18/05/12

Belajar dari Reverie dan Bram The Stalker

Namanya juga kelompok belajar film, maka kita harus rajin-rajin mengambil hikmah dari kejadian-kejadian lampau untuk kemudian dapat belajar dengan lebih optimal dalam bidang ini. Sebenarnya, Reverie dan BTS bisa dikatakan bagi penulis, belum sesuai dengan ekspektasi/ impian dalam PTS, tapi tentu saja karena ini proses, maka kita harus pelan-pelan. Nah, dari sinilah, kami akan rilis beberapa pelajaran yang dapat diambil dari pembuatan Reverie dan BTS:

1. Membuat cerita yang baik dan benar. Cerita adalah satu bentuk penyampaian ide dan gagasan, jadi pada dasarnya, cerita bisa dikatakan baik ketika penonton mampu mendapatkan ide dan gagasan yang ingin disampaikan. Itu, baru cerita yang benar. Tapi, bagaimana dengan cerita yang baik? Cerita yang baik tentu saja, cerita yang baik. Ehm, maksudnya, cerita tersebut dapat memberi efek yang menghibur (dalam artian luas) bagi penontonnya, artinya dapat memberi 'sesuatu' bagi penontonnya. Kalo film horor misalnya, penonton jadi takut, ato kalo film thriller misalnya, penonton jadi ketar-ketir.

Pada dasarnya, dengan bentuk media yang spesifik, di mana film lebih fokus pada media suara dan gerak, maka bagaimana menghantarkan sebuah cerita dengan efektif dan membuat cerita yang baik yang ideal untuk difilmkan menjadi sebuah tantangan tersendiri. Film berhubungan dengan durasi. Kalo film pendek, maka durasinya kurang lebih 5 - 10 menit, dan idealnya ceritanya adalah tipikal cerita pendek/cerpen. Seperti yang ditulis Lalik di blognya, Bram The Stalker terasa agak aneh ditonton karena 'tidak memberikan waktu untuk menghela nafas bagi tokohnya'. Inilah yang dimaksud. Kalo ceritanya panjang, tapi dalam satu durasi yang pendek, maka penonton tidak akan punya waktu untuk meresapi tiap adegan. Walau demikian, sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk membuat satu cerita yang lengkap dalam satu film pendek, seperti dalam film pendek 'The Sign', dan itu juga bisa menjadi bahan belajar juga, gimana cara membuat naskah menjadi lebih efektif dan enak dinikmati.

2. Waktu. Waktu adalah hal yang sangat krusial bagi setiap pemula. Apalagi dalam sebuah produksi di tengah kesibukan kuliah, maka memang seharusnya pengaturan waktu jadi satu departemen yang penting. Apalagi dalam sebuah produksi dengan jumlah scene yang besar, maka, penggunaan waktu semakin harus benar-benar jelas.

Sejauh ini, di PTSF sendiri division of labour yang ada masih blur sehingga seringkali, para kru yang terlibat dalam produksi hanya berkutat pada masalah teknis pembuatan. Padahal, kru yang berfungsi sebagai manajer yang tidak harus berhubungan dengan tetek bengek teknis sinematografi juga memiliki fungsi penting, seperti kepengurusan izin, pengaturan jadwal dan waktu syuting, dan lain sebagainya. Fungsi manajerial inilah yang saat ini masih sangat jarang, meskipun sudah mulai dibentuk. Keberadaan manajer akan mempermudah pengaturan waktu yang terutama bagi teman-teman PTSF sangat sedikit, karena terbatas pekerjaan dan kuliah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar