resensi
oleh Maulvi
Membaca
karya-karya Upi selama satu dekade ini rasanya seperti membaca sebuah genre
spesifik. Apa yang bisa anda bayangkan akan keluar dari seseorang yang membuat
30 Hari Mencari Cinta hingga Realita, Cinta, dan Rock and Roll, Serigala
Terakhir, serta Radit dan Jani? Tentunya adalah gaya pendekatan yang khas anak
muda beserta segala keseruannya. Lantas dengan imaji satu dekade yang dibangun
oleh Upi ini, apa yang akan dibayangkan ketika dia membesut film thriller
pertamanya, Belenggu? Mungkin, satu hal inilah yang harus dipersiapkan ketika
akan menonton Belenggu. Dalam film ini, bisa jadi anda tidak akan menemukan Upi
yang selama ini anda kenal, atau mungkin kebalikannya, yang selama ini ada
kenal, mungkin bukanlah Upi yang sebenarnya.
Thriller
berdurasi 100 menit ini dibuka hampir mirip dengan Modus Anomali: Elang,
seorang pria berlari dengan kebingungan di tengah hutan di malam hari. Di
tengah kebingungannya tiba-tiba dia berada dalam sebuah mobil, dengan seorang
gadis. Bersama dengan mereka, ternyata ada dua sosok mayat di sampingnya.
Ditambah kemunculan sesosok kelinci misterius di jok depan. Apa-apaan ini?
Ternyata ini hanya mimpi, satu dari sekian banyak mimpi Elang yang begitu aneh
dan janggal. Kejanggalan-kejanggalan inilah yang kemudian menemaninya sebagai
penghuni sebuah apartemen sepi yang dingin, bertetangga dengan sebuah keluarga
yang disfungsional. Elang, selalu dihantui oleh kejadian-kejadian membingungkan
sekaligus mengerikan, yang tidak memberikan batas yang jelas antara kenyataan
dan mimpi, dimulai dari munculnya sosok perempuan bernama Jingga, konser teater
kabaret dengan penonton-penonton yang aneh, hingga sosok kelinci, yang dalam
pertemuannya, selalu berakhir dengan pembantaian keluarga tersebut. Sosok
kelinci ini mungkin bisa disamakan dengan sosok doktor bedah yang menghantui
dalam Modus Anomali. Dari kejadian-kejadian inilah, kemudian penonton diajak
menggali misteri dibalik pengalaman-pengalaman Elang. Misteri, yang bisa jadi
mengagetkan, bisa jadi tidak.
Menonton
film ini rasanya seperti mengumpulkan berbagai serpihan referensi yang rasanya
sudah familiar. Di antara serpihan-serpihan tersebut adalah Joko Anwar, David
Lynch, dan Donnie Darko. Mungkin adalah suatu ketidak beruntungan semata dari
Upi ketika Modus Anomali rilis setahun lebih cepat, padahal menurut Upi,
Belenggu sudah dipersiapkan selama 8 tahun lamanya. Tak bisa ditolak bahwa film
ini dalam banyak hal bersinggungan dengan film terakhir Joko Anwar ini, mulai
dari visual opening, tema seorang anonim yang kebingungan, hingga pola
penceritaan yang memajumundurkan plot.
Di sisi
lain, kehadiran yang tipis antara mimpi dan kenyataan yang sama-sama absurd,
termasuk kehadiran panggung teater, tentu saja melekatkan imaji David Lynch.
Upi sendiri mengakui bahwa Belenggu menjadi semacam tribut darinya untuk Lynch,
terutama dari serial Twin Peaks-nya. Tapi bisa dibilang, bahwa kadar Lynchian
dalam Belenggu begitu kebangetan. Kadar ini begitu kental dalam suasana
apartemen yang terlalu absurd, teater makabre yang menjadi kunci pandora, hingga
kemunculan lelaki bertopi koboi dengan alis pirang-yang tentu saja adalah
penjelmaan pria bertopi koboi tanpa alis dalam Mulholland Drive. Kemudian,
terakhir, kehadiran kelinci misterius yang ‘menyeramkan’ tentu saja merupakan
ingatan yang berasal dari Donnie Darko, sebuah film berjarak satu dekade
lamanya, yang juga membedah antara mimpi, kenyataan, dan konspirasi di
antaranya.
Meskipun
mungkin memiliki semacam keberlintasan keserupaan dengan serpihan-serpihan
tadi, akan tetapi bukan berarti film ini hanya bermakna pengulangan semata.
Upi, dalam identitas barunya, memberikan sebuah sajian yang menurut penulis
belum pernah diracik oleh sineas Indonesia sebelumnya, dalam sebuah kesatuan
yang padu.
Sajian
pertama adalah plot. Tidak sia-sia Upi menghabiskan 8 tahun untuk meramu
thriller ini. Ketegangan-demi-ketegangan, kebingungan-demi-kebingungan berhasil
menyeret penonton pada pencarian kembali Elang terhadap ingatan-ingatannya.
Terjemah Lynch tentang konsep kenyataan dan mimpi yang saling terproyeksikan
dipatuhi dengan baik oleh Upi, dengan berbagai referensi yang berkaitan antara
mimpi dan (nantinya) identitas Elang. Upi juga tidak risih berliar-liaran
dengan imaji. Adegan pembuka film ini, tentu mengingatkan pada adegan
lift-tsunami darah dalam The Shining-nya Kubrick. Plot yang kelihatannya tidak
ada juntrungannya ini kemudian di paruh kedua dikupas oleh Upi secara
perlahan-lahan. Inilah kiranya yang bisa preseden sangat baik, atau mungkin
sangat tidak baik. Di satu sisi, Upi menuntaskan pengupasan plot ini. Ini
adalah hal yang bisa jadi baik dan memanjakan penonton lebih luas. Akan tetapi
tuntasnya pengupasan plot ini artinya tidak ada perdebatan lagi mengenai cerita
ini, yang bisa jadi sangat mengganggu bagi penonton tipikal thriller, terutama
yang sudah dibiasakan dengan kultur Joko Anwar yang sekarep dewek melemparkan
interpretasi pada penonton. Tapi bisa jadi, inilah jelinya Upi. Dan kejelian
ini yang nantinya mungkin dapat dibuktikan dengan perolehan tiket beberapa
bulan lagi.
Sajian
kedua tentu saja adalah pagelaran akting dari Abimana Aryasatya. Dengan sangat
baik, Abimana berhasil mentransformasikan dirinya sebagai sosok Elang dalam
kebingungannya menerjemahkan kenyataan dan khayalan. Akting Abimana bisa
dibilang menjadi separuh nyawa yang bisa mengatur seenak udelnya mood film ini.
Salah satu akting Abimana yang paling memorable di paruh akhir cerita ini
mengingatkan kegilaan astronot David Bowman ketika memasuki lorong angkasa
dalam 2001: A Space Odyssey. Kalo bole berlebay-lebay-an, inilah satu karakter
yang diciptakan untuk Abimana, atau kebalikannya Abimana diciptakan untuk peran
Elang ini, hehehe. Di sisi lain, Imelda Therinne, sebagai Jingga cukup baik
dalam mengimbangi kekacauan Elang. Verdi Soelaiman, muncul sedikit, tapi
memberikan kesan yang cukup ‘mengacaukan’ dunia Elang. Yang terasa kurang dalam
barisan akting mungkin adalah Laudya Cinthia Bella sebagai Djenar, yang terasa
masih awkward dengan ambience Belenggu.
Sajian
ketiga adalah visual dan musik dalam film ini, yang masing-masing dipegang oleh
Ical Tanjung, dan Aksan Sjuman. Ical dengan sangat berhasil menerjemahkan rasa
Belenggu yang berlapis dalam sebuah sinematografi yang bervolume.
Kecanggungan-kecanggungan yang terasa seperti dalam Modus Anomali dan Kala,
misalnya, tidak ditemui dalam film ini. Secara visual, Belenggu dapat
menegaskan karakternya dengan gamblang. Di sisi lain, divisi musik juga mampu
mendukung film ini, dengan aransemen yang cukup mengejutkan dan begitu
‘menantang’ dari Aksan Sjuman. Sama dengan sisi visualnya, musik Belenggu mampu
melepaskan dirinya dari kecanggungan terhadap genre thriller film ini. Sedikit
banyak, mungkin kehadiran dan intensnya peran musik dalam Belenggun
mengingatkan pada aransemen The Silence of The Lamb yang juga menghantui. Kedua
departemen ini berhasil membuat Belenggu menjadi sebuah thriller yang utuh,
secara inderawi.
Bisa
jadi, secara teknis, Belenggu nyaris tanpa cela. Kesan artifisial yang menjadi
penyakit buruk film-film Indonesia-terutama yang berlatar antah-berantah, tidak
lagi terjumpai dalam Belenggu. Film ini berhasil menjadi karakter yang penuh
dan dewasa dalam genrenya. Satu-satunya kekecewaan teknis untuk Belenggu bisa
jadi adalah poster utama filmnya yang sangat KK Dheeraj, lengkap dengan mata
melotot dan gadis bersimbah darahnya (bisa jadi inilah satu-satunya referensi
Upi sebagai rookie dalam genre thriller ini). Mungkin banyaknya referensi Upi
terhadap Joko Anwar (secara plot) dan Lynch (secara ambience), bisa jadi
membuatnya tidak begitu segar lagi secara ide. Akan tetapi, kembali lagi dalam
posisinya di perfilman Indonesia, Belenggu telah berhasil mentransformasikan
dan membawa genre thriller naik satu tingkat lebih tinggi lagi. Setidaknya,
saya tidak merasa sia-sia menghabiskan uang untuk menonton film ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar