30/01/13

Les Miserables: Nyanyi Sunyi Hampa Inspirasi



resensi oleh Satwika Paramasatya


Karya sastra yang divisualisasikan umumnya menjadi impian bagi penulis manapun. Victor Hugo hanya sedikit di antara sastrawan yang mendapatkan kemewahan tersebut. Tidak hanya digubah dalam bentuk teater musikal, karyanya yang terkenal yaitu Les Miserables bahkan diangkat ke layar lebar. Sesuai dengan namanya, Les Miserables merupakan rangkuman dari berbagai kesedihan. Kesedihan yang  menjadi penghubung berbagai karakter dalam setting Revolusi Prancis. Sebagaimana umumnya karya sastra yang dihasilkan pada zaman itu, Les Miserables menceritakan kisah kesedihan, kali ini berupa seorang pencuri roti yang mengalami berbagai kemalangan dalam hidup.

Tetap setia dengan cerita aslinya, film dibuka dengan pembebasan Jean Valjean (Hugh Jackman) pada 1815, setelah 19 tahun dipenjara karena mencuri sepotong roti untuk memberi makan keluarganya. Setelah diberi pengampunan dosa dan kebaikan dari seorang uskup, Valjean bersumpah untuk menemukan kembali jati dirinya. Dan setelah melanggar pembebasan bersyarat, ia melarikan diri dari kejaran Javert (Russell Crowe) sembari membangun kehidupan baru sebagai walikota dan pemilik pabrik yang kaya. Beberapa tahun kemudian, seorang perempuan cantik nan malang, Fantine (Anne Hathaway), yang bekerja di pabrik Valjean untuk membayar hutang kepada pemilik penginapan, Thenardier (Sacha Baron Cohen) dan istrinya yang kejam (Helena Bonham Carter) guna menghidupi putrinya, Cosette. Di sini kita akan menyaksikan salah satu kisah paling tragis dari seorang Fantine yang terpaksa menjual semua benda miliknya, termasuk tubuhnya.

Sementara itu, orang-orang Prancis yang kebanyakan bekerja sebagai buruh, menjadi semakin putus asa karena sebagian besar hidup dalam kemiskinan, sehingga menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah Prancis. Valjean kemudian menjanjikan kepada Fantine yang sekarat bahwa ia akan membesarkan Cosette seperti anaknya sendiri, dan pertemuannya dengan pasangan Thenardier memberikan sedikit jeda dari alur cerita yang tragis dan suram.

Film musikal selalu menjadi jenis film yang tricky. Diperlukan ketelitian dalam menyusun skenario dan scoring yang tepat agar alur cerita dan storytelling menjadi harmonis. Aktor dan aktris pun dituntut untuk berakting sekaligus bernyanyi yang tentunya membutuhkan kerja lebih keras dari biasanya.

Pemilihan lagu dalam film musikal bak pisau bermata dua. Jika lagu yang digunakan tepat, penonton akan terhanyut dalam aksi nyanyian para pemain, bahkan sampai luput melihat beberapa kejanggalan atau cacat sinematografi yang mungkin ada. Sebaliknya ketika pemilihan lagu buruk (ditambah akting dan nyanyian kurang maksimal) akan langsung membuat penonton menghakimi film bersangkutan sebagai karya gagal. Les Miserables arahan Tom Hooper, untungnya, termasuk kategori pertama.

Hooper sendiri pada dasarnya tidak mengaplikasikan imajinasinya dalam menginterpretasikan novel Victor Hugo. Basically, ia hanya mengadopsi konsep teater di Broadway (New York) dan West End (London) yang terlebih dulu mengangkat Les Miserables. Pemilihan lagu pun tak jauh berbeda dari yang disuguhkan teater-teater tersebut, meski jelas seluruh lagu telah diaransemen ulang. Sangat disayangkan ketika Hooper sebagai sutradara kelas Oscar (memenangkan 4 nominasi dari King’s Speech) tidak mengeksplorasi kepiawaiannya dalam mengarahkan film yang ceritanya cukup terkenal di dunia.

Tidak heran jika yang bisa dibanggakan dari film ini hanya scoring dan akting serta nyanyian para pemainnya. Dari segi special effect dan sinematografi, tak ada yang menonjol dan bisa dibahas. Angle kamera terasa membosankan karena berkali-kali kamera di-zoom pada wajah pemain demi mengeksploitasi ekspresi yang muncul dari penghayatan atas nyanyian. Nyanyian sepanjang waktu juga cenderung melelahkan karena nyaris tak ada dialog sedikitpun dalam cerita. Untungnya, pemain berhasil melakukan kombinasi akting dan bernyanyi dengan eksepsional. Jackman dan Hathaway, yang pernah duet di acara penghargaan Academy Awards mampu menyuguhkan penampilan memikat. Nyanyian Hathaway ketika ia harus menjual diri demi menghidupi putrinya berhasil membuat penonton menghabiskan berlembar-lembar tisu. Dedikasi keduanya patut diacungi jempol karena Hathaway rela memotong rambut indahnya dan Jackman mau berpisah dari air selama 36 jam demi mendapatkan efek kulit keriput dan mata merah yang muncul pada adegan pembuka ketika ia masih berada di tahanan. Crowe menjelma menjadi sosok penegak hukum yang bengis dan tanpa belas kasih mengejar buruannya. Cohen dan Bonham Carter mengocok perut penonton melalui aksi konyol sebagai pasutri haus harta. Seluruh performa tersebut murni berdasarkan nyanyian yang 90% memenuhi dialog karena nyaris tak ada percakapan normal di antara mereka.

Les Miserables versi Hooper akan menjadi adaptasi novel Victor Hugo yang terbaik, jika dan hanya jika anda belum menonton Les Miserables versi Bille August yang dirilis pada tahun 1998. Les Miserables versi August yang notabene tidak musikal, justru lebih berhasil menarik keluar potensi para pemain dengan maksimal. Adu akting antara Liam Neeson dan Geoffrey Rush sebagai Valjean dan Javert jauh lebih menggetarkan daripada Jackman dan Crowe. Begitu pula dengan penampilan Uma Thurman sebagai Fantine dan Claire Danes sebagai Cosette yang lebih menyayat hati daripada Hathaway dan Seyfried. Hebatnya, mereka mampu menerjemahkan imajinasi Victor Hugo murni melalui akting, tanpa embel-embel nyanyian.

Pada akhirnya, pekerjaan Hooper tetap patut diapresiasi lebih. Kegigihannya untuk mengarahkan pemain melalui nyanyian bukan tugas mudah. Apalagi Hooper menuntut para pemain untuk bernyanyi secara live alih-alih lipsync. Hooper menginginkan ekspresi spontan dan improvisasi dari pemain agar terlihat natural karena memang hanya melalui peran pemain itulah film ini bisa dinikmati. Tidak heran ketika kemudian film ini hanya berhasil menyabet penghargaan Best Performance by an Actor atas nama Jackman dan Best Performance by an Actress in Supporting Role atas nama Hathaway pada ajang Golden Globe Awards, semua semata-mata karena yang menonjol adalah akting pemain, bukan sisi teknis penggarapan film.

 Terobosan yang digunakan Hooper dalam mengarahkan pemain cukup berhasil karena pemain dibantu dengan ear-piece yang mengalunkan nada piano sehingga mereka bisa menyelaraskan musik dan akting. Hooper juga terbantu oleh pemain-pemain pendukung yang memang biasa mementaskan Les Miserables di panggung teater. Performa eksepsional para pemain dalam berakting dan bernyanyi berhasil menutupi beberapa goofs seperti tulisan “glasses” dan “eyes” serta lemari yang muncul dan menghilang di belakang Marius. Oleh karena itu, cukup aman untuk mengatakan bahwa Les Miserables a la Tom Hooper berhasil memenangkan emosi penonton, namun gagal dari segi interpretasi karya sastra yang dapat dibuktikan dari ‘keringnya’ inspirasi yang muncul dari film ini. Bagi anda yang penasaran ingin menonton, siapkan diri anda untuk menikmati drama yang menguras air mata dan nyanyian merdu penyayat hati, tak lebih dan tak kurang.