reverie
| maulvi dm | november 2010 | 10m36d
sinopsis
Seorang
perempuan melaju sibuk di sebuah pedestrian berdebu. Matanya melirik pada
sebuah tulisan yang tertulis di tiang listrik. Tulisan ini pulalah yang akan
menautkan nasibnya dengan takdir dan keimanan seorang pemuda lugu yang sibuk
dengan pikiran-pikirannya yang saling berperang satu sama lainnya. Tentang
apakah Reverie ini? Tentang norma masyarakat, kata hati, patriotisme,
fundamentalisme, masa lalu, keluarga, gairah, dan kebingungan-kebingungan masa
muda yang tertampil dalam sebuah mimpi di siang bolong.
kru
Naskah
: Maulvi DM, Nara Indra, Danistya K
Produser
: Nara Indra
Kasting
: Danistya K
Penata
Seni : Lalik Lique
Sutradara
: Maulvi DM
Sinematografi
: Fitrianto Nugroho
Seksi
sibuk : Borneo Adi
Editor
: Maulvi DM
Musik
Latar : Maulvi DM
pemain
Ridho
Jun Prasetyo
Pijar
Ramadhani
Danistya
Kaloka
Brillian
Permana
Borneo
Adi
Maulvi
DM
musik
"Run
Ridho Run" - Maulvi / Budiman
"Ibu
Anak" - Maulvi / Budiman
"Mengheningkan
Cipta" - WR Supratman / Budiman
"Jangan
Kentut" - Maulvi / Budiman
serta
menggunakan tanpa pamit
"
Vakansi " - Nona Sari & Tuan Riki / White Shoes & Couples Co.
penghargaan
~Best
Editing~ Fiagramotion 2010
~Best
Poster Design~ Fiagramotion 2010
_________________________________________________________________________________
catatan
produksi
Reverie,
adalah proyek pertama dari PTSF, dengan motivasi dasar untuk mengikuti sebuah
kompetisi film pendek mahasiswa bergengsi di UGM, Fiagramotion 2010. Tergiur
uang dan kemuliaan, dengan lantang para pemuda ini segera mencari ide dasar
mengenai tema kompetisi, yaitu 'teknologi bukan hama sosial'.
Bukanlah
sebuah kebetulan ketika momen pencanangan tekad itu menjadi tonggak pertama
berdirinya sebuah klub film amatir tanpa nama di HI UGM, dan bukan kebetulan
pula tanggal yang terpilih sebagai bulan lahirnya adalah Oktober 2010. Tanggal
pastinya tidak begitu jelas, tapi kemungkinan besar adalah hari Rabu tanggal
20, di Taman Fisipol UGM ketika naskah fisik pertama Reverie lahir dan memulai
perdebatan para personil.
Pada
hari yang ditakdirkan itu pula, Gunung Merapi dinaikkan statusnya dari Normal
menjadi Waspada. Tapi nampaknya hari itu tak ada di antara mereka yang
mewaspadai hal itu.
Seminggu
dua minggu pertama dihabiskan untuk pembuatan cerita yang terburu-buru,
me-rehearsal pemain, dan dilanjutkan dengan kehidupan mahasiswa yang normal.
Survei lokasi diadakan pada tanggal 26 Oktober ke arah Nanggulan, Kulonprogo.
Dalam perjalanan pulang, sekitar pukul satu, sembari beristirahat di warung mie
ayam, keringat dingin mengalir dari pipi para kru: di layar tivi tergambar
Gunung Merapi telah melakukan erupsi pertamanya. Dan Mbah Maridjan menghilang.
Akan
tetapi Jogja tetap cerah, kampus tetap ramai, dan pengambilan hari pertama
dilakukan di kampus. Semua berjalan baik. Malamnya dilakukan reading untuk
adegan pedestrian. Hari Jum'at, tanggal 29 pengambilan gambar di kos-kosan
Borneo. Setelah sholat Jum'at muncul berita baru, Mbah Maridjan ditemukan,
bersujud, terbakar dalam erupsi. Masih belum mendapat petunjuk, jadwal
pengambilan gambar berturut tanggal 30 dan 31 Oktober keesokan harinya tidak
berubah.
Baru
malamnya horor terjadi. Dentum demi dentum menghajar telinga semua orang Jogja
yang tertidur. Tapi kejutan baru muncul keesokannya karena ternyata pada hari
pengambilan gambar di pedestrian, ruang terbuka, justru sekujur Jogja dilumuri
abu vulkanik tebal berwarna putih. Semua survei, perhitungan warna, hilang
dalam sekejap. Tapi, medan ini justru menjadi perjuangan keras.
Sepanjang
hari, pengambilan gambar dilakukan. Pertama adegan di TransJogja, karena dari
survei, pukul 9 adalah waktu paling sepi bagi bis TransJogja, jurusan
Jombor-CondongCatur. Merekam adegan dari dalam bis serasa menyaksikan Jogja
diserbu badai salju. Selesai adegan bis, dilanjutkan adegan pedestrian. Aktris
Iris dan aktor Ridho berjumpalitan bergumul dengan lantai pedestrian Mangkubumi
yang penuh debu. Selesai dhuhur, dalam kemendungan asap Merapi yang menutupi
Jogja dan bulir abu vulkanik yang terus turun, lokasi berlanjut ke Pasar
Klithikan, ke kounter HP teman dari teman kami, Acip.
Keesokannya,
Minggu, kita beralih ke rumah saudara Danis di Nanggulan. Meski beragama
Kristen, uniknya kami menggunakan rumahnya sebagai setting 'musolla pesantren'
untuk adegan ceramah Pak Haji yang dimainkan Fitrianto Nugroho.
Tentu
semua datang dengan menggunakan masker, karena meski tidak sampai ke Nanggulan,
abu vulkanik tetap menghantui sepanjang perjalanan. Di lokasi ini pula masa
lalu Herman, tokoh utama kita juga digambarkan.
Dan
pada saat yang bersamaan, seorang Agi Ekasaputro sedang sibuk menerobos jalan
menuju dusun-dusun paling ujung di lereng Merapi, bersama satuan Menwa-nya. Dia
belum tahu takdir apa yang akan menunggunya nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar