resensi oleh Maulvi
Meski agak sangat terlambat, tapi rasa-rasanya harus juga
saya me-review film satu ini, soalnya masak saya mereview The Raid dan Tanda
Tanya sedangkan Lovely Man menurut saya lebih baik daripada kedua film ini?
Jadi biarpun udah telat hampir setahun mungkin setelah film ini dirilis di Hong
Kong, tetaplah akan kita review lagi film ini.
Baiklah, Lovely Man adalah satu karya dari Teddy
Soeriaatmadja, sutradara yang dari jaman pertama muncul selalu idealis dan suka
bereksplorasi secara sinematika, berbeda dengan kebanyakan sutradara Indonesia
era baru lainnya yang lebih sering berkutat di penceritaan dan tema.
Karya-karya sebelumnya konsisten: selalu
aneh, dalam artian selalu membawa suatu hal yang baru. Banyu Biru, jelas aneh
dengan segala awkwardness-nya. Rumah Maida memulai genre baru film yang
mengeksplorasi gaya tempoe doeloe dengan soundtrack yang sangat kuat dan
sekarang bisa dilihat 'terusan'-nya dalam Soegija-nya Garin. Ruang yang jelas
memang senang bermain-main dengan gaya yang vintage. Hingga Badai Pasti Berlalu
dan Namaku Dick yang.. anehnya biasa aja. Tapi dalam Lovely Man, Teddy
benar-benar membawa suatu hal baru yang saya kira belum pernah saya benar-benar
temukan dalam film Indonesia, meskipun style ini terkadang muncul dalam
style-nya Garin dan Riri era awal.
Lovely Man dibuka dengan sesosok manusia berjalan tertatih
menembus subuh Jakarta, melewati petak-petak apartemen kumuh, aspal-aspal
kasar, lapangan umum yang kusam. Kamera mengikuti sosok pria berpakaian seronok
ini yang berdarah-darah, kembali ke sarangnya yang durjana, gelap, suram, dan
dalam keran shower kamar mandinya yang seperti menangisi kepulangannya, sang
pria menatap kosong, seakan meratap ke langit-langit yang sempit. Ya, inilah
awal perkenalan kita dengan Pak Syaiful (Donny Damara), yang kalau malam
dipanggil Ipuy. Opening titel film ini tidaklah istimewa, jika tidak bisa
dibilang tidak begitu baik. Mirip FTV. Akan tetapi perhatian akan langsung
terseret pada langkah-langkah gontai Ipuy ini, dengan dihantui sepatah dua
patah dentingan musik latar yang kasar, diimbuhi suara-suara latar yang
mengganggu. Ya, sepuluh menit pertama film ini sudah dapat memperkenalkan
bagaimana film ini akan membawa penontonnya sepanjang pertunjukan. Kamera yang
hand-held dan verite, warna-warna kusam yang mencolok, berpendarnya warna
Jakarta, dan suara-suara latar yang akan kita temui di bagian terkumuh Jakarta.
Di
tempat lain, seorang gadis berkerudung dalam perjalanan kereta ekonomi menuju
Jakarta. Cahaya (Raihannun), seorang gadis pesantren yang alim dan rajin
sembahyang, dalam perjalanan mencari ayahnya, yang telah menghilang selama 15
tahun lebih, meskipun selama itu pula tidak putus mengirimkan nafkah batin dari
Jakarta. Bukan hal yang sulit, dengan alamat di tangan, untuk mencari tempat
tinggal ayahnya, meskipun kemudian segala harapan dan ekspektasi Cahaya runtuh
seketika ketika bertemu dengan sang ayah dalam kondisi yang tak pernah dia
bayangkan sampai mati juga: berdandan dan bergincu tebal, berbaju seksi merah
menyala lengkap dengan stockingnya, serta memamerkan paha dan celana dalamnya
kepada setiap pengendara di pinggir jalan. Ayahnya adalah seorang waria. Dan
disinilah segala cerita dimulai.
Cerita
yang disodorkan Teddy bukanlah sebuah kisah yang bombastis dan 'menggugah
iman'. Bukan pula kisah yang 'idealistis dan pro femininitas' seperti pola
sutradara-sutradara seangkatannya yang kini sudah sukses. Dengan modal yang
sama, Teddy menggali sesuatu yang sederhana, kontradiksi-kontradiksi dalam
kehidupan, serta bagaimana hal tersebut dapat berpadu harmonis dalam sebuah
kota bernama Jakarta. Bukan fakta yang indah bahwa ternyata biaya pesantren
bertahun-tahun Cahaya ternyata berasal dari burung lelaki-lelaki yang dihisap
ayahnya. Cahaya sendiri, dibalik segala kealiman dan ketaatannya pada agama pun
memiliki rahasia tersendiri, yang begitu mudahnya dipahami sang ayah.
Kontradiksi-kontradiksi pinggiran ini saja tidak cukup karena sudah banyak
film2 serupa yang menggali kekumuhan Jakarta, tapi tampil preachy. Di sinilah
Teddy membalut kisah ini dengan dialog-dialog yang tidak luar biasa, tapi
begitu wajar dan menarik. Dialog antara anak dan ayah sembari menyusuri dini
hari Jakarta menjadi porsi utama dalam film ini, hampir mengingatkan pada
Before Sunrise-nya Linklater yang serupa menggelitik dialognya. Tetapi, dengan
bekal karakter yang lebih dalam dan kuat, Teddy memiliki ruang lebih jauh dalam
mempermainkan dialog tersebut. Meskipun demikian bukan berarti skenarionya
tanpa cela. Seperti layaknya film Indonesia, dialog Lovely Man hampir
terperosok pada bahasa-bahasa klise pada pertengahan akhir cerita, ketika
nasihat-nasihat baik mulai bertebaran, meskipun tidak sampai mengganggu mood
yang sudah terbangun.
Di sisi lain, kuatnya skenario ini didukung oleh kuatnya adu
akting kedua pemerannya, Raihannun dan Donny Damara. Yang satu bekas bintang
remaja, yang satu bekas pemain sinetron. Tapi, di film ini mereka seakan
menjadi orang lain, yang penonton hanya mau mengenal mereka sebagai Cahaya yang
manis dan Ipuy yang lovely. Salah satu adu kekuatan akting mereka yang paling
kuat bisa dilihat pada adegan ketika pertama kali bertemu. Saking seriusnya
akting mereka dalam adegan itu, sampai-sampai Donny sempat disamperi warga
sekitar karena dikira mau ngapa-ngapain gadis alim itu. Kesungguhan Donny dalam
menyelami Ipuy begitu kuat, ditambah wajahnya yang agak metroseksual.
Keberanian Donny ini menjadi pameran akting sepanjang film. Saya jadi ingat
Tony Leung di Happy Together yang juga beradegan cukup berani di awal film.
Mungkin, satu-satunya hal yang mengganggu dari Ipuy adalah bahwa lengannya begitu
kekar. Walau bukannya tidak ada waria berotot, nampaknya jika Ipuy lebih kurus,
maka dia akan tampak jauh 'lebih cantik'. Cahaya, eh, Raihannun sendiri juga
berhasil menjadi Cahaya yang masih bingung dengan masa depannya, tetapi cukup
berani untuk menerima fakta paling aneh tentang ayahnya. Hanya saja, terkadang
-sangat terkadang-, logat modern kelas atas Raihannun sempat nyempil, terutama
ketika beberapa patah naskah memang terdengar agak kota, ketimbang desa maupun
pesantren.
Dan departemen yang juga sangat kuat adalah sinematografi,
art, dan sound editing. Ketiganya saling mendukung untuk membentuk imaji
Jakarta yang dingin, rapuh, dan begitu 'sunyi'. Gambar-gambar dengan latar
berpendar, over blur, grain yang kasar, dan pergerakan hand-held yang begitu
aksidental, mengikuti secara tergopoh dan terkaget-kaget berbagai peristiwa
yang dialami dua insan ini. Gaya-gaya ini sebenarnya sudah muncul beberapa
tahun belakangan ini terutama dari kalangan filmmaker indie yang hanya berbekal
kamera DSLR yang merekam dunia urban yang tak tersentuh film-film konvensional.
Dan untuk Indonesia, Teddy-lah yang berhasil mengaplikasikannya pertama kali di
layar lebar (dan dia MEMANG menggunakan DSLR-Canon 7D- untuk film ini, ketahuan
dari sekali adegan bocor yang memperlihatkan bayangan kamera). Gaya perekaman
ini membuat film ini menjadi begitu low-profile, dan dengan mudah mengintimkan
penonton dengan karakter dan dunia mereka yang kelam. Meskipun agak kasar (dan
mengingatkan pada film-filmnya Aria Kusumadewa) di adegan pembukanya, tetapi
dengan baik sound editing film ini juga menemani departemen visual dalam
merangkum suasana Jakarta dini hari. Dan ini masih ditambah musik yang nggak
klise, dan dengan rendah hati memberikan bagian-bagian terbaiknya pada
komposisi Claire de Lune-nya Debussy, yang sangat sweet, dark, dan dreamy,
seakan menggambarkan sebagaimana lovely-nya Ipuy dan dunianya.
Buat saya sendiri, menonton Lovely Man adalah sebuah
pengalaman baru yang susah dicari penggantinya. Meskipun demikian, tapi tidak
begitu nampaknya bagi para penonton Indonesia. Ketika saya pergi memesan tiket
satu jam sebelum pertunjukan dimulai, baru tiga orang yang sudah membeli tiket
untuk Lovely Man. Bahkan ketika pertunjukan dimulai, jumlah penonton yang hadir
di studio tempat saya menonton bisa dihitung dengan jari satu manusia. Hal ini
tidak bisa ditampik, terutama karena faktor promosi yang sangat kurang dari
film ini, yang seakan hanya bertumpu pada kabar awang-awang tentang
kemenangannya di berbagai festival film internasional. Hal yang sama sedikit
banyak juga dialami Modus Anomali, meskipun Modus lebih tinggi animonya karena
adegan Ibu hamil yang kontroversial itu. Di sini, mestinya film Indonesia bisa
belajar mengelola promosi filmnya, terutama karena Lovely Man sebenarnya
memiliki wild card yang jarang dimiliki
film-film Indonesia lainnya-penghargaan internasional. The Raid bisa menjadi
contoh yang baik. Produksi Evans sebelumnya, Merantau, hampir mirip Lovely Man.
Berhasil di festival tapi gagal di pasaran. Kemudian, Evans memperbaikinya
dengan mem-boost promosi The Raid melalui pemberitaan-pemberitaan viral yang
heboh di berbagai media sosial di internet. Sedangkan di sisi lain, justru
Lovely Man mendapat viral negatif setelah dihentikan pemutarannya oleh FPI
dalam Q! Film Festival 2011. Padahal menurut saya, dari sinilah sebenarnya
muncul satu lagi wajah perfilman Indonesia yang lebih realistis, dan lebih
indah tanpa pemaksaan-pemaksaan yang tidak perlu. Sayangnya, penonton-penonton
Indonesia sendiri nampaknya masih belum siap dan lebih menjejalkan pilihannya
pada pseudo-cinema semacam Nenek Gayung atau Kakek Cangkul..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar