17/05/12

Lovely Man: Intensity, Intimately



resensi oleh Maulvi


Meski agak sangat terlambat, tapi rasa-rasanya harus juga saya me-review film satu ini, soalnya masak saya mereview The Raid dan Tanda Tanya sedangkan Lovely Man menurut saya lebih baik daripada kedua film ini? Jadi biarpun udah telat hampir setahun mungkin setelah film ini dirilis di Hong Kong, tetaplah akan kita review lagi film ini.

Baiklah, Lovely Man adalah satu karya dari Teddy Soeriaatmadja, sutradara yang dari jaman pertama muncul selalu idealis dan suka bereksplorasi secara sinematika, berbeda dengan kebanyakan sutradara Indonesia era baru lainnya yang lebih sering berkutat di penceritaan dan tema. Karya-karya sebelumnya  konsisten: selalu aneh, dalam artian selalu membawa suatu hal yang baru. Banyu Biru, jelas aneh dengan segala awkwardness-nya. Rumah Maida memulai genre baru film yang mengeksplorasi gaya tempoe doeloe dengan soundtrack yang sangat kuat dan sekarang bisa dilihat 'terusan'-nya dalam Soegija-nya Garin. Ruang yang jelas memang senang bermain-main dengan gaya yang vintage. Hingga Badai Pasti Berlalu dan Namaku Dick yang.. anehnya biasa aja. Tapi dalam Lovely Man, Teddy benar-benar membawa suatu hal baru yang saya kira belum pernah saya benar-benar temukan dalam film Indonesia, meskipun style ini terkadang muncul dalam style-nya Garin dan Riri era awal.

Lovely Man dibuka dengan sesosok manusia berjalan tertatih menembus subuh Jakarta, melewati petak-petak apartemen kumuh, aspal-aspal kasar, lapangan umum yang kusam. Kamera mengikuti sosok pria berpakaian seronok ini yang berdarah-darah, kembali ke sarangnya yang durjana, gelap, suram, dan dalam keran shower kamar mandinya yang seperti menangisi kepulangannya, sang pria menatap kosong, seakan meratap ke langit-langit yang sempit. Ya, inilah awal perkenalan kita dengan Pak Syaiful (Donny Damara), yang kalau malam dipanggil Ipuy. Opening titel film ini tidaklah istimewa, jika tidak bisa dibilang tidak begitu baik. Mirip FTV. Akan tetapi perhatian akan langsung terseret pada langkah-langkah gontai Ipuy ini, dengan dihantui sepatah dua patah dentingan musik latar yang kasar, diimbuhi suara-suara latar yang mengganggu. Ya, sepuluh menit pertama film ini sudah dapat memperkenalkan bagaimana film ini akan membawa penontonnya sepanjang pertunjukan. Kamera yang hand-held dan verite, warna-warna kusam yang mencolok, berpendarnya warna Jakarta, dan suara-suara latar yang akan kita temui di bagian terkumuh Jakarta.



Di tempat lain, seorang gadis berkerudung dalam perjalanan kereta ekonomi menuju Jakarta. Cahaya (Raihannun), seorang gadis pesantren yang alim dan rajin sembahyang, dalam perjalanan mencari ayahnya, yang telah menghilang selama 15 tahun lebih, meskipun selama itu pula tidak putus mengirimkan nafkah batin dari Jakarta. Bukan hal yang sulit, dengan alamat di tangan, untuk mencari tempat tinggal ayahnya, meskipun kemudian segala harapan dan ekspektasi Cahaya runtuh seketika ketika bertemu dengan sang ayah dalam kondisi yang tak pernah dia bayangkan sampai mati juga: berdandan dan bergincu tebal, berbaju seksi merah menyala lengkap dengan stockingnya, serta memamerkan paha dan celana dalamnya kepada setiap pengendara di pinggir jalan. Ayahnya adalah seorang waria. Dan disinilah segala cerita dimulai.

Cerita yang disodorkan Teddy bukanlah sebuah kisah yang bombastis dan 'menggugah iman'. Bukan pula kisah yang 'idealistis dan pro femininitas' seperti pola sutradara-sutradara seangkatannya yang kini sudah sukses. Dengan modal yang sama, Teddy menggali sesuatu yang sederhana, kontradiksi-kontradiksi dalam kehidupan, serta bagaimana hal tersebut dapat berpadu harmonis dalam sebuah kota bernama Jakarta. Bukan fakta yang indah bahwa ternyata biaya pesantren bertahun-tahun Cahaya ternyata berasal dari burung lelaki-lelaki yang dihisap ayahnya. Cahaya sendiri, dibalik segala kealiman dan ketaatannya pada agama pun memiliki rahasia tersendiri, yang begitu mudahnya dipahami sang ayah. Kontradiksi-kontradiksi pinggiran ini saja tidak cukup karena sudah banyak film2 serupa yang menggali kekumuhan Jakarta, tapi tampil preachy. Di sinilah Teddy membalut kisah ini dengan dialog-dialog yang tidak luar biasa, tapi begitu wajar dan menarik. Dialog antara anak dan ayah sembari menyusuri dini hari Jakarta menjadi porsi utama dalam film ini, hampir mengingatkan pada Before Sunrise-nya Linklater yang serupa menggelitik dialognya. Tetapi, dengan bekal karakter yang lebih dalam dan kuat, Teddy memiliki ruang lebih jauh dalam mempermainkan dialog tersebut. Meskipun demikian bukan berarti skenarionya tanpa cela. Seperti layaknya film Indonesia, dialog Lovely Man hampir terperosok pada bahasa-bahasa klise pada pertengahan akhir cerita, ketika nasihat-nasihat baik mulai bertebaran, meskipun tidak sampai mengganggu mood yang sudah terbangun.


Di sisi lain, kuatnya skenario ini didukung oleh kuatnya adu akting kedua pemerannya, Raihannun dan Donny Damara. Yang satu bekas bintang remaja, yang satu bekas pemain sinetron. Tapi, di film ini mereka seakan menjadi orang lain, yang penonton hanya mau mengenal mereka sebagai Cahaya yang manis dan Ipuy yang lovely. Salah satu adu kekuatan akting mereka yang paling kuat bisa dilihat pada adegan ketika pertama kali bertemu. Saking seriusnya akting mereka dalam adegan itu, sampai-sampai Donny sempat disamperi warga sekitar karena dikira mau ngapa-ngapain gadis alim itu. Kesungguhan Donny dalam menyelami Ipuy begitu kuat, ditambah wajahnya yang agak metroseksual. Keberanian Donny ini menjadi pameran akting sepanjang film. Saya jadi ingat Tony Leung di Happy Together yang juga beradegan cukup berani di awal film. Mungkin, satu-satunya hal yang mengganggu dari Ipuy adalah bahwa lengannya begitu kekar. Walau bukannya tidak ada waria berotot, nampaknya jika Ipuy lebih kurus, maka dia akan tampak jauh 'lebih cantik'. Cahaya, eh, Raihannun sendiri juga berhasil menjadi Cahaya yang masih bingung dengan masa depannya, tetapi cukup berani untuk menerima fakta paling aneh tentang ayahnya. Hanya saja, terkadang -sangat terkadang-, logat modern kelas atas Raihannun sempat nyempil, terutama ketika beberapa patah naskah memang terdengar agak kota, ketimbang desa maupun pesantren.

Dan departemen yang juga sangat kuat adalah sinematografi, art, dan sound editing. Ketiganya saling mendukung untuk membentuk imaji Jakarta yang dingin, rapuh, dan begitu 'sunyi'. Gambar-gambar dengan latar berpendar, over blur, grain yang kasar, dan pergerakan hand-held yang begitu aksidental, mengikuti secara tergopoh dan terkaget-kaget berbagai peristiwa yang dialami dua insan ini. Gaya-gaya ini sebenarnya sudah muncul beberapa tahun belakangan ini terutama dari kalangan filmmaker indie yang hanya berbekal kamera DSLR yang merekam dunia urban yang tak tersentuh film-film konvensional. Dan untuk Indonesia, Teddy-lah yang berhasil mengaplikasikannya pertama kali di layar lebar (dan dia MEMANG menggunakan DSLR-Canon 7D- untuk film ini, ketahuan dari sekali adegan bocor yang memperlihatkan bayangan kamera). Gaya perekaman ini membuat film ini menjadi begitu low-profile, dan dengan mudah mengintimkan penonton dengan karakter dan dunia mereka yang kelam. Meskipun agak kasar (dan mengingatkan pada film-filmnya Aria Kusumadewa) di adegan pembukanya, tetapi dengan baik sound editing film ini juga menemani departemen visual dalam merangkum suasana Jakarta dini hari. Dan ini masih ditambah musik yang nggak klise, dan dengan rendah hati memberikan bagian-bagian terbaiknya pada komposisi Claire de Lune-nya Debussy, yang sangat sweet, dark, dan dreamy, seakan menggambarkan sebagaimana lovely-nya Ipuy dan dunianya.

Buat saya sendiri, menonton Lovely Man adalah sebuah pengalaman baru yang susah dicari penggantinya. Meskipun demikian, tapi tidak begitu nampaknya bagi para penonton Indonesia. Ketika saya pergi memesan tiket satu jam sebelum pertunjukan dimulai, baru tiga orang yang sudah membeli tiket untuk Lovely Man. Bahkan ketika pertunjukan dimulai, jumlah penonton yang hadir di studio tempat saya menonton bisa dihitung dengan jari satu manusia. Hal ini tidak bisa ditampik, terutama karena faktor promosi yang sangat kurang dari film ini, yang seakan hanya bertumpu pada kabar awang-awang tentang kemenangannya di berbagai festival film internasional. Hal yang sama sedikit banyak juga dialami Modus Anomali, meskipun Modus lebih tinggi animonya karena adegan Ibu hamil yang kontroversial itu. Di sini, mestinya film Indonesia bisa belajar mengelola promosi filmnya, terutama karena Lovely Man sebenarnya memiliki wild card  yang jarang dimiliki film-film Indonesia lainnya-penghargaan internasional. The Raid bisa menjadi contoh yang baik. Produksi Evans sebelumnya, Merantau, hampir mirip Lovely Man. Berhasil di festival tapi gagal di pasaran. Kemudian, Evans memperbaikinya dengan mem-boost promosi The Raid melalui pemberitaan-pemberitaan viral yang heboh di berbagai media sosial di internet. Sedangkan di sisi lain, justru Lovely Man mendapat viral negatif setelah dihentikan pemutarannya oleh FPI dalam Q! Film Festival 2011. Padahal menurut saya, dari sinilah sebenarnya muncul satu lagi wajah perfilman Indonesia yang lebih realistis, dan lebih indah tanpa pemaksaan-pemaksaan yang tidak perlu. Sayangnya, penonton-penonton Indonesia sendiri nampaknya masih belum siap dan lebih menjejalkan pilihannya pada pseudo-cinema semacam Nenek Gayung atau Kakek Cangkul..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar