23/12/11

2011! A Cinematic Odissey


2011! A SPACE ODISSEY adalah  sebuah pemutaran film akhir tahun yang diadakan oleh Pull-The-String-Film pada 19 Desember lalu sekaligus untuk memperingati hari jadi UGM yang kesekian tahun. Pemutaran ini berfungsi sebagai rilis perdana atau 'premier screening' dari empat karya terbaru PTSF, yaitu Dying Duck, Psychic Girl full-mode, The Dancing Spirits, dan Persimpangan. Jadi, acara ini semacam festival film semalam suntuk. Pemutaran rencananya diadakan di Kantin Fisipol UGM, tetapi karena ternyata semua datang terlambat, maka kantin keburu di-occupy oleh orang-orang yang berteduh di bawah hujan yang beringas. Setelah mencari, kemudian malah ketemu spot yang oke punya, yaitu Plaza Atas! Dindingnya bersih, ada colokan, ada kursi-kursi, dan SEPI!

Pemutaran ini sebenarnya cukup D-I-Y, karena hampir semuanya kami bawa sendiri. Bahkan ruang plaza atas Fisipol tidak kita komunikasikan dengan pihak terkait. Membawa sound sendiri, membawa proyektor sewaan, laptop, rol kabel, camilan, kita layaknya mau berpiknik saja.

Satu persatu para undangan datang, termasuk pemenang kontes Ending Psychic Girl (yang dimenangkan oleh Nara yang memberikan ide 'liar' untuk Psychic Girl, hohoho). Dan sudah selayaknya sebuah acara festival film, maka kami juga memutar sebuah film untuk pembukaan 2011! A Cinematic Odissey! ini. Film yang beruntung terpilih adalah ... jreng jreng.. A Little Crazy Thing Called Love (2010), sebuah film teen dari Thailand yang sudah cukup dikenal di Indonesia.

Tapi penonton tidak tahan lagi menunggu kesabaran akan pemutaran utama. Saudari Lalik tiba-tiba mengambil alih acara ketika credit text A Little Crazy Thing masih berjalan, untuk segera membuka acara ini.

Acara kemudian dibuka. Pemutaran pertama adalah Dying Ducks, yang mendapat atensi penonton berupa 'kernyit dahi'. Semua keheranan dan kebingungan mencerna art film besutan perdana penggagas konsep Danang Arif. Film kedua yang diputar adalah Psychic Girl yang berhasil mencengangkan penonton dengan ending yang tak terduga.  Film ketiga, sebuah dokumentari-eksperimental karya Maulvi DM, The Dancing Spirits, yang merupakan perpaduan video musik dan sosial dokumentari, kembali membuat para penonton mengernyitkan dahi mereka. Film sepanjang 16 menit pas ini mengupas mengenai sebuah upacara jathilan dan para pemainnya. Puncak acara ini adalah pemutaran Persimpangan, yang sudah dinanti lebih dari lima bulan. Meskipun dengan audio yang sudah setengah bleber karena dipaksa bergaung secara maksimum, Persimpangan berhasil memukau penonton dan memukau penonton. Dan Persimpangan menjadi sasaran pujian penonton dan memicu diskusi lebih lanjut. Akhirnya, penonton puas, para filmaker juga puas (termasuk Nara Indra sang sutradara). Demikianlah akhirnya acara ini ditutup dengan foto bersama para kru dan pemain film PTSF dengan latar belakang adegan dari Persimpangan. Selamat berjumpa di 2012! Selamat berkarya! Selamat lulus kuliah!

berfoto bersama teman-teman yang datang sampai akhir acara

Pemutaran The Raid di JAFF 2012

Awalnya adalah sebuah kerumunan di ruang perpustakaan Fisipol pada suatu siang yang cerah di bulan September. Beberapa mahasiswa sedang mengomentari sebuah trailer di Youtube yang telah me-mindblogging mereka. Trailer itu adalah The Raid, sebuah film 'antah berantah' bersetting Indonesia yang telah mengangkat imaji dunia tentang Indonesia dalam satu tingkat keliaran yang lebih gila. Terkagum dengan keasingan film 'Indonesia' ini, akhirnya 'kami' memantapkan cita-cita (buset..) untuk suatu hari bertekad menonton film ini!

Dan mimpi itu seakan di depan mata ketika isu berkeliaran di bawah angin bahwa film ini turut digelar dalam JAFF 2011. Meskipun sempat kecewa karena terlambat mendaftar di situs JAFF, akan tetapi, berkat kelihaian informan-informan bawah sadar kami, akhirnya didapatlah tanggal dan lokasi untuk mentransaksikan tiket pemutaran terbatas film tersebut keesokan harinya. Kekalutan muncul ketika dari alat bangsat bernama "BB" itu keluar twit dari JAFF bahwa 'film ini dapat diperoleh tiketnya mulai jam 13.00 di TBY' tanpa menjelaskan kapan. Apa hari ini? Bukan besok? Dan sudah dimulai tadi?

Dengan kekalutan yang berdasar kekacauan masa era teknologi informasi ini, kami tergopoh nekad menembus Jogja untuk kemudian sampai di TBY dalam keadaan sepi, dan pada akhirnya mendapat informasi bahwa, benar--tiket itu baru bisa diperoleh esok harinya. Fyuh.


Esoknya, laksana pergi berperang, kami mengirim scout untuk mengintai TBY semenjak pukul 7 PAGI! Bung Agi Ekasaputro, nama scout itu, sampai membawa laptop dan menghabiskan seperempat permainan Assassin Creed, hingga bala bantuan tiba pukul 10 pagi membawa akua dan roti (...). Saudara Nara Indra akhirnya bersama Agi dengan kegigihan setingkat para fans Star Wars yang mengantri selama berhari-hari akhirnya dengan bangga memperoleh tiket pertama dan kedua hingga ketujuh-pertama dari film ini. Dan jadilah mimpi kami terhampar di depan mata untuk menonton The Raid. Antrian film ini sungguh dahsyat sebenarnya, hingga muncul penggambaran dari Nara “..Bayangin Mol, bahkan mereka harus mengantri untuk mengantri..”





16/12/11

The Raid: A Superb Mediocre!



resensi oleh Maulvi


Sekali lagi Gareth Evans dan Iko Uwais hadir dalam perfilman Indonesia dengan film blockbuster The Raid. Film ini telah menimbulkan begitu banyak rasa penasaran melalui respons luar biasa yang diterima pada Toronto International Film Festival 2011 dan kasak kusuk di dunia maya melalui trailer-nya di Youtube. Ketika akhirnya film ini premier di Indonesian Fantastic Film Festival 2011 di Jakarta, respons yang tak kalah serunya pun diperoleh, seperti yang dilaporkan oleh Cinema Poetica. Berbekal respons meriah inilah, maka kami dengan berebut penasaran menghadiri pemutaran spesial The Raid pada Jogja International Film Festival, Desember 2011.

The Raid dimulai dengan pembukaan yang jelas. Seorang rookie bergabung dalam semacam tim SWAT yang dikirim untuk merebut sebuah gedung apartemen dari kekuasaan gembong penjahat yang bercokol di dalamnya. Namanya Rama (Iko Uwais), dan dia digambarkan begitu lurus, dengan latar belakang yang lurus pula. Tim ini kemudian mencoba menguasai gedung ini lantai demi lantai, pada awalnya melalui senjata, dan kemudian setelah para musuh bermunculan dari tiap pintu kamar dan tiap lantai, maka serbuan ini berubah menjadi pertempuran jarak dekat dengan senjata-senjata tajam dan tangan kosong.

Aksi menjadi sajian utama dalam film ini. Sesaat sebelum pemutaran, Gareth Evans, sutradara The Raid berpesan pada penonton, "Awas, film ini sangat keras dan sangat brutal." Dan kata-katanya terbukti dengan cepat. Segera setelah para penghuni gedung tersebut 'terbangunkan' oleh tim ini, maka aksi-aksi luar biasa segera dimulai. Adegan laga pembuka, masih menggunakan trademark film laga polisi standar, yaitu tembak-menembak dengan senjata semi otomatis. Pengadeganan dalam laga 'pembuka' ini sebenarnya cukup orisinil dan 'menyenangkan'. Beberapa adegan dibangun secara begitu detail, dan benar-benar memainkan emosi penonton. Seperti bagaimana para penyerbu ini air mukanya berubah jadi tegang dan ketakutan ketika mereka sadar seisi gedung telah mengetahui kehadiran mereka, dan adegan para penyerbu yang tidak sadar bahwa dalam kegelapan tepat di atas mereka, dalam jarak tembak yang dekat sekelompok penghuni tinggal menarik pelatuk senjata mereka untuk menghabisi pada penyerbu ini.

Namun sajian utama film ini tentu saja adegan laga tangan kosong yang diperagakan sangat baik oleh Iko Uwais, dan Yayan Ruhiyan-sekaligus koreografer laga film ini. Laga tangan kosong berlangsung dalam jarak sangat dekat, intensitas tinggi, dan kecepatan tinggi. Dengan sangat baik film ini menggambarkan secara detail bagaimana pukulan demi pukulan bersarang di berbagai bagian tubuh hanya dalam hitungan sepersekian detik. Tidak ada lagi pencak silat yang secara formal diperkenalkan dalam Merantau. Meski nyawanya masih ada, pencak silat di sini terlihat lebih liar dan lebih brutal. Kekerasan tingkat tinggi makin sering muncul tiap menitnya, mulai dari penggunaan parang, pecahan kayu, hingga.... Bohlam. Imajinasi penonton dibawa sedemikian rupa sehingga bayangan-bayangan paling brutal dari sebuah perkelahian hidup mati yang tidak pernah terpikirkan bisa muncul. Pada bagian ini, departemen sinematografi, efek visual, dan efek suara bekerja dengan sangat baik. Sektor efek suara juga begitu detail mendukung setiap aksi laga film ini, dari suara sentuhan mata pisau yang menggores lantai, suara parang yang dibentur-benturkan para musuh -yang begitu baik membangkitkan nuansa ketegangan, hingga suara muncratan darah dan dislokasi bahu. Tone warna dengan sangat kelam memberikan aura 'tidak meyakinkan' yang meyakinkan bagi penonton. Efek visual cipratan darah, kilatan tembakan beberapa kali digambarkan begitu jelas. Pergerakan kamera yang mostly handheld begitu dinamis mengikuti kegesitan para penyerbu yang berusaha menghindari serangan dari berbagai arah. Seisi bioskop menjadi 'brutal' juga mengikuti aksi demi aksi yang muncul. Teriakan, umpatan, hingga tepuk tangan riuh mewarnai setiap perkelahian 'ekstrem' yang terjadi. Dari sinilah dapat terlihat bagaimana film ini begitu dinikmati dan berhasil membawa penonton pada sebuah 'pengalaman baru' dalam menonton film laga.

Sayangnya, The Raid hanya berhenti sampai di sini. Nampaknya, Gareth Evans lebih cenderung memposisikan The Raid sebagai film blockbuster 'musim panas' yang berisikan berbagai adegan memukau dan luar biasa, dengan imajinasi laganya. Bahkan dalam sebuah review di IMDB.com, The Raid digambarkan membuat film Black Hawk Down dan Old Boy terasa jadi perkelahian anak kecil. Pendapat ini cukup beralasan. Penonton yang pernah terpukau menonton adegan perkelahian lorong dengan palu di Old Boy akan dipaksa menarik kata-katanya dengan adegan yang hampir serupa di The Raid. Bedanya, di sini yang dipakai bukan palu, tetapi parang. Dan, semuanya memegang parang satu-satu, serta sangat baik dalam perkelahian. Aksi laga menjadi tema pokok dari film ini. Sedangkan hal lain di luar itu, hampir saja begitu medioker. Inilah yang kemudian menjadi kelemahan utama film ini. Hampir tidak ada yang spesial dalam alur penceritaannya. The Raid adalah sebuah film dengan protagonis dan antagonis yang lurus-lurus saja dengan cerita yang lurus-lurus saja. Memang, tetap ada twist di akhir cerita, namun setelah menikmati gila aksi laganya, twist ini tidak terlalu signifikan.


Divisi skenario, juga demikian. Pada awal-awal film, dialog yang ada begitu plain, tidak begitu menonjol. Terkadang para pemain terlalu cepat berbicara atau kurang terartikulasi, meskipun tidak menghambat penceritaan secara signifikan. Meski demikian, setelah film ini mencapai tengah cerita, para pemain entah mengapa menjadi lebih santai dan relaks, sehingga kemudian beberapa dialog menjadi begitu memorable. Mad Dog (Yayan) entah bagaimana terlihat mirip Ki Joko Bodo (meskipun rasanya tidak disengaja), tetapi auranya begitu bengis dan groovy pada saat yang sama. Kata-katanya yang membandingkan pertarungan dengan pistol dan tangan kosong begitu asik. " ..Nggak ada geregetnya. Kalo ini, (sambil menunjukkan tangan) ini baru asik.." Jaka (Joe Taslim), pemimpin penyerbuan, juga pada awalnya terlihat demam panggung, tetapi ketika sudah dalam keadaan terdesak, ekspresi ketakutan, tegang, dan pada saat yang sama masih harus terlibat wibawa di depan anak buahnya ikut menciptakan ketegangan. Donny Alamsyah meskipun tidak muncul cukup banyak, juga memberikan akting yang baik, meskipun karakternya tidak begitu berkembang. Sementara itu, Iko.. Iko sebaiknya tetap bertarung saja. Yang memberikan tone paling gelap dalam film ini adalah Ray Sahetapi yang memerankan Tama, Ketua segala Ketua dari penjahat ini. Perkenalan karakter Tama berlangsung dengan begitu 'baik' (ruangan kontrol dengan banyak TV, meja dan kursi, PALU -- ada yang merasa ingat sesuatu?). Gayanya oke, style-nya mencurigakan. Tama tampil begitu berwibawa dan memiliki selera yang aneh, dengan kalimat-kalimat asik, "Pelurunya habis. Tunggu sebentar, ya? :) ..."

Ada yang merasa dejavu dengan adegan ini?
Gareth Evans memang memiliki visi yang unik dalam setiap filmnya. Dalam sesi tanya jawab, dia berkata, "Saya tidak membuat film dari apa yang ingin saya buat secara pribadi, tetapi apa yang penonton ingin saya buat." Pemikirannya begitu simpel, membuat apapun yang penonton yang mau buat. Hal inilah yang kemudian berbekas begitu besar dalam karyanya. Ketimbang mengembangkan film dengan konsep-konsep idealis, Gareth lebih mengutamakan kenikmatan terhadap penontonnya. Dan karena penontonnya adalah penonton Indonesia, maka kenikmatan visual di atas segala-galanya. Inilah yang kemudian akan membuat film ini menjadi begitu penuh kelemahan, ketika membawa penilaian film ini di ranah kritik film yang idealis. Storytelling yang begitu biasa saja, karakterisasi yang kurang menonjol, tak ada twist yang luar biasa, dan masih banyak lagi yang dapat ditemukan ketika memandang film ini secara lebih mendalam. The Raid misalkan, tak akan mendapat nominasi skenario terbaik atau aktor terbaik atau mungkin film terbaik. Dan secara teknis, apabila terus dibahas secara lebih mendalam akan muncul lebih banyak lagi kedodorannya. Serbuan dalam ruangan kenapa memakai senjata semi otomatis, bukan sub-machine gun (tanya teman yang suka militer)? Ini-nya kok begini? Itunya kok begitu? Darahnya nggak continuity? Gareth Evans, dalam penilaian saya, menciptakan cerita, dialog, dan karakter cukup dalam rangka untuk menghadirkan adegan laga, yang dalam rangka untuk menghadirkan kenikmatan menonton terbaik bagi para penonton Indonesia.

Ketika kami mengulas film ini bersama, saya jadi teringat mengenai satu lagi tokoh fenomenal dalam perfilman Indonesia, KK Dheeraj. KK Dheeraj (bagi yang belum kenal) adalah sineas yang 'diimpor' dari India dan 'bertanggung jawab' atas berkembangnya genre seks dan horor komedi dalam perfilman Indonesia lima tahun belakangan ini dengan berbagai judul seperti 'Mas Suka Masukin Aja', 'Genderuwo', 'Pocong Mandi Goyang Pinggul', 'Hantu Binal Jembatan Semanggi', 'Pijat Atas Tekan Bawah', hingga 'Anda Puas Saya Loyo'. Ketika diwawancarai mengenai ke-ekstrem-an tema filmnya, KK Dheeraj dengan santai menjawab bahwa dia hanya menyajikan apa yang penonton suka. Karena penonton paling suka nonton film horor dan film komedi, maka dia membuat film horor dan film komedi. Cara pandang KK menurut saya begitu mirip dengan Gareth. Sama-sama lebih melihat apa yang penonton suka. Dan ini kemudian menciptakan spektrum penonton yang kurang lebih sama, yaitu penonton medioker, yang punya basis masa paling besar di Indonesia yang tidak bisa dicekoki film 'sulit' macam Sang Penari. Dan kemudian tentu saja melahirkan film-film yang demikian medioker. KK Dheeraj, di satu sisi bergantung pada nama besar pelawak Indonesia dan aktris porno internasional agar para penonton medioker mau menontonnya. Di sisi lain, meskipun bermain dalam segmen yang sama, Gareth Evans memberikan penonton tontonan baru yang belum pernah mereka lihat dan bayangkan dengan dukungan teknik dan efek visual yang 'menentang iman'. Meskipun bisa dibilang masih dalam genre yang medioker, The Raid adalah sebuah tontonan medioker yang SUPERB.


nb: Oh iya, menurut Gareth Evans, The Raid akan diluncurkan di Indonesia secara luas baru sekitar bulan April 2012. Hal ini menurutnya berkaitan dengan dibelinya film ini oleh Sony Pictures-nya Hollywood. Pengunduran perilisannya ini agar premier The Raid di Indonesia akan bersamaan dengan premiernya di Amerika Serikat. Artinya, film ini akan jadi film Indonesia pertama yang premier di Amerika. Hooray!