Namanya
juga kelompok belajar film, maka kita harus rajin-rajin mengambil hikmah dari
kejadian-kejadian lampau untuk kemudian dapat belajar dengan lebih optimal
dalam bidang ini. Sebenarnya, Reverie dan BTS bisa dikatakan bagi penulis,
belum sesuai dengan ekspektasi/ impian dalam PTS, tapi tentu saja karena ini
proses, maka kita harus pelan-pelan. Nah, dari sinilah, kami akan rilis
beberapa pelajaran yang dapat diambil dari pembuatan Reverie dan BTS:
1.
Membuat cerita yang baik dan benar. Cerita adalah satu bentuk penyampaian ide
dan gagasan, jadi pada dasarnya, cerita bisa dikatakan baik ketika penonton
mampu mendapatkan ide dan gagasan yang ingin disampaikan. Itu, baru cerita yang
benar. Tapi, bagaimana dengan cerita yang baik? Cerita yang baik tentu saja,
cerita yang baik. Ehm, maksudnya, cerita tersebut dapat memberi efek yang
menghibur (dalam artian luas) bagi penontonnya, artinya dapat memberi 'sesuatu'
bagi penontonnya. Kalo film horor misalnya, penonton jadi takut, ato kalo film
thriller misalnya, penonton jadi ketar-ketir.
Pada
dasarnya, dengan bentuk media yang spesifik, di mana film lebih fokus pada
media suara dan gerak, maka bagaimana menghantarkan sebuah cerita dengan
efektif dan membuat cerita yang baik yang ideal untuk difilmkan menjadi sebuah
tantangan tersendiri. Film berhubungan dengan durasi. Kalo film pendek, maka
durasinya kurang lebih 5 - 10 menit, dan idealnya ceritanya adalah tipikal
cerita pendek/cerpen. Seperti yang ditulis Lalik di blognya, Bram The Stalker
terasa agak aneh ditonton karena 'tidak memberikan waktu untuk menghela nafas
bagi tokohnya'. Inilah yang dimaksud. Kalo ceritanya panjang, tapi dalam satu
durasi yang pendek, maka penonton tidak akan punya waktu untuk meresapi tiap
adegan. Walau demikian, sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk membuat satu
cerita yang lengkap dalam satu film pendek, seperti dalam film pendek 'The
Sign', dan itu juga bisa menjadi bahan belajar juga, gimana cara membuat naskah
menjadi lebih efektif dan enak dinikmati.
2.
Waktu. Waktu adalah hal yang sangat krusial bagi setiap pemula. Apalagi dalam
sebuah produksi di tengah kesibukan kuliah, maka memang seharusnya pengaturan
waktu jadi satu departemen yang penting. Apalagi dalam sebuah produksi dengan
jumlah scene yang besar, maka, penggunaan waktu semakin harus benar-benar
jelas.
Sejauh
ini, di PTSF sendiri division of labour yang ada masih blur sehingga
seringkali, para kru yang terlibat dalam produksi hanya berkutat pada masalah
teknis pembuatan. Padahal, kru yang berfungsi sebagai manajer yang tidak harus
berhubungan dengan tetek bengek teknis sinematografi juga memiliki fungsi
penting, seperti kepengurusan izin, pengaturan jadwal dan waktu syuting, dan
lain sebagainya. Fungsi manajerial inilah yang saat ini masih sangat jarang,
meskipun sudah mulai dibentuk. Keberadaan manajer akan mempermudah pengaturan
waktu yang terutama bagi teman-teman PTSF sangat sedikit, karena terbatas
pekerjaan dan kuliah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar