oleh Nara Indra
Sebermula
adalah Kata
Apa itu
negara?? Menurut tafsir ilmu hubungan internasional, ada beberapa persyaratan
bagi sah tidaknya ‘ke-negara-an’ suatu negara : memiliki wilayah, memiliki
penduduk, memiliki pemerintahan dan tak lupa—diakui keberadaannya oleh negara
lain. Tapi saya tidak sedang bicara tentang negara di sini. Ini untuk analogi
saja (sebenarnya buat keren-kerenan sih).
Saya
bicara tentang konteks Pull-The-String-Film (selanjutnya disingkat PTSF) dan
eksistensinya sebagai sebuah komunitas film. Maunya!!
Lantas,
apakah syarat untuk membentuk sebuah komunitas film??
Pastinya
harus ada dua hal : ada komunitas dan ada film.
Komunitas
itu dapat dimaknai sebagai kumpulan orang, tapi saya lebih nyaman untuk memakai
istilah ‘sekumpulan komitmen’. Kenapa komitmen? Karena jujur saja, diakui atau
tidak, hal itulah yang paling bisa mempertahankan apa yang lidah kita cecapkan
menjadi kata komunitas. Pengalaman berkomunitas dan berproduksi menunjukkan
bahwa sebuah tim memerlukan suatu tingkat komitmen dalam besaran tertentu agar
dapat menyelesaikan sebuah film.
Rata-rata
dari kami memulai proyek PTSF saat tengah berada dalam fase akhir perkuliahan.
Hal ini tentu saja menyebabkan diri kami masing-masing harus bermain tarik
tambang (untuk tidak menyebutnya dengan ungkapan klise ‘pergulatan batin’)
melawan beberapa lawan kodrati : skripsi, tenggat lulus, pencarian kerja, kerja
dan titian-titian masa depan lainnya. Tentu saja hal ini sangat menyita waktu
dan pikiran. Padahal, produksi film itu sendiri juga menyita banyak hal yang
sama. Kami merasakan sendiri susahnya mencari kru tambahan, pemain, bahkan
mempertahankan anggota-anggota awal untuk tetap terlibat dalam keseluruhan
produksi. Karena komitmen itu terlalu kecil untuk dibagi kepada banyak segi
dalam kehidupan.
Saya
selaku produser sering bersungut-sungut jika salah satu anggota kru tidak bisa
menyelesaikan job description mereka, padahal beban kerja itu sudah sangat
dikurangi. Di sisi lain, saya yakin para kru juga sering bersungut-sungut
menyaksikan tingkah saya yang terkadang terlalu strict. Di sisi yang lain lagi,
saya sering bersungut-sungut kepada diri saya sendiri bila semuanya tak
berjalan lancar. Akhirnya tumbuh sungut asli di kepala saya, lalu saya berubah
jadi lalat ijo dan terbang meninggalkan rapat. Zzuumm….zzuuumm..zuuuzmmm.
Tapi,
entah kenapa, kendala komitmen ini selalu bisa disiasati dengan negosiasi dan
serangkaian toleransi. I mean, a great doses of tolerance. Melalui kendala ini pula, kami jadi lebih
selektif dalam melaksanakan produksi dan belajar untuk berdiskusi menentukan
waktu produksi yang tepat dimana masing-masing pihak bisa ikut serta. Saya
sempat berpikir bahwa komitmen ini akan menjadi fait accomply saat shot pertama
mulai diambil. Ya, saat kami sudah mulai mengambil adegan pertama dalam film,
sudah tidak ada jalan untuk kembali lagi.
Unsur
kedua adalah film. Apa itu film?? Nggak usahlah saya deskripsikan di sini.
Mending saya bikin saja. Selanjutnya silahkan ditonton. Hehehe. Kata ‘film’
apabila dilekatkan dengan kata ‘komunitas’ akan membentuk suatu istilah
‘komunitas film’. Frase ‘komunitas film’ dapat diartikan jadi beberapa tipe
tergantung pada fokus kegiatannya. Ada komunitas film yang kerjanya bikin film,
ada yang fokus di pengkajian film, dan ada juga komunitas yang berkutat di
masalah distribusi dan pemutaran film.
PTSF
sendiri dimulai dengan tekad untuk membuat film. Sampai sekarang pun kami masih
tetap fokus di pembuatan film, meskipun seiring perjalanan waktu kami makin
menyadari pentingnya dua fungsi lainnya. Pengkajian film sangat berguna untuk
referensi dalam meningkatkan kualitas film-film kami. Biasanya sesi pengkajian
film PTSF terjadi secara tidak sengaja saat menunggu rapat dibuka atau menunggu
kru yang belum datang. Sedangkan untuk fungsi pemutaran, kami sering terdorong
untuk membuat pemutaran baik untuk konsumsi pribadi maupun bekerjasama dengan
komunitas lain (kami punya ajang pemutaran STMJ—Screening Together Malam Jumat)
bekerjasama dengan Tenananiki Pictures. Alasannya sederhana saja, kami
membutuhkan ruang agar film kami bisa mencapai dua kodratnya : (1) Diputar dengan teknis yang
memadai—minimal dengan widescreen dan (2) Menyentuh khalayak yang lebih luas.
Terkait
kedua poin tersebut, saya teringat cuplikan wawancara dengan Forum Lenteng saat
pelaksanaan ARKIPEL 2013 dari artikel di Cinemapoetica.[1] Kalau tidak salah,
salah satu narasumber menekankan pentingnya pengalaman sinematis dalam
menyaksikan film. Pengalaman sinematis dalam konteks ini adalah adanya tempat
yang representatif, kualitas gambar dan suara yang memadai, serta nikmatnya
merasakan sensasi film sebagai sebuah apresiasi massa—teriak, tersenyum,
berdecak kagum, bahkan mengeluh bersama. Hal itulah yang ingin kami bagi
melalui pemutaran. Adalah suatu sensasi dan kebanggaan tersendiri bagi saya
pribadi untuk menyaksikan perubahan mimik penonton saat menyaksikan film-film
kami, apalagi terhadap film yang kebetulan saya sutradarai atau tulis
naskahnya.
PTSF
sendiri seringkali mencoba membuka ruang tonton dengan usaha-usaha
sendiri—misalnya dengan memutar film di kantin dan pelataran kampus (dengan
atau tanpa izin), di rumah kawan, hingga memanfaatkan voucher diskon di bioskop
mini yang ada di kota kami. Intinya, kalau tidak ada yang memberimu ruang,
rebutlah!! Untungnya, seiring dengan membaiknya peruntungan dan
kualitas-kualitas film kami, beberapa kompetisi dan komunitas lain berkenan
untuk memutarkan film-film kami. Pada akhirnya kami bersyukur bahwa film-film
kami sempat diputar di Surabaya, Yogyakarta, Solo, dan Purbalingga. Hampir
seluruh kesempatan pemutaran itu terjadi dalam kompetisi, atau muncul setelah kami
berjejaring dalam kompetisi.
Nah, di
sinilah letak pentingnya kompetisi : sebagai muara segala karya dan komitmen
kami. Sesuatu yang memperpanjang napas kami.
PTSF
dan Kompetisi
PTSF
adalah komunitas yang pembentukannya dipicu oleh kompetisi film. Saya masih
ingat pertama kali embrio PTSF disemai. Awal mulanya adalah saya dan Maulvi DM.
Tidak usahlah diperdebatkan siapa yang sperma siapa yang ovum di antara kami.
Pokoknya kami berdua jadi embrio, PTSF. Itu saja.
Waktu
itu, sekitar pertengahan tahun 2010, saya tengah berkeliaran tak tentu arah di
taman Fisipol. Di tengah (almarhum) amphiteater saya melihat Maulvi sedang
bengong sambil memegang secarik kertas lusuh. Ternyata itu adalah pengumuman
kompetisi (saya masih ingat betul) FIAGRAMOTION oleh UKM Fiagra (Film Anak
Grafika) yang berbasiskan di Fakultas Teknik UGM. Langsung saja saya
menyambar,“Mau ikut ndak, Mol??”. Sontak dia langsung menyetujuinya. Lalu kami
berdua langsung menyusun rencana untuk merekrut kru, pemain dan merencanakan
cerita. Akhirul kata, kami berhasil menyelesaikan film pertama kami “REVERIE”
yang langsung diikutsertakan di FIAGRAMOTION, dan syukurnya meraih gelar
“Poster Terbaik” dan “Editing Terbaik”.[2]
Kesimpulannya,
kompetisilah yang menjadi pemantik kami semua untuk berkarya. Kami bisa
merekrut kru, pemain, mengikat mereka dengan komitmen seringkali juga dengan
iming-iming filmnya ‘bakal ikut kompetisi’.
Dan hal itu tetap berlangsung sampai sekarang.
Pertanyaannya,
kenapa kami harus mendompleng kompetisi untuk itu semua??
Jawaban
saya hanya satu : karena alasan orang-orang yang terlibat dalam produksi sebuah
film terkadang tidak sama. Atau dengan istilah lain, tidak semua memiliki
gairah yang sama terhadap film. Sebagian kru, pemain, maupun orang-orang lain
yang memandang pembuatan film dengan perspektifnya masing-masing. Ada yang
hanya sekadar ingin membantu, ada yang ingin mengisi waktu luangnya, ada yang
memang benar-benar tertarik, ada yang
(mungkin) kasihan sama kami-kami ini dan lain sebagainya. Tidak ada yang salah
dengan ini, bahkan kecenderungan ini sangat membantu proses produksi menjadi
lebih cair dan asyik. Hal ini merupakan sesuatu yang tak terelakkan, mengingat
PTSF sebagai komunitas sendiri sangat longgar dan tentu saja berbeda dengan
komunitas atau rumah produksi yang profesional.
Dengan
adanya kompetisi, setidaknya kami bisa meyakinkan rekrutan-rekrutan kami bahwa
kami di sini tidak sedang main-main. Dan kami memang tidak pernah akan
main-main lagi. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan serta terlalu banyak hal
yang dikorbankan untuk sekadar main-main. Tapi, itu tak berarti pula bahwa kami
akan menjadi terlalu serius. Atau, bisa dibilang, biarkanlah saya sebagai
produser jadi satu-satunya orang dengan kening berkerut di dalam produksi.
Sebisa mungkin saya ingin yang lain tetap tersenyum dan tertawa-tawa.
Syukur-syukur ada yang naksir saya. Hihihihi.
Bagaimana
Kompetisi Membentuk Kami
Saya
harus akui bahwa kompetisilah yang membentuk PTSF. Ada beberapa hal yang
membuat kompetisi memberikan pengaruhnya kepada kami.
Dalam
memproduksi sebuah film, saya belajar bahwa visi dan misi adalah hal yang
sangat penting. Visi dalam konteks ini berarti tujuan pembuatan film ini harus
jelas : apakah ada pesan-pesan atau hal tertentu yang ingin disampaikan. Adakah
hal-hal tertentu yang ingin dicapai, baik secara teknis maupun nonteknis. Atau
dalam ranah yang lebih konkrit : apakah cerita yang ingin diangkat ke film itu
menarik??.
Itu
permasalahan pertama.
Permasalahan
kedua adalah misi : hal konkrit apakah yang ingin dicapai setelah film ini
jadi. Di sinilah letak pentingnya kompetisi seperti yang telah saya singgung
sebelumnya : sebagai muara dari karya dan, thus, komitmen kami yang meraga
dalam visi tersebut. Kompetisi adalah tempat dimana film menemukan jodohnya,
begitu kata Bowo Leksono, Direktur Cinema Lovers Community dan salah satu tokoh
perfilman berpengaruh di Banyumas Raya. Dan mencari jodoh itu tidak mudah.
Apalagi buat film.
Kompetisi
film yang ideal biasanya membuka deadline pendaftaran antara 3 hingga 6 bulan
sejak pertama dipublikasikan. Rentang waktu ini sangat membantu kami untuk
membuat perencanaan produksi film, mulai dari pra-produksi (persiapan naskah,
pemain, properti, set, penjadwalan, budgetting dll), produksi (syuting) dan
pasca-produksi (editing, sound-mixing, original soundtrack, syuting ulang dll).
Rentang waktu juga berpengaruh akan ketersediaan waktu dari masing-masing kru
maupun pemain. Makin panjang rentang waktunya, makin banyak waktu kami untuk
mempersiapkan diri. Makin banyak waktu persiapan, maka makin banyak pula waktu
kami untuk menyempurnakan si film.
Inilah
arti penting pertama dari kompetisi : ia membentuk pola kerja kami.
Kompetisi
sudah dapat dipastikan berarti pencapaian. Minimal wujud fisiknya terkirimkan
ke panitia, meski entah bagaimana kelak nasibnya, setidaknya ia tak hanya
berdiang hangat di bilik-bilik data komputer. Minimal, ia bisa diputar dengan
standar teknis yang tidak akan pernah bisa kami capai dalam pemutaran mandiri.
Minimal, ia bisa menemui audiens yang tidak pernah bisa kami capai dalam
pemutaran mandiri. Minimal, ia bisa mempertemukan kami dengan sesama penggiat
film yang mungkin hanya kami kenal profilnya di internet. Maksimal, ia bisa menang.
Kemenangan
dan pencapaian dalam sebuah kompetisi akan menjadi pondasi bagi film kami
selanjutnya. Inilah fungsi kedua dari
kompetisi. Pondasi dalam konteks ini dapat kita lihat ke dalam dua hal : secara
moral dan secara modal. Pondasi moral, sederhananya, muncul dari perasaan
bangga saat melihat film kami diputar di layar lebar dan disaksikan banyak
orang.. Atau saat salah satu dari kami maju ke panggung untuk mengambil piala.
Atau saat ada orang yang memandang ke arahmu dan berkata, “saya suka filmnya.”
Trus, kapan sukanya sama yang bikin, mbak?? Hihihihi. Kemenangan tentu saja
akan mendongkrak rasa bangga dan tingkat kepercayaan diri kami di PTSF. Itu adalah modal yang berharga.
Pondasi
modal tentu saja mengacu pada hadiah uang yang kami terima. Sebagai komunitas
yang tidak bergerak dalam ranah komersial yang terkadang bikin sial itu, kami
seringkali harus tombok untuk memproduksi film. Atau mencari pekerjaan sambilan
seperti menjadi kru dokumentasi seminar kampus, misalnya. Uang hadiah adalah penyelamat
yang signifikan bagi keuangan film, thus, keuangan pribadi kami tentu saja.
Sejak kemenangan pertama kami dalam film Space pada medio 2011,
produksi-produksi berikutnya selalu didanai oleh uang hadiah lomba. Kemenangan
Space dan Persimpangan (2011) memberi jalan bagi pembuatan Penghabisan (tahun
produksi 2012). Kemenangan Penghabisan (2013) rencananya akan kami pakai untuk
memproduksi film di akhir tahun ini. Belum lagi bila kita turut memperhitungkan
biaya-biaya lain seperti biaya pengiriman paket dan pengemasan CD untuk lomba.
Fungsi
ketiga kompetisi adalah membangun jaringan. Kompetisi film adalah kesempatan
yang besar bagi PTSF untuk keluar sejenak dari tempurungnya dan melompat-lompat
bagai katak di musim penghujan. Pada akhirnya PTSF akan menemui katak-katak
lain yang jauh lebih besar, terkenal, dan superior. Kami akan bersama-sama
berinteraksi, berbagi, bersaing dan saling belajar dalam suatu kolam besar yang
bernama kompetisi film. Mungkin setelah itu masing-masing akan kembali ke
tempurungnya masing-masing atau mencari kolam lain, semua terserah kebutuhan
dan orientasi masing-masing. Yang pasti kami tidak hanya menemui katak-katak
semata. Kami bertemu dunia luas yang hanya berbatas cakrawala.
Dalam
Festival Film Solo 2013, kami menjumpai kawan-kawan komunitas dari Purbalingga
yang umurnya mungkin hanya setengah dari umur kami. Tapi dalam perkara
prestasi, mereka sangat jauh melebihi PTSF. Kami juga berkesempatan bertemu
dengan komunitas dari Palu, Solo, Malang, Jakarta, mas Senoadji Julius dari
Fourcolours Films Yogyakarta dan masih banyak lagi. Tentu saja pertemuan itu
tidak kami sia-siakan, karena karya-karya mereka makin meluaskan referensi
sinema kami. Bahkan, kami berkesempatan untuk melakukan pemutaran dan diskusi
di Purbalingga dengan kawan-kawan komunitas CLC (Cinema Lovers Community)
setelah merawat jaringan yang dirintis kala FFS. Partisipasi kami dalam beragam
kompetisi-kompetisi film juga sedikit banyak mendekatkan kami dengan
kawan-kawan penyelenggara yang rata-rata juga merupakan anggota komunitas film
di berbagai daerah. Interaksi kami degan kawan-kawan programmer dan panitia
tersebut pada akhirnya memberikan masukan positif bagi PTSF sendiri
Terakhir, kompetisi dapat membuat kami semua
tetap mawas diri. Untuk itu, mari saya ceritakan pengalaman pahit yang menjadi
pelajaran 6 SKS sekaligus bagi PTSF.
Alkisah,
di bulan Agustus-November tahun 2012 lalu kami mendapatkan banyak sekali
informasi dan undangan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi berskala besar.
Beberapa di antaranya adalah Europe On Screen, XXI Short Movie Competition,
Jambore Film Nasional dan bahkan undangan mengikuti FFI (Festival Film
Indonesia). Sebagai komunitas kecil yang baru saja memenangkan satu kompetisi,
kaki kami bak menapak udara. Atau bahasa Ibrani-nya : kepedean. Dengan stok
film yang sebenarnya masih sangat minim, kami nekat mengikuti hampir semua
kompetisi itu. Padahal beberapa di antaranya mengharuskan kami membayar biaya
pendaftaran yang cukup tinggi plus ongkos kirim yang juga besar karena
rata-rata kompetisi itu dilaksanakan di Jakarta. Dan hasilnya pun bisa ditebak,
tidak ada satupun film kami yang menang. Jangankan menang, masuk nominasi pun
tidak. Bayangkan bagaimana optimisme yang kami bangun dari awal seketika
mengempis bagai balon udara di Sekaten yang seketika mbledhos karena terkena
jarum. Ya, jarum takdir. Dan ketidakbijaksanaan kami tentunya.
Selain
merasa frustasi, peristiwa yang sering disebut oleh Maulvi DM sebagai ‘November
Kelabu’ itu mengakibatkan kami mengalami krisis keuangan yang cukup mengganggu.
Akibatnya, proses produksi kami selanjutnya (saat itu kami tengah menggarap
naskah yang kelak menjelma menjadi “Resepsi”) mengalami kebuntuan. Pahit
memang, namun selalu ada yang bisa kami cecap dari kepahitan. Hal ini membawa
kami pada satu metode baru dalam kinerja kami : proses kurasi internal. Secara
sederhana, proses kurasi internal PTSF terdiri dari beberapa tahapan :
pengumpulan informasi lomba, analisis konten lomba (visi dan misi lomba,
komposisi juri, preferensi juri, background penyelenggara, pemenang-pemenang terdahulu
dll), penentuan film-film yang akan dikirimkan beserta peluangnya, pengecekan
budget dan akhirnya dikirimkan. Saya pribadi tertarik mengistilahkan proses ini dengan frase
“bribik-bribik metodologis”. Berkat kontribusi dari seluruh anggota dalam proses
kurasi ini, akhirnya kami bisa menemukan solusi untuk ‘menemukan jodoh bagi
film kami’ seperti yang telah saya singgung di atas. Sebagai orang tua yang
baik (dan sedikit galak), tentunya kami tak mau ‘anak’ kami mendapatkan jodoh
yang buruk, dong??
Kemawasan
diri yang dibawa oleh kompetisi juga diakibatkan oleh interaksi kami dengan
karya-karya sineas lain yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata (hey,
bukankah yang saya bold itu juga kata-kata?? Dasar frase yang aneh!!). Kami
jadi insyaf bahwa ada banyak tempat dimana kami bisa menengadahkan kepala dan
belajar. PTSF belumlah menjadi apa-apa. Katak ini pada akhirnya selalu akan
menemukan langit-langit baru untuk
menggantikan tempurung lama kami. Dalam dunia perfilman independen ini, kami
tidah berhak dengan seenaknya menapaki udara kosong dan merasa sombong. Karena
sangat banyak sineas-sineas di Indonesia yang karya-karyanya secara de facto
telah menapaki langit sementara para pembuatnya sendiri masih berpijak dengan
tenang di bumi. Lantas, siapakah kami??
Sesudah
Lelah Menulis dan Tentang Pojokan Masa Depan
Dalam
obrolan intens di penghujung kemahasiswaan, beberapa dari kami sempat
mempertanyakan sampai kapankah PTSF bisa terus berjalan. Waktu itu saya hanya berpikir, “Terserah
kapan saja, asal jangan sekarang.” Pemikiran itu pun sampai saat ini belum
berubah. Meskipun saya sadar, di tahun 2013 ini, banyak dari kami (termasuk
saya sendiri) yang sudah harus bersiap untuk meniti langkah lain di masa
depannya. Asal jangan sekarang!
Mungkin
kami akan terus membuat film sampai satu per satu dari kami meninggalkan
Yogyakarta. Mungkin juga tidak. Mungkin kami akan terus mencoba bertahan dengan
merekrut kawan-kawan baru. Mungkin juga tidak. Mungkin kami akan berhenti
begitu saja. Mungkin juga tidak. Toh, kalau saya boleh sedikit berfilsafat,
bukankah kehidupan adalah semata-mata ayunan bandul antara kemungkinan dan
ketidakmungkinan??
Yang
pasti PTSF kini tengah bersiap untuk merencanakan produksi selanjutnya. Dan
lagi-lagi produksi ini dipicu oleh kompetisi-kompetisi yang setidaknya akan
menunggu kami tahun depan. Kompetisi adalah salah satu faktor utama yang
mempertahankan bandul kami untuk tetap berada di sisi ‘kemungkinan’, meskipun
di dalamnya terselip pula kemungkinan untuk terperosok ke dalam ‘ketidakmungkinan’.
Jadi, sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengucapkan terimakasih bagi
kawan-kawan yang selama ini telah menyelenggarakan kompetisi-kompetisi bagi
kami. Terimakasih telah menyediakan kolam bagi kami yang seringkali
terperangkap dalam tempurung katak ini. Terimakasih karena telah mendorong kami
untuk mengukirkan karya. Terimakasih telah menyediakan rumah bagi kami untuk
pulang.
Yogyakarta,
8-10 September 2013
[1]
http://cinemapoetica.com/wawancara/arkipel-forum-lenteng-dan-eksperimentasi-sinema/
[2]
Sekadar catatan tambahan, di tahun 2013 ini kami akhirnya berhasil memenangkan
beberapa gelar di FIAGRAMOTION 2013 dengan film “Penghabisan”, termasuk gelar
“Best Film”. Gelar ini sangat berkesan karena sekaligus untuk ‘melepas’
beberapa kawan angkatan awal PTSF yang sudah hijrah menjemput masa depan; Agi
Ekasaputro, Danistya Kaloka dan Lalik Mustikowati.