05/03/13

Belenggu: Thriller yang Terlalu Utuh




resensi oleh Maulvi 


Membaca karya-karya Upi selama satu dekade ini rasanya seperti membaca sebuah genre spesifik. Apa yang bisa anda bayangkan akan keluar dari seseorang yang membuat 30 Hari Mencari Cinta hingga Realita, Cinta, dan Rock and Roll, Serigala Terakhir, serta Radit dan Jani? Tentunya adalah gaya pendekatan yang khas anak muda beserta segala keseruannya. Lantas dengan imaji satu dekade yang dibangun oleh Upi ini, apa yang akan dibayangkan ketika dia membesut film thriller pertamanya, Belenggu? Mungkin, satu hal inilah yang harus dipersiapkan ketika akan menonton Belenggu. Dalam film ini, bisa jadi anda tidak akan menemukan Upi yang selama ini anda kenal, atau mungkin kebalikannya, yang selama ini ada kenal, mungkin bukanlah Upi yang sebenarnya.

Thriller berdurasi 100 menit ini dibuka hampir mirip dengan Modus Anomali: Elang, seorang pria berlari dengan kebingungan di tengah hutan di malam hari. Di tengah kebingungannya tiba-tiba dia berada dalam sebuah mobil, dengan seorang gadis. Bersama dengan mereka, ternyata ada dua sosok mayat di sampingnya. Ditambah kemunculan sesosok kelinci misterius di jok depan. Apa-apaan ini? Ternyata ini hanya mimpi, satu dari sekian banyak mimpi Elang yang begitu aneh dan janggal. Kejanggalan-kejanggalan inilah yang kemudian menemaninya sebagai penghuni sebuah apartemen sepi yang dingin, bertetangga dengan sebuah keluarga yang disfungsional. Elang, selalu dihantui oleh kejadian-kejadian membingungkan sekaligus mengerikan, yang tidak memberikan batas yang jelas antara kenyataan dan mimpi, dimulai dari munculnya sosok perempuan bernama Jingga, konser teater kabaret dengan penonton-penonton yang aneh, hingga sosok kelinci, yang dalam pertemuannya, selalu berakhir dengan pembantaian keluarga tersebut. Sosok kelinci ini mungkin bisa disamakan dengan sosok doktor bedah yang menghantui dalam Modus Anomali. Dari kejadian-kejadian inilah, kemudian penonton diajak menggali misteri dibalik pengalaman-pengalaman Elang. Misteri, yang bisa jadi mengagetkan, bisa jadi tidak.

Menonton film ini rasanya seperti mengumpulkan berbagai serpihan referensi yang rasanya sudah familiar. Di antara serpihan-serpihan tersebut adalah Joko Anwar, David Lynch, dan Donnie Darko. Mungkin adalah suatu ketidak beruntungan semata dari Upi ketika Modus Anomali rilis setahun lebih cepat, padahal menurut Upi, Belenggu sudah dipersiapkan selama 8 tahun lamanya. Tak bisa ditolak bahwa film ini dalam banyak hal bersinggungan dengan film terakhir Joko Anwar ini, mulai dari visual opening, tema seorang anonim yang kebingungan, hingga pola penceritaan yang memajumundurkan plot.

Di sisi lain, kehadiran yang tipis antara mimpi dan kenyataan yang sama-sama absurd, termasuk kehadiran panggung teater, tentu saja melekatkan imaji David Lynch. Upi sendiri mengakui bahwa Belenggu menjadi semacam tribut darinya untuk Lynch, terutama dari serial Twin Peaks-nya. Tapi bisa dibilang, bahwa kadar Lynchian dalam Belenggu begitu kebangetan. Kadar ini begitu kental dalam suasana apartemen yang terlalu absurd, teater makabre yang menjadi kunci pandora, hingga kemunculan lelaki bertopi koboi dengan alis pirang-yang tentu saja adalah penjelmaan pria bertopi koboi tanpa alis dalam Mulholland Drive. Kemudian, terakhir, kehadiran kelinci misterius yang ‘menyeramkan’ tentu saja merupakan ingatan yang berasal dari Donnie Darko, sebuah film berjarak satu dekade lamanya, yang juga membedah antara mimpi, kenyataan, dan konspirasi di antaranya.

Meskipun mungkin memiliki semacam keberlintasan keserupaan dengan serpihan-serpihan tadi, akan tetapi bukan berarti film ini hanya bermakna pengulangan semata. Upi, dalam identitas barunya, memberikan sebuah sajian yang menurut penulis belum pernah diracik oleh sineas Indonesia sebelumnya, dalam sebuah kesatuan yang padu.

Sajian pertama adalah plot. Tidak sia-sia Upi menghabiskan 8 tahun untuk meramu thriller ini. Ketegangan-demi-ketegangan, kebingungan-demi-kebingungan berhasil menyeret penonton pada pencarian kembali Elang terhadap ingatan-ingatannya. Terjemah Lynch tentang konsep kenyataan dan mimpi yang saling terproyeksikan dipatuhi dengan baik oleh Upi, dengan berbagai referensi yang berkaitan antara mimpi dan (nantinya) identitas Elang. Upi juga tidak risih berliar-liaran dengan imaji. Adegan pembuka film ini, tentu mengingatkan pada adegan lift-tsunami darah dalam The Shining-nya Kubrick. Plot yang kelihatannya tidak ada juntrungannya ini kemudian di paruh kedua dikupas oleh Upi secara perlahan-lahan. Inilah kiranya yang bisa preseden sangat baik, atau mungkin sangat tidak baik. Di satu sisi, Upi menuntaskan pengupasan plot ini. Ini adalah hal yang bisa jadi baik dan memanjakan penonton lebih luas. Akan tetapi tuntasnya pengupasan plot ini artinya tidak ada perdebatan lagi mengenai cerita ini, yang bisa jadi sangat mengganggu bagi penonton tipikal thriller, terutama yang sudah dibiasakan dengan kultur Joko Anwar yang sekarep dewek melemparkan interpretasi pada penonton. Tapi bisa jadi, inilah jelinya Upi. Dan kejelian ini yang nantinya mungkin dapat dibuktikan dengan perolehan tiket beberapa bulan lagi.

Sajian kedua tentu saja adalah pagelaran akting dari Abimana Aryasatya. Dengan sangat baik, Abimana berhasil mentransformasikan dirinya sebagai sosok Elang dalam kebingungannya menerjemahkan kenyataan dan khayalan. Akting Abimana bisa dibilang menjadi separuh nyawa yang bisa mengatur seenak udelnya mood film ini. Salah satu akting Abimana yang paling memorable di paruh akhir cerita ini mengingatkan kegilaan astronot David Bowman ketika memasuki lorong angkasa dalam 2001: A Space Odyssey. Kalo bole berlebay-lebay-an, inilah satu karakter yang diciptakan untuk Abimana, atau kebalikannya Abimana diciptakan untuk peran Elang ini, hehehe. Di sisi lain, Imelda Therinne, sebagai Jingga cukup baik dalam mengimbangi kekacauan Elang. Verdi Soelaiman, muncul sedikit, tapi memberikan kesan yang cukup ‘mengacaukan’ dunia Elang. Yang terasa kurang dalam barisan akting mungkin adalah Laudya Cinthia Bella sebagai Djenar, yang terasa masih awkward dengan ambience Belenggu.

Sajian ketiga adalah visual dan musik dalam film ini, yang masing-masing dipegang oleh Ical Tanjung, dan Aksan Sjuman. Ical dengan sangat berhasil menerjemahkan rasa Belenggu yang berlapis dalam sebuah sinematografi yang bervolume. Kecanggungan-kecanggungan yang terasa seperti dalam Modus Anomali dan Kala, misalnya, tidak ditemui dalam film ini. Secara visual, Belenggu dapat menegaskan karakternya dengan gamblang. Di sisi lain, divisi musik juga mampu mendukung film ini, dengan aransemen yang cukup mengejutkan dan begitu ‘menantang’ dari Aksan Sjuman. Sama dengan sisi visualnya, musik Belenggu mampu melepaskan dirinya dari kecanggungan terhadap genre thriller film ini. Sedikit banyak, mungkin kehadiran dan intensnya peran musik dalam Belenggun mengingatkan pada aransemen The Silence of The Lamb yang juga menghantui. Kedua departemen ini berhasil membuat Belenggu menjadi sebuah thriller yang utuh, secara inderawi.

Bisa jadi, secara teknis, Belenggu nyaris tanpa cela. Kesan artifisial yang menjadi penyakit buruk film-film Indonesia-terutama yang berlatar antah-berantah, tidak lagi terjumpai dalam Belenggu. Film ini berhasil menjadi karakter yang penuh dan dewasa dalam genrenya. Satu-satunya kekecewaan teknis untuk Belenggu bisa jadi adalah poster utama filmnya yang sangat KK Dheeraj, lengkap dengan mata melotot dan gadis bersimbah darahnya (bisa jadi inilah satu-satunya referensi Upi sebagai rookie dalam genre thriller ini). Mungkin banyaknya referensi Upi terhadap Joko Anwar (secara plot) dan Lynch (secara ambience), bisa jadi membuatnya tidak begitu segar lagi secara ide. Akan tetapi, kembali lagi dalam posisinya di perfilman Indonesia, Belenggu telah berhasil mentransformasikan dan membawa genre thriller naik satu tingkat lebih tinggi lagi. Setidaknya, saya tidak merasa sia-sia menghabiskan uang untuk menonton film ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar