resensi oleh
Maulvi
Sekali
lagi Gareth Evans dan Iko Uwais hadir dalam perfilman Indonesia dengan film
blockbuster The Raid. Film ini telah menimbulkan begitu banyak rasa penasaran
melalui respons luar biasa yang diterima pada Toronto International Film
Festival 2011 dan kasak kusuk di dunia maya melalui trailer-nya di Youtube.
Ketika akhirnya film ini premier di Indonesian Fantastic Film Festival 2011 di
Jakarta, respons yang tak kalah serunya pun diperoleh, seperti yang dilaporkan
oleh Cinema Poetica. Berbekal respons meriah inilah, maka kami dengan berebut
penasaran menghadiri pemutaran spesial The Raid pada Jogja International Film
Festival, Desember 2011.
The
Raid dimulai dengan pembukaan yang jelas. Seorang rookie bergabung dalam
semacam tim SWAT yang dikirim untuk merebut sebuah gedung apartemen dari
kekuasaan gembong penjahat yang bercokol di dalamnya. Namanya Rama (Iko Uwais),
dan dia digambarkan begitu lurus, dengan latar belakang yang lurus pula. Tim
ini kemudian mencoba menguasai gedung ini lantai demi lantai, pada awalnya
melalui senjata, dan kemudian setelah para musuh bermunculan dari tiap pintu
kamar dan tiap lantai, maka serbuan ini berubah menjadi pertempuran jarak dekat
dengan senjata-senjata tajam dan tangan kosong.
Aksi
menjadi sajian utama dalam film ini. Sesaat sebelum pemutaran, Gareth Evans,
sutradara The Raid berpesan pada penonton, "Awas, film ini sangat keras
dan sangat brutal." Dan kata-katanya terbukti dengan cepat. Segera setelah
para penghuni gedung tersebut 'terbangunkan' oleh tim ini, maka aksi-aksi luar
biasa segera dimulai. Adegan laga pembuka, masih menggunakan trademark film
laga polisi standar, yaitu tembak-menembak dengan senjata semi otomatis.
Pengadeganan dalam laga 'pembuka' ini sebenarnya cukup orisinil dan
'menyenangkan'. Beberapa adegan dibangun secara begitu detail, dan benar-benar
memainkan emosi penonton. Seperti bagaimana para penyerbu ini air mukanya
berubah jadi tegang dan ketakutan ketika mereka sadar seisi gedung telah
mengetahui kehadiran mereka, dan adegan para penyerbu yang tidak sadar bahwa
dalam kegelapan tepat di atas mereka, dalam jarak tembak yang dekat sekelompok
penghuni tinggal menarik pelatuk senjata mereka untuk menghabisi pada penyerbu
ini.
Namun
sajian utama film ini tentu saja adegan laga tangan kosong yang diperagakan
sangat baik oleh Iko Uwais, dan Yayan Ruhiyan-sekaligus koreografer laga film
ini. Laga tangan kosong berlangsung dalam jarak sangat dekat, intensitas
tinggi, dan kecepatan tinggi. Dengan sangat baik film ini menggambarkan secara
detail bagaimana pukulan demi pukulan bersarang di berbagai bagian tubuh hanya
dalam hitungan sepersekian detik. Tidak ada lagi pencak silat yang secara
formal diperkenalkan dalam Merantau. Meski nyawanya masih ada, pencak silat di
sini terlihat lebih liar dan lebih brutal. Kekerasan tingkat tinggi makin
sering muncul tiap menitnya, mulai dari penggunaan parang, pecahan kayu,
hingga.... Bohlam. Imajinasi penonton dibawa sedemikian rupa sehingga
bayangan-bayangan paling brutal dari sebuah perkelahian hidup mati yang tidak
pernah terpikirkan bisa muncul. Pada bagian ini, departemen sinematografi, efek
visual, dan efek suara bekerja dengan sangat baik. Sektor efek suara juga begitu
detail mendukung setiap aksi laga film ini, dari suara sentuhan mata pisau yang
menggores lantai, suara parang yang dibentur-benturkan para musuh -yang begitu
baik membangkitkan nuansa ketegangan, hingga suara muncratan darah dan
dislokasi bahu. Tone warna dengan sangat kelam memberikan aura 'tidak
meyakinkan' yang meyakinkan bagi penonton. Efek visual cipratan darah, kilatan
tembakan beberapa kali digambarkan begitu jelas. Pergerakan kamera yang mostly
handheld begitu dinamis mengikuti kegesitan para penyerbu yang berusaha
menghindari serangan dari berbagai arah. Seisi bioskop menjadi 'brutal' juga
mengikuti aksi demi aksi yang muncul. Teriakan, umpatan, hingga tepuk tangan
riuh mewarnai setiap perkelahian 'ekstrem' yang terjadi. Dari sinilah dapat terlihat
bagaimana film ini begitu dinikmati dan berhasil membawa penonton pada sebuah
'pengalaman baru' dalam menonton film laga.
Sayangnya,
The Raid hanya berhenti sampai di sini. Nampaknya, Gareth Evans lebih cenderung
memposisikan The Raid sebagai film blockbuster 'musim panas' yang berisikan
berbagai adegan memukau dan luar biasa, dengan imajinasi laganya. Bahkan dalam
sebuah review di IMDB.com, The Raid digambarkan membuat film Black Hawk Down
dan Old Boy terasa jadi perkelahian anak kecil. Pendapat ini cukup beralasan.
Penonton yang pernah terpukau menonton adegan perkelahian lorong dengan palu di
Old Boy akan dipaksa menarik kata-katanya dengan adegan yang hampir serupa di
The Raid. Bedanya, di sini yang dipakai bukan palu, tetapi parang. Dan, semuanya
memegang parang satu-satu, serta sangat baik dalam perkelahian. Aksi laga
menjadi tema pokok dari film ini. Sedangkan hal lain di luar itu, hampir saja
begitu medioker. Inilah yang kemudian menjadi kelemahan utama film ini. Hampir
tidak ada yang spesial dalam alur penceritaannya. The Raid adalah sebuah film
dengan protagonis dan antagonis yang lurus-lurus saja dengan cerita yang
lurus-lurus saja. Memang, tetap ada twist di akhir cerita, namun setelah
menikmati gila aksi laganya, twist ini tidak terlalu signifikan.
Divisi
skenario, juga demikian. Pada awal-awal film, dialog yang ada begitu plain,
tidak begitu menonjol. Terkadang para pemain terlalu cepat berbicara atau
kurang terartikulasi, meskipun tidak menghambat penceritaan secara signifikan.
Meski demikian, setelah film ini mencapai tengah cerita, para pemain entah
mengapa menjadi lebih santai dan relaks, sehingga kemudian beberapa dialog
menjadi begitu memorable. Mad Dog (Yayan) entah bagaimana terlihat mirip Ki
Joko Bodo (meskipun rasanya tidak disengaja), tetapi auranya begitu bengis dan
groovy pada saat yang sama. Kata-katanya yang membandingkan pertarungan dengan
pistol dan tangan kosong begitu asik. " ..Nggak ada geregetnya. Kalo ini,
(sambil menunjukkan tangan) ini baru asik.." Jaka (Joe Taslim), pemimpin
penyerbuan, juga pada awalnya terlihat demam panggung, tetapi ketika sudah
dalam keadaan terdesak, ekspresi ketakutan, tegang, dan pada saat yang sama
masih harus terlibat wibawa di depan anak buahnya ikut menciptakan ketegangan.
Donny Alamsyah meskipun tidak muncul cukup banyak, juga memberikan akting yang
baik, meskipun karakternya tidak begitu berkembang. Sementara itu, Iko.. Iko
sebaiknya tetap bertarung saja. Yang memberikan tone paling gelap dalam film
ini adalah Ray Sahetapi yang memerankan Tama, Ketua segala Ketua dari penjahat
ini. Perkenalan karakter Tama berlangsung dengan begitu 'baik' (ruangan kontrol
dengan banyak TV, meja dan kursi, PALU -- ada yang merasa ingat sesuatu?).
Gayanya oke, style-nya mencurigakan. Tama tampil begitu berwibawa dan memiliki
selera yang aneh, dengan kalimat-kalimat asik, "Pelurunya habis. Tunggu
sebentar, ya? :) ..."
Gareth
Evans memang memiliki visi yang unik dalam setiap filmnya. Dalam sesi tanya
jawab, dia berkata, "Saya tidak membuat film dari apa yang ingin saya buat
secara pribadi, tetapi apa yang penonton ingin saya buat." Pemikirannya
begitu simpel, membuat apapun yang penonton yang mau buat. Hal inilah yang
kemudian berbekas begitu besar dalam karyanya. Ketimbang mengembangkan film
dengan konsep-konsep idealis, Gareth lebih mengutamakan kenikmatan terhadap
penontonnya. Dan karena penontonnya adalah penonton Indonesia, maka kenikmatan
visual di atas segala-galanya. Inilah yang kemudian akan membuat film ini
menjadi begitu penuh kelemahan, ketika membawa penilaian film ini di ranah
kritik film yang idealis. Storytelling yang begitu biasa saja, karakterisasi
yang kurang menonjol, tak ada twist yang luar biasa, dan masih banyak lagi yang
dapat ditemukan ketika memandang film ini secara lebih mendalam. The Raid
misalkan, tak akan mendapat nominasi skenario terbaik atau aktor terbaik atau
mungkin film terbaik. Dan secara teknis, apabila terus dibahas secara lebih
mendalam akan muncul lebih banyak lagi kedodorannya. Serbuan dalam ruangan
kenapa memakai senjata semi otomatis, bukan sub-machine gun (tanya teman yang
suka militer)? Ini-nya kok begini? Itunya kok begitu? Darahnya nggak
continuity? Gareth Evans, dalam penilaian saya, menciptakan cerita, dialog, dan
karakter cukup dalam rangka untuk menghadirkan adegan laga, yang dalam rangka
untuk menghadirkan kenikmatan menonton terbaik bagi para penonton Indonesia.
Ketika
kami mengulas film ini bersama, saya jadi teringat mengenai satu lagi tokoh
fenomenal dalam perfilman Indonesia, KK Dheeraj. KK Dheeraj (bagi yang belum
kenal) adalah sineas yang 'diimpor' dari India dan 'bertanggung jawab' atas
berkembangnya genre seks dan horor komedi dalam perfilman Indonesia lima tahun
belakangan ini dengan berbagai judul seperti 'Mas Suka Masukin Aja',
'Genderuwo', 'Pocong Mandi Goyang Pinggul', 'Hantu Binal Jembatan Semanggi',
'Pijat Atas Tekan Bawah', hingga 'Anda Puas Saya Loyo'. Ketika diwawancarai
mengenai ke-ekstrem-an tema filmnya, KK Dheeraj dengan santai menjawab bahwa
dia hanya menyajikan apa yang penonton suka. Karena penonton paling suka nonton
film horor dan film komedi, maka dia membuat film horor dan film komedi. Cara
pandang KK menurut saya begitu mirip dengan Gareth. Sama-sama lebih melihat apa
yang penonton suka. Dan ini kemudian menciptakan spektrum penonton yang kurang
lebih sama, yaitu penonton medioker, yang punya basis masa paling besar di
Indonesia yang tidak bisa dicekoki film 'sulit' macam Sang Penari. Dan kemudian
tentu saja melahirkan film-film yang demikian medioker. KK Dheeraj, di satu
sisi bergantung pada nama besar pelawak Indonesia dan aktris porno
internasional agar para penonton medioker mau menontonnya. Di sisi lain,
meskipun bermain dalam segmen yang sama, Gareth Evans memberikan penonton
tontonan baru yang belum pernah mereka lihat dan bayangkan dengan dukungan
teknik dan efek visual yang 'menentang iman'. Meskipun bisa dibilang masih
dalam genre yang medioker, The Raid adalah sebuah tontonan medioker yang
SUPERB.
nb: Oh
iya, menurut Gareth Evans, The Raid akan diluncurkan di Indonesia secara luas
baru sekitar bulan April 2012. Hal ini menurutnya berkaitan dengan dibelinya
film ini oleh Sony Pictures-nya Hollywood. Pengunduran perilisannya ini agar
premier The Raid di Indonesia akan bersamaan dengan premiernya di Amerika
Serikat. Artinya, film ini akan jadi film Indonesia pertama yang premier di
Amerika. Hooray!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar