resensi oleh Maulvi
Tanda Tanya, film terbaru Hanung Brahmantyo, adalah sebuah perdebatan berkepanjangan mengenai bagaimana sebuah lingkungan masyarakat yang plural berusaha menemukan dan terus memahami bentuk pluralisme yang ideal dan 'adil bagi semua'. Film ini kuat dari berbagai teknis, baik akting, sisi penceritaan, hingga teknisnya. Gambar-gambar yang indah, lokasi yang detil dan memorable, dan akting yang memukau berhasil menepis pesimisme terhadap film ini yang berusaha memperbandingkannya dengan film serupa, Cin(T)a.
Film ini, seakan menjadi sebuah oase segar bagi manusia Indonesia, di mana kita dapat berkesempatan menikmati gambar-gambar yang aneh dan absurd, yang sekiranya bisa terjadi ketika pluralisme bisa berjalan dengan baik dalam masyarakat. Adegan-adegan seperti restoran Cina yang pegawainya rata-rata Islam dan sholat di mana saja (seperti di lorong dapur) ketika azan berkumandang, Seorang pastur yang membaca definisi Tuhan yang Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Mulk, Al-Muhaimin dari seorang murid kelas baptisnya, seorang anak yang diajari doa berniat puasa oleh seorang Non-Islam, hingga seorang muslim yang menjadi Yesus Kristus yang disalibkan. Ini semua adalah sebuah absurdisme realitas, ketika masyarakat masih berpikir seperti tokoh Surya, yang berkata 'Nanti apa kata masyarakat....' ketika ditawari bermain dalam drama paskah.
Tanda Tanya, sangat berhasil melanjutkan kisah Cin(T)a (jika itu bisa dijadikan pembanding yang tepat) dalam sebuah tataran yang sama sekali berbeda dan lebih rumit. Ending film ini, mungkin lebih mindblowing dibandingkan film-film Indonesia modern lainnya, dan seakan memposisikan agama yang berbeda sebagai benang-benang berwarna-warni yang menjalin keindahan bermasyarakat.
Dalam pemutaran di hari pertama yang dihadiri penulis, di akhir pemutaran, seoran penonton berteriak lantang "Hayo,, siapa tadi yang menangis?" Film ini bukan melodrama, bukan tragedi, tapi sebuah parabel untuk Indonesia.
Porsi agama Katolik menjadi bagian paling signifikan di film ini, yang merupakan sebuah eksepsionalitas dalam film Indonesia yang lazimnya dibumbui agama Islam. Kemunculan simbol keagamaan lain sebelumnya lebih sering dianggap tabu dan ganjil, berbeda dengan adegan sholat yang pasti selalu muncul dalam semua sinetron di Indonesia. Kemunculan scene bernuansa Katolik, bisa dibilang mencapai 45% dari film ini, akan tetapi nampaknya hal itu tidak menjadi masalah bagi penonton yang, hampir separuhnya berjilbab.
Voice of Islam dari Eramuslim telah dengan salah menyerang film ini sebagai film religius yang palsu. Ini bukanlah film religius. Ini adalah film tentang religiusitas dalam masyarakat. Film ini bukan tempat bagi ide-ide seperti Islam KTP yang menggambarkan semua orang berpeci dan baju koko. Semua tampil wajar, bersahaja, dan sekaligus absurd kalau dipikir-pikir.
Pada akhirnya, film ini merayakan keberagaman masyarakat Indonesia.
nb: Tanda Tanya, seakan mengingatkan penulis pada PullTheStringFim (PTSF) sendiri. Adalah sebuah kebetulan ketika PTSF terdiri dari berbagai kepercayaan dan keyakinan. Misalkan, Nara adalah seorang Hindu, Danis adalah Kristen, sedang Maulvi adalah Islam. Dan unsur-unsur TandaTanya tentang keberagaman seakan menjelma dalam kesibukan kita sehari-hari, yaitu tentang realitas dari absurdisme pluralitas yang hampir tidak bisa dipercaya, tetapi ada. Seringkali muncul adegan-adegan yang kalau dipandang secara religiusitas hampir-hampir adalah hal yang aneh. Beberapa bahkan muncul dalam karya kami.
Ingat adegan ceramah Pak Haji dalam Reverie? Yang membuat adegan ini menarik adalah bahwa adegan ini tidak dibuat di masjid atau musholla, tetapi dikerjakan secara sederhana di rumah pamannya Danis, yang kristiani. Pada awalnya rasanya canggung dan absurd ketika memulai adegan ini. Bagaimana tidak? Tentunya pasti ada perasaan tidak enaklah sama pamannya Danis. Persis seperti kata Surya dalam TandaTanya, "Nanti apa kata yang punya rumah?" Akan tetapi nyatanya semua berjalan baik. Tuan rumah bahkan menyediakan teh dan cemilan untuk syuting kami - suatu hal yang tidak kami kira sebelumnya. Saya pikir, Tandatanya Effect berlaku dalam bagian ini.
Kisah ini sebenarnya hanya menggambarkan bahwa Tandatanya Effect, bukanlah sebuah absurditas sinematik belaka. Efek ini sebenarnya dapat kita nikmati bahkan dalam keseharian kita sendiri.
Maka, mari merayakan keberagaman!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar