resensi oleh Satwika Paramasatya
Karya
sastra yang divisualisasikan umumnya menjadi impian bagi penulis manapun.
Victor Hugo hanya sedikit di antara sastrawan yang mendapatkan kemewahan
tersebut. Tidak hanya digubah dalam bentuk teater musikal, karyanya yang
terkenal yaitu Les Miserables bahkan diangkat ke layar lebar. Sesuai dengan
namanya, Les Miserables merupakan rangkuman dari berbagai kesedihan. Kesedihan
yang menjadi penghubung berbagai
karakter dalam setting Revolusi Prancis. Sebagaimana umumnya karya sastra yang
dihasilkan pada zaman itu, Les Miserables menceritakan kisah kesedihan, kali
ini berupa seorang pencuri roti yang mengalami berbagai kemalangan dalam hidup.
Tetap
setia dengan cerita aslinya, film dibuka dengan pembebasan Jean Valjean (Hugh
Jackman) pada 1815, setelah 19 tahun dipenjara karena mencuri sepotong roti
untuk memberi makan keluarganya. Setelah diberi pengampunan dosa dan kebaikan
dari seorang uskup, Valjean bersumpah untuk menemukan kembali jati dirinya. Dan
setelah melanggar pembebasan bersyarat, ia melarikan diri dari kejaran Javert
(Russell Crowe) sembari membangun kehidupan baru sebagai walikota dan pemilik
pabrik yang kaya. Beberapa tahun kemudian, seorang perempuan cantik nan malang,
Fantine (Anne Hathaway), yang bekerja di pabrik Valjean untuk membayar hutang
kepada pemilik penginapan, Thenardier (Sacha Baron Cohen) dan istrinya yang
kejam (Helena Bonham Carter) guna menghidupi putrinya, Cosette. Di sini kita
akan menyaksikan salah satu kisah paling tragis dari seorang Fantine yang
terpaksa menjual semua benda miliknya, termasuk tubuhnya.
Sementara
itu, orang-orang Prancis yang kebanyakan bekerja sebagai buruh, menjadi semakin
putus asa karena sebagian besar hidup dalam kemiskinan, sehingga menumbuhkan
ketidakpercayaan terhadap pemerintah Prancis. Valjean kemudian menjanjikan
kepada Fantine yang sekarat bahwa ia akan membesarkan Cosette seperti anaknya
sendiri, dan pertemuannya dengan pasangan Thenardier memberikan sedikit jeda
dari alur cerita yang tragis dan suram.
Film
musikal selalu menjadi jenis film yang tricky. Diperlukan ketelitian dalam
menyusun skenario dan scoring yang tepat agar alur cerita dan storytelling
menjadi harmonis. Aktor dan aktris pun dituntut untuk berakting sekaligus
bernyanyi yang tentunya membutuhkan kerja lebih keras dari biasanya.
Pemilihan
lagu dalam film musikal bak pisau bermata dua. Jika lagu yang digunakan tepat,
penonton akan terhanyut dalam aksi nyanyian para pemain, bahkan sampai luput
melihat beberapa kejanggalan atau cacat sinematografi yang mungkin ada.
Sebaliknya ketika pemilihan lagu buruk (ditambah akting dan nyanyian kurang
maksimal) akan langsung membuat penonton menghakimi film bersangkutan sebagai
karya gagal. Les Miserables arahan Tom Hooper, untungnya, termasuk kategori
pertama.
Hooper
sendiri pada dasarnya tidak mengaplikasikan imajinasinya dalam
menginterpretasikan novel Victor Hugo. Basically, ia hanya mengadopsi konsep
teater di Broadway (New York) dan West End (London) yang terlebih dulu
mengangkat Les Miserables. Pemilihan lagu pun tak jauh berbeda dari yang
disuguhkan teater-teater tersebut, meski jelas seluruh lagu telah diaransemen
ulang. Sangat disayangkan ketika Hooper sebagai sutradara kelas Oscar
(memenangkan 4 nominasi dari King’s Speech) tidak mengeksplorasi kepiawaiannya
dalam mengarahkan film yang ceritanya cukup terkenal di dunia.
Tidak
heran jika yang bisa dibanggakan dari film ini hanya scoring dan akting serta
nyanyian para pemainnya. Dari segi special effect dan sinematografi, tak ada
yang menonjol dan bisa dibahas. Angle kamera terasa membosankan karena
berkali-kali kamera di-zoom pada wajah pemain demi mengeksploitasi ekspresi
yang muncul dari penghayatan atas nyanyian. Nyanyian sepanjang waktu juga
cenderung melelahkan karena nyaris tak ada dialog sedikitpun dalam cerita.
Untungnya, pemain berhasil melakukan kombinasi akting dan bernyanyi dengan
eksepsional. Jackman dan Hathaway, yang pernah duet di acara penghargaan
Academy Awards mampu menyuguhkan penampilan memikat. Nyanyian Hathaway ketika
ia harus menjual diri demi menghidupi putrinya berhasil membuat penonton
menghabiskan berlembar-lembar tisu. Dedikasi keduanya patut diacungi jempol
karena Hathaway rela memotong rambut indahnya dan Jackman mau berpisah dari air
selama 36 jam demi mendapatkan efek kulit keriput dan mata merah yang muncul
pada adegan pembuka ketika ia masih berada di tahanan. Crowe menjelma menjadi
sosok penegak hukum yang bengis dan tanpa belas kasih mengejar buruannya. Cohen
dan Bonham Carter mengocok perut penonton melalui aksi konyol sebagai pasutri
haus harta. Seluruh performa tersebut murni berdasarkan nyanyian yang 90%
memenuhi dialog karena nyaris tak ada percakapan normal di antara mereka.
Les
Miserables versi Hooper akan menjadi adaptasi novel Victor Hugo yang terbaik,
jika dan hanya jika anda belum menonton Les Miserables versi Bille August yang
dirilis pada tahun 1998. Les Miserables versi August yang notabene tidak
musikal, justru lebih berhasil menarik keluar potensi para pemain dengan
maksimal. Adu akting antara Liam Neeson dan Geoffrey Rush sebagai Valjean dan
Javert jauh lebih menggetarkan daripada Jackman dan Crowe. Begitu pula dengan
penampilan Uma Thurman sebagai Fantine dan Claire Danes sebagai Cosette yang
lebih menyayat hati daripada Hathaway dan Seyfried. Hebatnya, mereka mampu
menerjemahkan imajinasi Victor Hugo murni melalui akting, tanpa embel-embel
nyanyian.
Pada
akhirnya, pekerjaan Hooper tetap patut diapresiasi lebih. Kegigihannya untuk
mengarahkan pemain melalui nyanyian bukan tugas mudah. Apalagi Hooper menuntut
para pemain untuk bernyanyi secara live alih-alih lipsync. Hooper menginginkan
ekspresi spontan dan improvisasi dari pemain agar terlihat natural karena
memang hanya melalui peran pemain itulah film ini bisa dinikmati. Tidak heran
ketika kemudian film ini hanya berhasil menyabet penghargaan Best Performance
by an Actor atas nama Jackman dan Best Performance by an Actress in Supporting
Role atas nama Hathaway pada ajang Golden Globe Awards, semua semata-mata
karena yang menonjol adalah akting pemain, bukan sisi teknis penggarapan film.
Terobosan yang digunakan Hooper dalam
mengarahkan pemain cukup berhasil karena pemain dibantu dengan ear-piece yang
mengalunkan nada piano sehingga mereka bisa menyelaraskan musik dan akting.
Hooper juga terbantu oleh pemain-pemain pendukung yang memang biasa mementaskan
Les Miserables di panggung teater. Performa eksepsional para pemain dalam
berakting dan bernyanyi berhasil menutupi beberapa goofs seperti tulisan
“glasses” dan “eyes” serta lemari yang muncul dan menghilang di belakang
Marius. Oleh karena itu, cukup aman untuk mengatakan bahwa Les Miserables a la
Tom Hooper berhasil memenangkan emosi penonton, namun gagal dari segi interpretasi
karya sastra yang dapat dibuktikan dari ‘keringnya’ inspirasi yang muncul dari
film ini. Bagi anda yang penasaran ingin menonton, siapkan diri anda untuk
menikmati drama yang menguras air mata dan nyanyian merdu penyayat hati, tak
lebih dan tak kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar