resensi
oleh Maulvi
Statement penulis : saya tidak akan membandingkan film ini dengan The Raid.
Bahkan
sejak beberapa bulan sebelum diputar, Java Heat sudah menjadi perbincangan
khalayak. Tentunya, yang menjadi bahasan utama adalah hadirnya Mickey Rourke
yang notabene adalah aktor Hollywood untuk bermain dalam film yang
bersettingkan Jogja dan Jawa Tengah ini. Kehadiran kedua aktor tersebut
seakan-akan menggambarkan bahwa Java Heat adalah sebuah film berkaliber
Hollywood. Benarkah?
Java
Heat adalah sebuah film yang ditulis, diproduseri, dan disutradarai oleh Connor
Allyn, orang yang sama yang juga membawa trilogi Merah Putih. Setelah Hati
Merdeka menutup trilogi ini pada tahun 2011, Allyn mengerjakan Java Heat yang
lebih ambisius: Tidak hanya film aksi yang dipenuhi tembakan dan
ledakan-ledakan bombastis, namun kali ini diperankan oleh pemeran asli
Hollywood, Mickey Rourke dan Kellan Lutz.
Java
Heat dimulai dengan interogasi seorang Jake, (Kellan Lutz) akademisi bule yang
selamat dari aksi serangan bom bunuh diri teroris dalam semacam acara resepsi
semacam Kraton Kesultanan Jawa yang menewaskan seorang Sultana, (Istri Sultan?
Diperankan oleh Atiqah Hasiholan). Hash(Hasyim, diperankan Ario Bayu), anggota
Densus 88 yang menginterogasi Jake mencurigai bahwa ada kejanggalan di balik
serangan bom ini. Hash sendiri juga menyimpan kecurigaan tersendiri pada Jake
yang dianggapnya bukan benar-benar seorang akademisi. Dari interogasi ini
kemudian diketahui bahwa Sultana tidak tewas. Lantas, ke manakah Sultana?
Di
tempat lain, sang pemimpin teroris yang bersurban dan bergamis, Achmed (Mike
Lucock), melaporkan keberhasilan operasinya kepada seorang bule bernama Malik
(Mickey Rourke). Si Malik ini, digambarkan sebagai seorang bule yang cakap
mengucap salam, tapi di sisi lain suka menaruh penari-penari Jawa yang berpose
terus-menerus di kamarnya yang gelap, bersama dengan anak-anak lelaki yang
kancing bajunya tidak dipasang. Artinya apa? Silahkan artikan sendiri. Mereka
berdua inilah yang berada di balik serangan bom bunuh diri di resepsi Kraton
itu.
Tidak
butuh waktu lama bagi Hash yang letnan Densus 88 untuk membuka kedok Jake yang
rupanya adalah Travers, seorang marinir AS (US Navy, Yeah!) yang sebenarnya
juga sedang mengejar Malik. Mulai dari sinilah, Hash feat. Jake a.k.a Travers
kemudian bekerja sama untuk membongkar jaringan terorisme Malik ini, dan
menemukan Sultana. Di sisi lain, Malik juga ternyata memiliki agenda tersendiri
dalam aksi terornya, terutama berkaitan dengan Kraton Jawa.
Semenjak
awal cerita, Java Heat memang konsisten dengan judulnya (tidak seperti
kebanyakan film tahun 2012 yang salah judul). Film berdurasi 103 menit ini
sedari awal sudah mengeksploitasi Jawa sebagai sebuah langgam lanskap nan
eksotis. Matahari senja dengan siluet candi Prambanan yang membuka film ini
mengingatkan pada iklan Visit Indonesia 1993 Garuda Indonesia. Unsur ini
demikian dominan sepanjang cerita. Kita bisa temukan di banyak adegan, terutama
melalui sosok Malik yang rasa-rasanya orientalis, Jawa yang digambarkan dengan
gadis penari yang selalu bergaya, wayang kulit, wedhang ronde, rumah-rumah
berpintu ukir, andong, dan berbagai hal lain yang biasa kita temukan di kartu
pos pariwisata.
Tidak
hanya itu saja bahkan eksploitasi berlandas pariwisata ini juga muncul dalam
dialog dan adegan yang sangat terkesan turisme sekali, dari pembahasan soal
batik, pencak silat, istilah bule, penyebutan ‘mas’, hingga
belakang-belakangnya jatuhnya juga ke nasi goreng, ‘This is Nasi Goreng. Fried
Rice. Good for you..’ (hail Obama!). Banyak adegan yang dengan naifnya
menggunakan lokasi wisata, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Taman
Sari, hingga Makam Kota Gedhe. Bagaikan setiap penonton film ini adalah turis
bule yang datang bertamu dan berharap menikmati eksotisme jawa.
Sayangnya,
kemudian Java Heat jatuh dalam kubangan turisme tersebut, yang dengan penuh
gelora ingin memperkenalkan Indonesia ke mata dunia. Sebenarnya masuk akal
ketika perkenalan ini banyak terjadi melalui Jake yang memang buta Indonesia.
Akan tetapi intensitas yang berlebihan membuat ‘promosi budaya’ ini terasa
terlalu mencolok.
Kubangan
ekploitasi Jawa dengan perspektif turis bule ini kemudian mencapai titik
terfatalnya ketika Allyn mencoba menggambarkan sebuah Kraton Jawa. Dengan
penggunaan setting kota Jogja yang sangat eksesif, penyebutan Sri Sultan The
Tenth sebagai pemimpin, mestinya penonton lokal sudah bisa menebak yang
dimaksud Allyn sebagai ‘kraton jawa’ ini adalah Kraton Yogyakarta Hadiningrat.
Tapi, bertolak dari konsep yang fiksi, Allyn mencoba lebih jauh mengembangkan
konsep Kraton ini. Bahwa sang Sultana dari kraton ini digambarkan bagaikan Lady
Di-nya Indonesia. Tunggu. Sebenarnya siapakah Sultana yang dimaksud?
Menurut Wikipedia, Sultana bisa berarti istri
Sultan, atau Sultan perempuan. Tapi film ini menjelaskan Sultana sebagai putri
Sultan. Jadi mana yang benar? Ok, bahkan walaupun Sultana ini memang putri
Sultan, warga Jogja tidak pernah sekalipun memanggilnya sebagai ‘Sultana’.
Pemilihan sebutan Sultana ini terasa remeh, tetapi cukup menjelaskan mentalitas
turis bule yang berasa bisa men-simpel-kan segala-galanya dan memanggil
siapapun sesuai keinginannya.
Selanjutnya,
hal yang masih belum bisa saya tangkap adalah Sang Sultan. Dengan Sultana yang
digambarkan sebagai Lady Di-nya Indonesia, maka sang Sultan sendiri tentunya
punya kewibawaan lebih tinggi di mata masyarakatnya. Dan kewibawaan ini
digambarkan oleh Sultan yang dimainkan oleh... Rudi Wowor. Wow, tidak bisa
dipercaya bahwa bukan hanya jagoan dan penjahatnya yang bule, tapi sultannya
juga Bule!
Stereotiping
gaya koboi ini juga hadir dalam penggambaran terorisme. Pokoknya, buat para
orang bule ini, pelaku teror ini adalah orang Islam yang taat agama, berwajah
bengis dengan jambang, menenteng AK, memakai baju takwa dan peci ke mana-mana,
bahkan ketika pergi ke diskotek. Perilaku tidak mau repot riset ini menimbulkan
disrespek yang akut, terutama akan muncul dari masyarakat Islam. Di sisi lain,
selain penggambaran klise di atas, digambarkan pula sosok Malik, seorang yang
dihormati para teroris ini, dengan nama Arab dan fasihnya salam dan
basmalahnya, akan tetapi di saat yang sama suka menyimpan anak-anak kecil di
dalam kamarnya. Bisa jadi di satu sisi Allyn sedang mencoba menciptakan
karakter yang WTF, tapi di sisi lain, dia seharusnya sadar dia sedang
berhadapan dengan masyarakat yang bisa main tembak sendiri 17 orang
beramai-ramai pada pagi buta (Ya, tidak kalah WTF-nya).
Rangkaian
bangunan deksripsi mengenai Kraton Jawa dan Islam yang terlalu luar biasa ini
kemudian justru membuat lembaga ini menjadi tidak meyakinkan. Sulit (bagi
setidaknya penonton lokal) untuk percaya bahwa film ini memang bercerita
tentang Yogyakarta, Kraton Jogja, dan jaringan terorisme lokal aktual. Inilah
yang sedikit banyak sangat mengganggu pikiran sepanjang film ini berjalan. Hal
ini sebenarnya patut disayangkan, karena sebenarnya Java Heat menyimpan banyak
potensi sebagai film yang baik.
Kebaikan
pertama : Plot. Bukan suatu hal yang bagus-bagus amat, tapi Allyn menunjukkan
perkembangan yang baik selepas trilogi Hati Merdeka. Kemauannya mengeksplorasi
tema terorisme (walaupun stereotyping) dan mengangkat latar eksotisme Jawa
(walaupun klise) menunjukkan kejelian Allyn terhadap isu kontemporer dan minat
pasar. Sayangnya, pendekatan turisme bule yang dipakai Allyn membuat film ini
begitu terbata-bata dalam ceritanya. Mungkin sebab paling utamanya adalah
penyakit terjemahan bahasa, stereotiping gaya bule, dan lemahnya riset.
Kebaikan
kedua : Setting-gambar-aksi. Perlu digaris bawahi, bahwa keberhasilan paling
besar dalam film ini adalah antara segitiga emas antara matangnya pemilihan
lokasi dan pengarahan seni Martin Williams, kuatnya konsep visual dan
sinematografi film oleh Shane Daly, serta arahan laga Nick McKinless. Di luar
penceritaan yang terkadang putus-nyambung dan bertele, indahnya lanskap urban
dan rural Jogja serta serunya aksi tegang bisa membuat penonton terus bertahan
di kursinya.
Kebaikan
ketiga : Pemain. Bisa dibilang, selain Frans Tumbuan sebagai Pak Jenderal,
setiap pemeran lokal dalam Java Heat bermain sangat optimal dan berkarakter.
Lihat saja bagaimana Rifnu Wikana sangat dingin sebagai counterpart Hasyim dari
Densus 88. Verdi Soelaiman, mungkin dalam peran stereotipikal pertamanya
sebagai Cina yang Cina juga sangat kuat. Dan yang cukup menjadi scene-stealer
meski hadir cukup singkat adalah Uli Auliani yang ‘aduhai seksinya’. Mungkin
bisa jadi faktor begitu optimalnya mereka adalah kehadiran aktor luar seperti
Lutz dan Rourke. Di sisi lain, Ario Bayu, Atiqah, dan Astri Nurdin justru
tampil biasa sekali. Dan Mike Lucock tampil menyedihkan dengan tampang galak
dan peci naifnya. Oh iya, aktris Rahayu Saraswati yang mendapat pendidikan
akting di London dan Hollywood menurut Wikipedia, juga beberapa kali jadi kameo
di film ini. Satu jadi mahasiswi UMY, satu lagi jadi pembawa berita radio.
Catatan
lain dari sisi pemeran ini adalah bahwa terjadi kebingungan logat yang luar
biasa dari pemeran lokal, berkaitan dengan penggunaan Bahasa Inggris di hampir
seluruh bagian cerita. Setiap pemeran lokal serasa berusaha berbicara bahasa
Inggris dengan baik dan benar. Hal ini menjadi tabrakan ketika justru Kellan
Lutz bermain sangat santai.
Baiklah,
sampai di akhir pembahasan. Seperti yang dibilang tadi, Java Heat pada dasarnya
adalah sebuah paket film aksi dan ledakan bombastis, yang punya niat baik untuk
membedah konstruksi terorisme di Indonesia, serta secara bersamaan
memperkenalkan Indonesia, terutama pariwisatanya kepada dunia. Akan tetapi,
bagaimana jadinya jika yang memperkenalkannya adalah turis bule juga? Mungkin
tidak jauh juga dari orang Jakarta yang mencoba memperkenalkan Jogjakarta dalam
berbagai FTV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar