komentar-komentar berbau agama, bahkan tidak ada kalung salib maupun tasbih di sana. Yang terjadi hanya suster tadi memberi tahu bahwa dusun tujuan Aisyah sudah dekat. Interaksi yang natural semacam ini menjadi air penyegar di tanah tandus Atambua ini, dan terus-menerus membasahinya sepanjang film. Meskipun judulnya Aisyah, tidaklah dia berdarah-darah mempertahankan kehormatannya dan imannya di film ini. Aisyah tetap menjaga kerudungnya, hadir dalam mukena, sajadah, dan Qur'an, akan tetapi kehadirannya tidak mendistraksi film ini menjadi sebuah film reliji, yang bisa dibilang adalah godaan terbesar dalam genre ini.

Di sisi lain, Aisyah didukung perpaduan akting yang baik antara pemeran titular Laudya Chintya Bella dan pemeran lokal yang mengisi sebagian besar cast film ini, serta kekuatan komikal dari Arie Kriting sebagai pemeran pendukung yang utama sebagai Pedro. Akting Laudya sangat menonjol di film ini, mengajak penonton mengamati perkembangan menarik karakter Aisyah dari seorang gadis pemalu dari Ciwidey yang idealis, menjadi guru muda yang membawa sejuta perbedaan dari kota ke tempatnya mengajar, hingga ketika Aisyah menjadi satu bagian tak terpisahkan dari Dusun Derok dan kembali menjadi gadis Sunda pemalu di akhir cerita. Hal-hal kecil seperti perubahan logat dan nada bicara Aisyah dan warna kulitnya yang pelan-pelan jadi gelap menjadi pelengkap yang mempermanis cerita. Bisa jadi, ini adalah presentasi terbaik Bella setelah Virgin sekaligus menjadi titik balik utama transformasinya sebagai aktris berhijab.

Meskipun berlatar lokasi nan eksotis, tidak membuat penata kamera Edi Santoso kemudian mengeksploitasi lanskap NTT secara berlebihan. Pewarnaannya boleh juga. Mungkin satu-satunya yang dieksploitasi oleh Edi adalah gambar awan-awan, yang kemudian terlalu sering menjadi gambar transisi antar adegan. Di luar itu, (selain pula shot pertama yang rada awkward) gambar-gambar dinamis Edi lebih berfokus untuk menunjang aliran drama, ketimbang bersolek menjadi gincu cerita.


Pada situasi yang berseberangan adalah tata musik yang dipegang oleh Tya Subiakto. Tya yang dalam setahun biasa menata musik hingga lima sampai tujuh film menjadi salah satu bagian yang paling rapuh dari film ini, dan di sisi lain memancang film ini sebagai sebuah tontonan populer (bisa jadi ini juga tuntutan produsernya). Klise terbesar hadir di area skoring, terutama karena skoring film ini seringkali berebut peran dengan visual dalam penceritaan, ketika di saat yang bersamaan hadir tidak terlalu berbeda dari pendekatan sebelumnya; "Hei, ini lagi di tanah Sunda!", "Oh, dia lagi sedih!", "Penonton, ini momen klimaks film ini, harap menangis". Meski demikian, perlu dicatat beberapa hal menarik dari bagian ini. Tya memberikan penonton beberapa musik latar yang segar dan dinamis dan tidak bersungkan-sungkan dengan berbagai materi film ini. Setidaknya ada dua adegan dengan musik latar yang sangat menarik, yaitu ketika Aisyah dan murid-muridnya belajar dengan gembira, bereksperimen di halaman sekolah, maupun sekedar bercanda riang, serta ketika Aisyah kembali dengan murid-muridnya melakukan persiapan menyambut malam natal. Bagian terakhir ini adalah sebuah rendisi yang indah dan semarak dari lagu Malam Kudus, membuatnya menjadi perayaan sederhana sekaligus gegap gempita bagi para murid Aisyah.

Pada akhirnya, Herwin menurut hemat saya, berhasil menyajikan sebuah tontonan yang sangat ringan meskipun bahasannya cukup berat. Film ini menjadi hiburan yang cukup seimbang untuk segala umur. Dia mampu bercerita tentang tempat nun jauh di sana untuk penonton anak-anak, menginspirasi remaja untuk menjadi ‘sarjana jenis pertama’, maupun bagi orang tua (agar berhenti memandang anak mereka yang sudah kepala dua sebagai anak kecil - hehehe), maupun tontonan umum dengan temanya yang umum tentang keragaman dan pendidikan. Di sisi tertentu, sebagaimana umumnya film perbatasan harus berakhir, Aisyah harus pulang. Meskipun Aisyah mengatakan bahwa dia akan kembali, akan tetapi kita melihat bagaimana ibu dusun, bapak dusun, anak-anak, dan warga dusun mencoba menahan air matanya keluar. Mereka bersedih, dan patut bersedih, ketika jalinan persahabatan dan keluarga yang teranyam sepanjang satu setengah jam ini harus usai setelah film selesai dan kredit dimainkan.



Verdict : Film ini mungkin ada beberapa bolongnya, pertanyaan yang ndak dijawab, tapi overall ini film lumayan mengalihkan perhatian saya selama beberapa jam. Jarang ada film Indonesia kayak begini. Direkomendasikan!

11/10/14

DYING DUCKS # 3



dying ducks # 3 | nara, satwika, danang, maulvi | september 2014 | 3m 52d


sinopsis

DD#3 bertema Salah Kaprah. Lha, judulnya saja sudah salah kaprah, isinya pasti juga salah kaprah. Penontonnya juga.


kru

Nara Indra, Satwika, Danang, Maulvi DM


pemain

Nara Indra
Danang Arif
Mapa Satrio, Rizki Tri (offscreen)


musik

menggunakan tanpa pamit

"Mimpi Dirayu" - Titiek Sandhora

_________________________________________________________________________________


catatan produksi

Setelah instalmen ke-2 merupakan proyek iseng-iseng, maka produksi DD#3 merupakan produksi yang diperhitungkan secara serius, kecuali bagian penutupnya. Meskipun diluncurkan tahu 2014, sebenarnya DD#3 telah diproduksi semenjak satu tahun sebelumnya, sebagai bagian dari rencana gagal menginvasi Hellofest 2013. Kesalahpahaman dalam memahami konteks festival tersebutlah yang kemudian melahirkan ide untuk merilis video-video ini sebagai instalmen DD#3.